Stefan menghubungi Pak Arya dan kembali membahas soal pekerjaannya di AlfaTech.
“Maaf, Stefan, namamu sudah dicoret dan sudah digantikan oleh orang lain.”“Saya sudah tanda tangan kontrak kerja, Pak.”“Betul. Tapi sudah tiga tahun kau tidak memberikan konfirmasi kepada pihak perusahaan. Jadi dengan berat hati kami menyampaikan bahwa kau tidak bisa lagi diterima bekerja di AlfaTech.”Stefan membuang harapannya untuk bisa bekerja di AlfaTech. Kemudian dia mencari opsi lain, yakni berusaha mencari lowongan pekerjaan. Namun, Stefan tidak akan bisa sebab semua ijazah dan sertifikat serta apapun yang terkait dengan administrasi studinya, dari SD sampai sarjana, semuanya telah dibakar oleh Bobby. Tak menyisakan sedikit pun.Kecuali apa yang ada di dalam lemari ini saja. Apa yang bisa dipakainya untuk melamar pekerjaan? Stefan ada ide. Bagaimana kalau dia melamar di perusahaan yang dipegang oleh mertuanya sendiri.Senin pagi. Stefan tahu kalau sebentar lagi mertuanya akan menggedor pintu kamarnya. Sebelum itu, dia sudah bersiap. Dia sudah mandi dan berpakaian rapi. Dilihatnya dirinya sendiri di cermin. Rambutnya yang cepak dan disisir ke kanan. Hidung mancung. Bibir tipis. Dagu lancip. Tinggi badan 180 cm dan berat badan 70 kilogram. Kulitnya kuning langsat mendekati putih. Dengan setelan kemeja biru ini Stefan tampak tampan.GAR!GAR!Stefan buru-buru membukakan pintu. “Selamat pagi, Ayah!” sapa Stefan tanpa terbata-bata sambil senyum.Bobby kaget, mulutnya agak terbuka. “Kenapa kau rapi sekali? Dasar gila!”“Aku ingin bekerja di PT. Sanjaya Sawit sebagai programmer. Aku bisa mengelola website, menjaga sistem, dan memperbaiki perangkat komputer.”Bobby mendengus kesal sambil mendamprat. “Aneh kau ini! Makan dan tidur saja sana!”“Aku serius, Ayah. Aku punya istri yang harus aku nafkahi.”“Kau ini masih bermimpi. Dasar!” Bobby melengos, lalu enyah meninggalkan Stefan yang masih saja tertegun.Tak lama setelah itu Robert dan Luchy secara berbarengan tiba di depan pintu kamar Stefan. Melihat penampilan Stefan yang rapi, mereka berdua terperangah, apa mereka salah lihat?“Kau perlahan ada kemajuan, ipar sampah! Kemarin-kemarin bisa bawa motor, sekarang sudah bisa berpakaian rapi. Boleh juga,” maki Robert.“Jangan lupa bawa saputangan untuk mengelap cairan yang akan keluar dari hidungmu itu!” cela Luchy.Stefan santai mendengar semua hinaan terhadap dirinya. Dengan tenang dan jelas dia menjawab, “Jika kalian mau pergi, silakan, aku mau keluar mencari sarapan.”Robert menunjuknya sambil meremehkan. “Kau itu hampir tiga tahun penuh jadi benalu di rumah ini. Kau ingat? Baguslah kalau sekarang sudah bisa mencari makan sendiri.”“Ayam saja tidak disuapi makannya. Benalu!”“Kau itu lebih rendah dari seekor ayam!”