Share

Bab 6

Robert dan Luchy masih saja tidak percaya kalau Stefan sudah bisa beraktivitas normal seperti orang pada umumnya. Dua orang itu sibuk saling tanya, kira-kira keajaiban apa yang datang sehingga ipar menyedihkan itu bisa berbicara lancar dan disuruh-suruh.

“Apa dia kemasukan jin penunggu di rumah ini?” tanya Luchy sambil cengengesan.

“Bisa jadi, Dik. Dia kan sering melamun.”

“Bagaimana kalau kita kerjain dia, Kak?” ajak Luchy yang sedang menikmati sarapannya di ruang makan.

“Boleh juga. Sudah beberapa hari ini kita kurang hiburan di rumah,” Robert menyepakati.

Robert dan Luchy beranjak, lalu pergi halaman samping rumah. Mereka lihat Stefan sedang menyiram tanaman.

“Monyet, tolong ambilkan jambu itu!” perintah Luchy yang sudah siap dengan pakaian sekolahnya.

Stefan termangu-mangu. Dilihatnya ke atas. “Luchy, buahnya belum matang. Masih hijau," elak Stefan ragu.

“Serius kau tahu buah matang atau belum matang? Kau bisa membedakan antara warna merah dan hijau?”

Stefan manggut. “Nanti kau sakit perut kalau makan buahnya.”

Robert yang usianya lebih muda enam tahun dari Stefan menepuk-nepuk pundak Stefan. “Panjatlah pohon itu. Ambilkan buah yang paling atas.”

Tidak berpikir lagi, Stefan bergegas memanjat batang pohon jambu setinggi tiga meter lebih ini, kemudian terus memanjat sampai ke ranting paling atas. Stefan agak kesusahan meraih buah paling atas karena dedaunannya sangat lebat.

Luchy si bocah kelas 12 SMA berlarian masuk ke rumah, lalu menjerit histeris, “Ayah, Ibu, Stefan belum sembuh. Lihatlah dia di halaman samping!”

Bobby dan Chyntia bergegas. Melihat Stefan sedang asyik bergelantungan, suami istri itu pun terperanjat.

“Woi kera!” lolong Bobby. “Siapa yang suruh kau manjat pohon ha?”

“Buahnya belum matang, Bodoh!” lolong Chyntia mengernyit. “Cepat turun! Nanti kau jatuh, kami pula yang susah.”

Lionny terkejut. Ada keributan apa di luar sana?

“Astaga! Stefan, turunlah!” pekiknya.

Robert dan Luchy buru-buru kabur dengan sepeda motor masing-masing. Dua orang itu tertawa geli sambil menarik kencang gas sepeda motornya.

Akhirnya Stefan perlahan-lahan turun. Dia mengeluarkan satu buah jambu berukuran kecil dan masih sangat hijau dari kantung celananya. Stefan mengedarkan pandangan. “Mana Robert? Aku mau ngasih ini ke dia.”

Bobby menggeleng-geleng. “Rupanya kau berpura-pura sembuh, Stefan. Nanti akan aku pesankan lagi obatmu. Kali ini kau habisi dua ratus biji.”

Chyntia kesal. “Kalau sudah tugas di halaman, cepat kau masuk. Piring dan pakaian kotor sudah menunggu.”

Bobby melenggang dan meninggalkan menantu bodoh ini. Begitu juga istrinya, mending langsung pergi ke pasar pagi-pagi daripada berurusan dengan orang gila ini.

Lionny mendekati Stefan. “Sayang, seharusnya kau tidak perlu melakukannya.”

“Luchy dan Robert ....”

“Sudahlah. Aku baru saja percaya kalau kau sudah baikan, tapi malah kau buat ulah lagi.”

“Maafkan aku, Sayang. Aku hanya ingin buktikan pada dua adikmu.”

Sebelum berangkat, Stefan mendapat pesan istimewa dari ibu mertuanya.

“Bawa uang yang banyak! Supaya bisa beli obat!”

Stefan menyalakan mesin sepeda motornya, lalu berpamitan.

“Stefan tunggu. Untuk makan siangmu,” Lionny memberikan kantong plastik kresek warna hitam, ada air mineral juga.

Stefan pun pergi dengan semangat meski goresan luka di hatinya terus bertambah dan bertambah.

Di dapur ketika sedang masak, Chyntia marah sama anaknya. “Kenapa kau buatkan makan siang untuknya, Lionny?”

Lionny membalas pelan, “Aku kasihan sama dia, Bu.”

“Kau lihatlah. Dia belum sembuh kan?”

