Share

Bab 2

Stefan menghubungi Pak Arya dan kembali membahas soal pekerjaannya di AlfaTech.

“Maaf, Stefan, namamu sudah dicoret dan sudah digantikan oleh orang lain.”

“Saya sudah tanda tangan kontrak kerja, Pak.”

“Betul. Tapi sudah tiga tahun kau tidak memberikan konfirmasi kepada pihak perusahaan. Jadi dengan berat hati kami menyampaikan bahwa kau tidak bisa lagi diterima bekerja di AlfaTech.”

Stefan membuang harapannya untuk bisa bekerja di AlfaTech. Kemudian dia mencari opsi lain, yakni berusaha mencari lowongan pekerjaan. Namun, Stefan tidak akan bisa sebab semua ijazah dan sertifikat serta apapun yang terkait dengan administrasi studinya, dari SD sampai sarjana, semuanya telah dibakar oleh Bobby. Tak menyisakan sedikit pun.

Kecuali apa yang ada di dalam lemari ini saja. Apa yang bisa dipakainya untuk melamar pekerjaan? Stefan ada ide. Bagaimana kalau dia melamar di perusahaan yang dipegang oleh mertuanya sendiri.

Senin pagi. Stefan tahu kalau sebentar lagi mertuanya akan menggedor pintu kamarnya. Sebelum itu, dia sudah bersiap. Dia sudah mandi dan berpakaian rapi. Dilihatnya dirinya sendiri di cermin. Rambutnya yang cepak dan disisir ke kanan. Hidung mancung. Bibir tipis. Dagu lancip. Tinggi badan 180 cm dan berat badan 70 kilogram. Kulitnya kuning langsat mendekati putih. Dengan setelan kemeja biru ini Stefan tampak tampan.

GAR!

GAR!

Stefan buru-buru membukakan pintu. “Selamat pagi, Ayah!” sapa Stefan tanpa terbata-bata sambil senyum.

Bobby kaget, mulutnya agak terbuka. “Kenapa kau rapi sekali? Dasar gila!”

“Aku ingin bekerja di PT. Sanjaya Sawit sebagai programmer. Aku bisa mengelola website, menjaga sistem, dan memperbaiki perangkat komputer.”

Bobby mendengus kesal sambil mendamprat. “Aneh kau ini! Makan dan tidur saja sana!”

“Aku serius, Ayah. Aku punya istri yang harus aku nafkahi.”

“Kau ini masih bermimpi. Dasar!” Bobby melengos, lalu enyah meninggalkan Stefan yang masih saja tertegun.

Tak lama setelah itu Robert dan Luchy secara berbarengan tiba di depan pintu kamar Stefan. Melihat penampilan Stefan yang rapi, mereka berdua terperangah, apa mereka salah lihat?

“Kau perlahan ada kemajuan, ipar sampah! Kemarin-kemarin bisa bawa motor, sekarang sudah bisa berpakaian rapi. Boleh juga,” maki Robert.

“Jangan lupa bawa saputangan untuk mengelap cairan yang akan keluar dari hidungmu itu!” cela Luchy.

Stefan santai mendengar semua hinaan terhadap dirinya. Dengan tenang dan jelas dia menjawab, “Jika kalian mau pergi, silakan, aku mau keluar mencari sarapan.”

Robert menunjuknya sambil meremehkan. “Kau itu hampir tiga tahun penuh jadi benalu di rumah ini. Kau ingat? Baguslah kalau sekarang sudah bisa mencari makan sendiri.”

“Ayam saja tidak disuapi makannya. Benalu!”

“Kau itu lebih rendah dari seekor ayam!”

“Mati saja!”

Robert dan Luchy pun pergi.

Tidak ingin dihina pula oleh ibu mertua dan juga istrinya, Stefan beringsut keluar rumah. Tidak ada satu pun yang tidak dia ingat lokasi di sekitar sini, bahkan di kota ini, semuanya diingatnya dengan teramat baik, bahkan dia pun masih ingat nama dokter dan suster yang merawatnya sewaktu di rumah sakit.

Stefan duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan di sekitar Bukit Kecil. Dia menikmati secangkir kopi hitam dan beberapa potong roti. Dilihatnya pohon angsana, palem, dan beringin di pinggir jalan. Dia tahu persis nama tanaman penghias jalan itu, Furcraea dan Lantana. Bahkan dia bisa membedakan antara palem botol, palem putri, dan palem segitiga.

Sementara di rumah, Lionny kaget begitu tidak mendapati Stefan di dalam kamar. Lantas dia menanyakan kepada ibunya yang baru saja pulang dari pasar.

“Ke mana menantu benalu itu?” tanya balik Chyntia sembari mengerling ke seisi rumah.

“Aku sudah cari dia, tapi tidak ada.”

“Dia di rumah salah, di luar buat kita susah, memang serba salah punya menantu tidak berguna seperti dia itu.”