“Mati saja!”Robert dan Luchy pun pergi.Tidak ingin dihina pula oleh ibu mertua dan juga istrinya, Stefan beringsut keluar rumah. Tidak ada satu pun yang tidak dia ingat lokasi di sekitar sini, bahkan di kota ini, semuanya diingatnya dengan teramat baik, bahkan dia pun masih ingat nama dokter dan suster yang merawatnya sewaktu di rumah sakit.Stefan duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan di sekitar Bukit Kecil. Dia menikmati secangkir kopi hitam dan beberapa potong roti. Dilihatnya pohon angsana, palem, dan beringin di pinggir jalan. Dia tahu persis nama tanaman penghias jalan itu, Furcraea dan Lantana. Bahkan dia bisa membedakan antara palem botol, palem putri, dan palem segitiga.Sementara di rumah, Lionny kaget begitu tidak mendapati Stefan di dalam kamar. Lantas dia menanyakan kepada ibunya yang baru saja pulang dari pasar.“Ke mana menantu benalu itu?” tanya balik Chyntia sembari mengerling ke seisi rumah.“Aku sudah cari dia, tapi tidak ada.”“Dia di rumah salah, di luar buat kita susah, memang serba salah punya menantu tidak berguna seperti dia itu.”“Bu, sepertinya aku harus bicara lagi sama Kakek Sanjaya.”Lionny mengambil ponselnya, lalu menghubungi kakeknya. Dia menyampaikan berbagai macam keluhan selama Stefan berada di sini. Satu keluarga sepakat ingin mengirimkan Stefan ke rumah sakit jiwa.“Dia bersikeras ingin menjadi tukang ojek, padahal sudah kami larang, sekarang dia malah keluar dari rumah tanpa berpamitan.”“Aku masih sayang sama dia. Jika kalian usir apalagi sampai bercerai, kalian semua tidak akan pernah mendapatkan warisan!”Kakek Sanjaya memberikan ultimatum tegas. Mendengar itu, Chyntia dan Lionny tak mampu berkata apa-apa lagi. Bobby sebagai kepala keluarga saja tidak bisa berkutik ketika diberi peringatan oleh ayahnya.Tentu satu keluarga ini akan menuruti apa saja yang diperintahkan oleh Kakek Sanjaya, sebab Bobby merupakan satu-satunya penerus keluarga, maka dari itu semua harta warisan yang berlimpah sudah dipastikan diterima oleh Bobby.Satu-satunya langkah yang bisa mereka ambil adalah tetap bersabar atas kehadiran Stefan di rumah ini. Jika Kakek Sanjaya sudah memutuskan sesuatu, tak akan ada yang bisa protes. Semua akan berjalan sesuai perintah beliau.“Assalamu’alaikum.”Chyntia dan Lionny tersentak, lalu menjawab salam tersebut. Rupanya Stefan. Dia pulang. Buru-buru Lionny mendekat ke pintu depan.“Dari mana saja kau? Kami khawatir sekali,” tanya Lionny mengerutkan kening.Jika Stefan tidak pulang, asli Kakek Sanjaya pasti marah besar. Chyntia, meski terlanjur benci, namun tetap berusaha tidak berlebihan memperlakukan Stefan dengan buruk.“Kami mengkhawatirkan kau!” Chyntia berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng.Stefan senyum. Dengan polosnya dia memberikan bungkusan roti tawar yang tadi dibelinya di mini market. “Maaf tadi aku tidak pamit lagi. Soalnya sudah lapar.”“Ya iyalah!” Lionny emosi. “Kau dua hari hampir mati karena over dosis.”Lionny dan ibunya malah heran. Kenapa sekarang Stefan berpenampilan bagus? Kenapa sekarang dia lancar sekali bicara? Bagaimana bisa dia pergi belanja?Chyntia berang dan berkata, “Masuklah kau ke kamar sana! Akan kami kunci dari luar!”“Jangan, Bu. Jangan dikunci. Nanti aku mau keluar lagi. Aku mau narik siang ini.”“Tidak usah kau pergi ngojek, Stefan. Nanti Kakek Sanjaya berpikir kau ditelantarkan di sini. Parahnya nanti kau tidak ingat jalan pulang.”“Tenang saja. Aku ingat, buktinya aku sekarang sudah di rumah.”Sore harinya, pas pula Bobby dari pulang bekerja, Stefan berpamitan dengan mertuanya.