Share

Bab 5

Mau sembuh atau belum, sang ibu mertua tidak peduli, yang penting sekarang dia punya ide. Pagi-pagi buta Chyntia menggedor-gedor pintu kamar Stefan. Anehnya, bukan cacian dan lontaran sarkas yang dilempar, melainkan panggilan persuasif layaknya pemeran antagonis menusuk lawannya dari belakang, penuh kelembutan dan rayuan.

“Stefan, kau sudah bangun?”

Lantas Stefan membukakan pintu, lalu menjawab, “Sudah dari jam empat tadi aku bangun, Bu.”

Chnytia mengangguk sembari mengunggah senyum sebelah yang tidak begitu mengenakkan. Senyum dipaksa. Senyum ada maksud. Jika bisa membaca matanya, asli mata itu adalah mata jahat.

Chyntia menatap licik dan berkata, “Ada tugas untukmu sebelum kau pergi narik nanti, Stefan.”

“Tugas apa, Bu? Aku siap kapan saja.”

“Piring, gelas, kuali, semua yang kotor itu cepat kau cuci!”

“Baik, Bu. Segera aku kerjakan.”

Stefan sigap menuju dapur. Tak ada satu pun yang dilewatkannya, semua kinclong.

Chyntia memanggil suami dan ketiga anaknya.

“Sekarang kita punya pembantu baru,” ucap Chyntia sumringah.

“Cuci sampai bersih!” titah Luchy.

“Awas saja kalau masih ada yang kotor!” cibir Robert.

Bobby ngamuk. “Stefan, apa-apaan kau ini ngasih duit lima puluh ribu ke istrimu?! Duit sedikit itu mana cukup. Kau mau menghina putriku?”

Sembari mengucek-ucek piring yang penuh busa, Stefan menjawab, “Mudah-mudahan hari ini aku dapat orderan banyak, Ayah, bila perlu aku pulang jam sebelas malam, biar bisa ngasih istriku duit yang banyak.”

“Aku tidak peduli kau mau pulang jam berapa. Ingat, aku tidak ingin kau merendahkan istriku dengan nafkah lima puluh ribu. Apa kau tidak menghargainya?”

“Aku sangat menghargai istriku, Ayah. Baiklah, mulai hari ini akan aku kasih dia duit lebih dari itu.”

Setelah selesai mencuci piring, Stefan ingin pamit dengan ibu mertuanya. Tapi, belum sempat Stefan pergi, ibu mertuanya memerintahkannya mencuci pakaian dan menjemur.

“Apa kau bisa melakukannya? Katanya kau sudah sehat?”

“Tentu aku bisa melakukannya, Bu.”

Ketika semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, hanya ada Stefan dan Lionny di rumah. Lionny tak sampai hati melihat suaminya disuruh-suruh. Persis jadi bapak rumah tangga. Persis pembantu.

“Stefan, kau belum sarapan.”

Stefan yang sedang asyik menyampirkan pakaian membalik badannya, kemudian menjawab dengan tanpa ada keluhan sama sekali, “Habis ini aku sarapan, Sayang.”

“Kau tidak perlu melakukan pekerjaan rumah seperti ini.”

“Tidak apa-apa. Biar mereka percaya bahwa aku benar-benar sudah sehat.”

“Mereka percaya kalau kau sudah sehat.”

“Aku ingin memperbaiki namaku di keluargamu. Aku tidak ingin dicap sebagai menantu dan ipar benalu di rumah ini. Aku tidak ingin dicap sebagai menantu dan ipar sampah. Aku tidak ingin menjadi suami yang tidak bisa diandalkan.”

Lionny menunduk dan terenyuh. “Besok-besok tidak usah lagi kau melakukan pekerjaan rumah seperti ini.”

“Aku tidak keberatan sama sekali. Tiga tahun penuh aku kerjanya hanya makan tidur dan jadi benalu. Aku ingin membuktikan pada keluargamu kalau aku bukanlah orang pemalas yang tidak bisa diandalkan.”

Ketika pekerjaan telah selesai dan Stefan pamit ingin keluar, tiba-tiba ibu mertuanya melolong dari dapur, “Kau lihatlah, halaman kita kotor sekali. Banyak daun-daun rontok. Rumputnya sudah mulai tinggi. Kau sudah sembuh kan Stefan?”

Stefan mengambil sapu lidi dan sekop, lalu melaksanakan perintah ibu mertuanya dengan sepenuh hati. Dipotonginya rumput-rumput, lalu dibersihkannya, hingga halaman depan begitu rapi dan sedap dipandang.

Menyaksikan Stefan bekerja dengan baik, Chyntia melongo dari balik jendela. Lionny mendekati ibunya sambil meyakinkan bahwa Stefan benar-benar sembuh. Dia juga bilang pada ibunya kalau jangan berlebihan menyuruh-nyuruh suaminya.

“Kau diam saja, Lionny! Menantu sampah itu pantas mendapatkannya. Paling satu minggu dia sehat, ujung-ujungnya balik gila lagi.”

Jam 10 pagi.