“Bu, sepertinya aku harus bicara lagi sama Kakek Sanjaya.”

Lionny mengambil ponselnya, lalu menghubungi kakeknya. Dia menyampaikan berbagai macam keluhan selama Stefan berada di sini. Satu keluarga sepakat ingin mengirimkan Stefan ke rumah sakit jiwa.

“Dia bersikeras ingin menjadi tukang ojek, padahal sudah kami larang, sekarang dia malah keluar dari rumah tanpa berpamitan.”

“Aku masih sayang sama dia. Jika kalian usir apalagi sampai bercerai, kalian semua tidak akan pernah mendapatkan warisan!”

Kakek Sanjaya memberikan ultimatum tegas. Mendengar itu, Chyntia dan Lionny tak mampu berkata apa-apa lagi. Bobby sebagai kepala keluarga saja tidak bisa berkutik ketika diberi peringatan oleh ayahnya.

Tentu satu keluarga ini akan menuruti apa saja yang diperintahkan oleh Kakek Sanjaya, sebab Bobby merupakan satu-satunya penerus keluarga, maka dari itu semua harta warisan yang berlimpah sudah dipastikan diterima oleh Bobby.

Satu-satunya langkah yang bisa mereka ambil adalah tetap bersabar atas kehadiran Stefan di rumah ini. Jika Kakek Sanjaya sudah memutuskan sesuatu, tak akan ada yang bisa protes. Semua akan berjalan sesuai perintah beliau.

“Assalamu’alaikum.”

Chyntia dan Lionny tersentak, lalu menjawab salam tersebut. Rupanya Stefan. Dia pulang. Buru-buru Lionny mendekat ke pintu depan.

“Dari mana saja kau? Kami khawatir sekali,” tanya Lionny mengerutkan kening.

Jika Stefan tidak pulang, asli Kakek Sanjaya pasti marah besar. Chyntia, meski terlanjur benci, namun tetap berusaha tidak berlebihan memperlakukan Stefan dengan buruk.

“Kami mengkhawatirkan kau!” Chyntia berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng.

Stefan senyum. Dengan polosnya dia memberikan bungkusan roti tawar yang tadi dibelinya di mini market. “Maaf tadi aku tidak pamit lagi. Soalnya sudah lapar.”

“Ya iyalah!” Lionny emosi. “Kau dua hari hampir mati karena over dosis.”

Lionny dan ibunya malah heran. Kenapa sekarang Stefan berpenampilan bagus? Kenapa sekarang dia lancar sekali bicara? Bagaimana bisa dia pergi belanja?

Chyntia berang dan berkata, “Masuklah kau ke kamar sana! Akan kami kunci dari luar!”

“Jangan, Bu. Jangan dikunci. Nanti aku mau keluar lagi. Aku mau narik siang ini.”

“Tidak usah kau pergi ngojek, Stefan. Nanti Kakek Sanjaya berpikir kau ditelantarkan di sini. Parahnya nanti kau tidak ingat jalan pulang.”

“Tenang saja. Aku ingat, buktinya aku sekarang sudah di rumah.”

Sore harinya, pas pula Bobby dari pulang bekerja, Stefan berpamitan dengan mertuanya.

“Hei menantu sampah! Mau ke mana kau?”

“Mau cari uang, Ayah,” balas Stefan sambil mengenakan helm.

“Jangan! Otak dan badanmu belum sembuh!”

Stefan melompat-lompat melakukan gerakan jumping jacks dan meregangkan otot-ototnya. “Aku sudah sehat, Ayah. Jika Ayah berubah pikiran, aku akan siap kapan saja bekerja di perusahaan Ayah,” tutur Stefan tanpa terbata-bata sedikit pun.

Bobby membuang muka, lalu melangkah dari ruang tamu ke ruang keluarga. “Minum lagi obat banyak-banyak! Jangan terus-terusan menyusahkan kami!”

Istri dan semua anaknya terheran-heran. Kenapa bisa Stefan dengan gagah dan percaya diri mau keluar rumah terus? Mereka berempat melontarkan kalimat sarkas secara berantai.

“Menantu memalukan kesayangan Kakek Sanjaya, dengarkan kami, jika kau mati atau kabur, nasib kami semua di sini akan berantakan.”

“Ipar yang katanya programmer top, jangan berlagak sok sehat, nanti kau ditabrak lagi, mati kau sekali ini!”

“Ipar menyedihkan. Mending kau melamun saja di dalam kamar sana!”

Stefan tak peduli. Dia akan tetap mencari uang untuk menafkahi istrinya, lalu menyisihkan sebagian uang untuk membeli laptop. Sebab, dengan laptop tersebut nantinya dia akan lebih mudah mendapatkan uang.

Ponsel Stefan berdering.

Orderan pertama sebagai ojek online untuk hari ini!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status