“Hei menantu sampah! Mau ke mana kau?”“Mau cari uang, Ayah,” balas Stefan sambil mengenakan helm.“Jangan! Otak dan badanmu belum sembuh!”Stefan melompat-lompat melakukan gerakan jumping jacks dan meregangkan otot-ototnya. “Aku sudah sehat, Ayah. Jika Ayah berubah pikiran, aku akan siap kapan saja bekerja di perusahaan Ayah,” tutur Stefan tanpa terbata-bata sedikit pun.Bobby membuang muka, lalu melangkah dari ruang tamu ke ruang keluarga. “Minum lagi obat banyak-banyak! Jangan terus-terusan menyusahkan kami!”Istri dan semua anaknya terheran-heran. Kenapa bisa Stefan dengan gagah dan percaya diri mau keluar rumah terus? Mereka berempat melontarkan kalimat sarkas secara berantai.“Menantu memalukan kesayangan Kakek Sanjaya, dengarkan kami, jika kau mati atau kabur, nasib kami semua di sini akan berantakan.”“Ipar yang katanya programmer top, jangan berlagak sok sehat, nanti kau ditabrak lagi, mati kau sekali ini!”“Ipar menyedihkan. Mending kau melamun saja di dalam kamar sana!”Stefan tak peduli. Dia akan tetap mencari uang untuk menafkahi istrinya, lalu menyisihkan sebagian uang untuk membeli laptop. Sebab, dengan laptop tersebut nantinya dia akan lebih mudah mendapatkan uang.Ponsel Stefan berdering.Orderan pertama sebagai ojek online untuk hari ini!“Sesuai aplikasi, Mas!” ucap Grace Santika, lalu dia naik ke boncengan belakang.Tujuan dari Kambang Iwak ke Grand Garden, salah satu perumahan top di Palembang. Perjalanan menempuh waktu sekitar lima belas sampai tiga puluh menit. Cukup lama karena biasanya jam-jam seperti sekarang jalanan dipadati kendaraan.“Pulang kerja, Mbak?” tanya Stefan sambil membuka kaca helm. Angin menderu-deru menampar-nampar wajahnya.“Iya pulang kerja. Rencananya mau ketemuan sama seseorang. Tapi tidak jadi. Barusan aku ditipu.”“Kenapa bisa ditipu?”“Cowok itu menguras habis saldo di salah satu dompet digitalku. Sepertinya ponselku habis disadap.”“Nanti akan aku bantu!”Grace tak salah dengar. Si ojol ini bisa bantu apa? Bantu doa atau apa? Grace malah tak menggubris omongan Stefan.Sesampainya di rumah, Grace membayar ongkos delapan belas ribu kepada Stefan. Namun, pria tampan itu belum mau pergi dan malah memberikan tawaran bantuan.“Pasti Mbak memberikan data pribadi. Berapa uang yang dia ambil?”“Lu
Siang ini di kantor PT Sanjaya Sawit.“Kemarin saya ditolong oleh seorang teman, Pak," ungkap Grace. Bobby berkata, “Baiklah. Bilang pada temanmu itu kalau Bapak butuh bantuan dia.”Ada beberapa orang di kantor ini mengaku bahwa ponsel dan media sosial mereka telah diretas oleh hacker. Sebagian dari mereka juga mengaku telah kehilangan sejumlah uang, bahkan sampai puluhan juta. Bau-baunya perusahaan akan berdampak juga.Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, makanya Bobby sudah mengambil ancang-ancang terlebih dahulu.“Baiklah, nanti akan coba saya bicarakan lagi dengan teman saya, Pak Dirut,” pungkas Grace, kemudian melanjutkan pekerjaannya.Sore harinya ketika pulang kerja, Grace menelepon Stefan dan bilang kalau dia minta antar ke rumah secara offline tanpa aplikasi. Sesampainya di depan kantor PT Sanjaya Sawit, Stefan kaget. Ini adalah kantor milik mertuanya sendiri.Ini adalah kesempatan emas. Sebaiknya nanti pas pulang narik saja dia bilang kepada mertuanya bahwa dia bis