Lionny tak menjawab, karena jika dijawab, perdebatan ini akan semakin panjang. Saban hari terdengar panas dikupingnya sebuah kalimat tentang perceraiannya dengan Stefan. Kedua orang tua Lionny telah sepakat agar dia mending bercerai saja daripada hidup serba tak enak.

Namun, Lionny masih punya hati. Kasih sayangnya terhadap suaminya dan provokasi dari keluarganya seperti dua energi yang saling berlawanan. Di saat dia menuruti kata hatinya, di saat itu pula ada semburat gelap yang menohok sanubarinya sehingga jadi ambigu, bingung mau pilih jalan yang mana.

===>>>0<<<===

Siang yang terik. Tetapi pepohonan yang rindang di sekitar Taman Kambang Iwak menjadi peneduh. Riak air danau di tengah sana sungguh sedap didengar. Ada satu dua orang yang berlari-lari membakar kalori di joging track.

“Ayo kita makan bareng, John!”

“Silakan, Stefan. Aku masih nunggu orderan tunai. Nanti aku akan beli nasi bungkus kalau sudah dapat.”

“Belum tentu kau dikasih orderan tunai. Sekarang sudah hampir jam dua. Jam berapa lagi kau mau makan? Ayo!”

Stefan membagi dua nasi gorengnya.

“Masakan istri?” tanya John sambil makan dengan lahap.

“Ya. Kau masih bujang?”

“He-e.” John agak kesusahan bicara karena mulutnya dipenuhi nasi.

“Menikahlah. Biar ada yang masakin.”

“Aku mau nabung dulu yang banyak. Ada cerita kawanku. Satu tahun menikah. Hampir setiap hari direpeti oleh mertuanya karena penghasilannya minim. Wajar. Dia cuma kuli bangunan.”

“Itulah risikonya kalau berkeluarga, apalagi kalau menumpang sepertiku. Jadi banyak-banyak sabar saja."

Kasihan John. Dia anak pertama dari empat bersaudara. Dia harus menghidupi ibunya yang sudah janda dan ketiga adiknya yang masih sekolah. Sementara ibunya berjualan pempek kecil-kecilan di depan kontrakan sepetak mereka.

Jika orderan sepi, John terkadang terpaksa harus berutang dengan teman-teman dekat untuk menutupi biaya sehari-hari keluarga. Sudah cukup sering John memasukkan berbagai macam lamaran pekerjaan tapi hasilnya nihil.

Maka jalan satu-satunya untuk mencari nafkah hanya mengandalkan ojek online saja. Meskipun sudah berumur tiga puluh dua tahun, terpaut delapan angka dari umur Stefan, namun langkah yang diambil oleh John dalam menunda pernikahan sangat tepat.

Ditambah, ketiga adik John semuanya cewek, kelas tiga SMP, kelas enam SD, dan satu lagi kelas satu SD. Mereka bertiga bisa diandalkan dalam membantu ibunya berjualan, itu saja. John menjadi tulang punggung keluarga di tengah zaman susah.

John bercerita bahwa dia sempat kepingin jadi hacker!

Semakin seru obrolan mereka, semakin sore hari, semakin terasa sepi pula orderan. Hari ini Stefan hanya dapat tiga orderan dan John juga sama, tiga. Bukan hanya mereka, driver lain juga merasakan hal yang sama, tidak se-gacor dulu.

“John, apa sekarang para driver masih ada yang pakai mod, fake GPS, nuyul dan semacamnya?”

“Penyedia layanan sekarang sistemnya makin canggih. Tidak seperti dulu, orang main curang supaya bisa gacor. Soalnya kalau pakai cara kotor, akan langsung terdeteksi, lalu akun langsung suspend.”

“Jika aku buat akunmu gacor bisa sampai tiga puluh orderan sehari tanpa suspend, apa kau mau?”

“Tanpa suspend? Jelas maulah. Aku banyak utang sekarang, Stefan, dan semua harus aku bayar.”

“Serius mau?”

“Mau. Tapi mustahil bisa tidak terdeteksi.”

Stefan senyum. “Kau tenang saja.” Stefan akan merancang sebuah program untuk meng-gacor-kan akunnya. Lihat saja besok.

Ketika sudah sampai di rumah jam sembilan malam, Stefan dibombardir dengan segala macam cemoohan karena hari ini dia masih tidak bisa memenuhi tuntutan mereka.

Stefan masih sabar, tunggulah besok. Dia akan menguji kembali kemampuannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bubun Sukabumi
jadi penasaran,,menarik sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status