Mau sembuh atau belum, sang ibu mertua tidak peduli, yang penting sekarang dia punya ide. Pagi-pagi buta Chyntia menggedor-gedor pintu kamar Stefan. Anehnya, bukan cacian dan lontaran sarkas yang dilempar, melainkan panggilan persuasif layaknya pemeran antagonis menusuk lawannya dari belakang, penuh kelembutan dan rayuan.“Stefan, kau sudah bangun?”Lantas Stefan membukakan pintu, lalu menjawab, “Sudah dari jam empat tadi aku bangun, Bu.”Chnytia mengangguk sembari mengunggah senyum sebelah yang tidak begitu mengenakkan. Senyum dipaksa. Senyum ada maksud. Jika bisa membaca matanya, asli mata itu adalah mata jahat.Chyntia menatap licik dan berkata, “Ada tugas untukmu sebelum kau pergi narik nanti, Stefan.”“Tugas apa, Bu? Aku siap kapan saja.”“Piring, gelas, kuali, semua yang kotor itu cepat kau cuci!”“Baik, Bu. Segera aku kerjakan.”Stefan sigap menuju dapur. Tak ada satu pun yang dilewatkannya, semua kinclong.Chyntia memanggil suami dan ketiga anaknya.“Sekarang kita punya pembant
Robert dan Luchy masih saja tidak percaya kalau Stefan sudah bisa beraktivitas normal seperti orang pada umumnya. Dua orang itu sibuk saling tanya, kira-kira keajaiban apa yang datang sehingga ipar menyedihkan itu bisa berbicara lancar dan disuruh-suruh.“Apa dia kemasukan jin penunggu di rumah ini?” tanya Luchy sambil cengengesan.“Bisa jadi, Dik. Dia kan sering melamun.”“Bagaimana kalau kita kerjain dia, Kak?” ajak Luchy yang sedang menikmati sarapannya di ruang makan.“Boleh juga. Sudah beberapa hari ini kita kurang hiburan di rumah,” Robert menyepakati.Robert dan Luchy beranjak, lalu pergi halaman samping rumah. Mereka lihat Stefan sedang menyiram tanaman.“Monyet, tolong ambilkan jambu itu!” perintah Luchy yang sudah siap dengan pakaian sekolahnya.Stefan termangu-mangu. Dilihatnya ke atas. “Luchy, buahnya belum matang. Masih hijau," elak Stefan ragu.“Serius kau tahu buah matang atau belum matang? Kau bisa membedakan antara warna merah dan hijau?”Stefan manggut. “Nanti kau sak
Stefan menutup kupingnya rapat-rapat malam ini karena meskipun sudah larut malam, jeritan hinaan masih saja terdengar sampai ke kupingnya, tapi dia tak mengindahkannya. Sebab, Stefan sedang begadang dan sibuk mengutak-atik ponselnya merancang sebuah program canggih untuk melancarkan orderan. Nama programnya : SJ-Gacor. S adalah namanya sendiri dan J adalah John.[10% ...][35% ...][60% ...][100% ...]Meskipun punya kecerdasan dan ingatan di atas manusia normal, bukan berarti Stefan lantas bisa melakukan segalanya sesuka hatinya. Seandainya memang bisa, tentu dia sudah kaya raya sekarang, bukan malah hanya menjadi seorang ojol dan pesuruh di rumah. Stefan manusia biasa yang tetap punya banyak kekurangan dan keterbatasan.Kisah hidupnya bukan seperti mendapat sistem canggih, atau masuk ke pintu ajaib doraemon, lantas tiba-tiba kaya mendadak. Tidak, sama sekali tidak. Stefan menjalani kehidupan normal seperti orang pada umumnya. Di atas realitas yang logis. Menjalani kehidupan yang susa
Pagi ini di kantor PT Sanjaya Sawit, Palembang.Seorang hacker memberikan ancaman kepada Bobby bahwa si hacker berencana akan meretas sistem keamanan perusahaan, mencuri data-data berharga, mengacaukan atau memanipulasi apa saja yang terkait dengan IT perusahaan, seperti database, website, media sosial dan semacamnya.Layar-layar komputer di dalam kantor yang berjumlah lebih dari lima puluh menampilkan sebuah tulisan : “Itulah akibatnya kalau arogan di hadapan karyawan”. Si hacker mengaku sebagai mantan pekerja PT Sanjaya Sawit yang diberhentikan secara sepihak oleh Bobby, maka dari itu si hacker ingin balas dendam.Programmer perusahaan tidak mampu mengatasi masalah. Begitu juga orang yang waktu itu memberikan bantuan kepada karyawan perusahaan yang sedang disadap ponsel dan media sosialnya. Bobby selaku direktur utama perusahaan dibuat pusing oleh si hacker.Grace Santika mengetuk pintu ruang kerja Bobby, lalu dipersilakan masuk dan duduk.“Pak Bobby, bagaimana kalau saya menyuruh te
Stefan kagek begitu melihat istrinya sedang mencuci piring. "Sayang, biar aku saja yang mengerjakannya.” Stefan menarik lengan istrinya.“Mumpung yang lain belum pada bangun. Biar aku saja yang mencuci piring dan pakaian.”Tak lama kemudian Chyntia dengan rambut masih berantakan tiba di dapur, melihat anaknya yang mencuci piring, wanita tua tapi cantik karena perawatan ini menyeringai.“Astaga Lionny! Ke mana babu itu?” “Biar aku saja yang mengerjakannya, Bu. Kasihan Stefan. Sekarang dia sedang bersih-bersih halaman.”Chyntia marah kepada Stefan. “Kau ini kan sudah dibilang. Tiap pagi kau harus cuci piring dan pakaian. Kenapa kau malah menyuruh istrimu?” bentak Chyntia. Matanya melotot.Stefan membalik badannya. “Aku tidak menyuruhnya, Bu. Sudah aku bilang padanya biar aku saja, tapi Lionny masih memaksakan diri.”“Alasan sekali. Makin hari kau melunjak. Sepertinya cap benalu akan terus ada pada dirimu ini. Cepat selesaikan pekerjaanmu itu. Buang sampah jangan lupa!”Halaman belakang,
Bobby dan Robert menggeret Stefan ke kamarnya secara paksa, membantingnya ke atas kasur. Stefan jatuh berdebam, tak bisa berkutik sama sekali.“Tingkahnya mulai aneh lagi, Ayah. Bagaimana bisa dia memperbaiki laptoku? Asli ni orang memang aneh.”“Stefan, kau sudah mengada-ada dan parahnya kau bisa dapat duit sebanyak itu dari mana?”Stefan mengatur napasnya, lalu menjawab tenang, “Aku tidak berbohong pada kalian semua. Aku melakukan dan mengatakan apa adanya. Tapi kalian tidak pernah percaya padaku.”Bobby dan anaknya malah meninggalkan Stefan, lalu mengunci pintu kamarnya.“Sampah!”Stefan menyandarkan punggungnya, memejamkan matanya. Entah apa lagi yang harus diperbuat untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar sudah sehat, normal, dan seperti manusia pada umumnya. Segenap usaha telah dilakukannya.Namun, mertua dan iparnya masih saja tidak senang terhadap dirinya. Sementara istrinya berada dalam kebimbangan. Di saat Lionny menunjukkan cinta dan sayangnya pada suaminya, keluarganya