Setelah sarapan, Stefan pun pamit. Dihidupkannya aplikasi. Dia menunggu orderan di sekitar Kambang Iwak, masih berada di kawasan Bukit Kecil. Stefan terkejut pas ingat bahwa dia harus membantu temannya Grace. Stefan mengirim pesan pada Grace, menanyakan soal itu.

[Dia sudah minta bantuan kepada orang lain.]

Astaga!

Padahal, Stefan sudah dijanjikan bayaran tiga ratus ribu. Uang yang cukup banyak dan bisa diberikan untuk istrinya. Ah, bukan rezekinya, pikir Stefan. Mana Grace agak marah pula karena Stefan tidak merespons chat-nya dari tadi.

Jam satu siang Stefan baru pecah telur. Order food. Dia bergegas ke salah satu restoran yang berada di sekitar Taman Kambang Iwak. Sesampainya di sana, Stefan mendekat bagian kasir.

“GF-340. Tolong diproses.”

Stefan pun duduk-duduk menunggu pesanannya. Di sampingnya ada seorang driver yang tampak murung. Badannya kurus dan kulitnya hitam belang karena terlalu sering berada di atas aspal. Tak sampai hati Stefan melihatnya.

“Bagaimana, ramai orderan?” tanya Stefan sambil memberikan sebotol minuman rasa.

John tersentak dan pembicaraan dengan dirinya sendiri terputus. “Hm. Buat aku? Terima kasih ya. Baru dua biji.”

“Keluar jam berapa?”

“Dari jam 6,” balas John lemas.

“Kemarin-kemarin bagaimana? Sama seperti ini juga?”

“Sampai siang ya seperti ini. Palingan tiga orderan. Sampai malam paling dapat lima biji.”

Lima orderan. Rata-rata tiap order dapat ongkos sepuluh ribu, jadi pendapatan kotor lima puluh ribu. Bensin dua puluh ribu. Terus makan. Terus belum lagi kalau merokok. Terus kalau ada apa-apa di jalan seperti pecah ban dan semacamnya. Berapa itu pendapatan bersihnya?

“Sabar saja John. Mudah-mudahan besok ada rezeki lebih.”

Stefan meminta kontak John. Dilihat dari penampilan dan cara merespons John yang santai dan supel, ditambah John ngobrolnya nyambung dan tidak sombong, maka Stefan bermaksud ingin berteman dekat dengan si John ini, teman selama ngojol tentunya.

Setelah ini hingga sore Stefan tak dapat orderan sama sekali. Dia belum dapat duit sepeser pun hari ini karena orderan pertama tadi pembayaran non-tunai. Sekitar jam empat dia sudah nangkring di pinggir jalan tak jauh dari kantor PT Sanjaya Sawit.

Sebelumnya Stefan sudah diperingatkan oleh mertuanya untuk tidak mangkal di sekitar kantor beliau dengan alasan akan malu jika nanti diketahui oleh semua anak buahnya bahwa beliau punya menantu seorang ojol. Stefan agak takut-takut kalau menunggu kedatangan Grace.

Stefan duduk tak jauh dari halte, sekitar lima puluh meter dari kantor PT Sanjaya Sawit, pas di depan salah satu kantor bank konvensional. Sementara itu di dalam kantor PT Sanjaya Sawit.

Bobby Sanjaya marah kepada Grace. “Mana temanmu itu? Katanya mau bantu karyawan kita.”

Grace menunduk. “Maaf, Pak. Sepertinya dia ada kesibukan lain.”

“Entah dia yang bohong. Atau kau yang bohong. Bagaimana dia bisa membantu perusahaan kita nantinya kalau dia bisa lupa dan lalai? Bagaimana pula saya mau menerima dia bekerja di sini?”

Grace keluar dari kantor dengan perasaan gundah sehabis dimarahi oleh bosnya. Dia berjalan di atas trotoar penuh dengan kekesalan. Lantas dimarahinya Stefan yang tengah asyik duduk-duduk di halte.

“Stefan! Kau ini bagaimana sih?! Katanya kau akan membantu temanku.” Grace emosi.

“Maafkan aku, Grace," balas Stefan mengaku bersalah.

Stefan mengantar Grace pulang tanpa ada pembicaraan apa pun di atas sepeda motor. Meskipun berulang kali meminta maaf, Grace masih kesal sama Stefan. Sepanjang jalan Grace cemberut.

Setelah mengantar Grace, Stefan melanjutkan pekerjaannya karena dia harus kejar setoran malam ini. Jika malam, orderan food lebih banyak ketimbang orderan lainnya seperti penumpang atau barang.

Namun, sampai jam sepuluh malam, Stefan hanya dapat tambahan tiga orderan saja. Duit cash yang didapat hanya tiga puluh lima ribu plus ongkos dari Grace dua puluh ribu. Stefan pun pulang dengan perasaan resah.

Kedua mertua dan iparnya sudah menunggu di ruang keluarga. Sengaja mereka belum masuk ke kamar hanya untuk melihat manusia menyedihkan ini pulang.

Robert dan Luchy menatap Stefan dengan tajam sekali sambil mengucek-ngucek hidung. Ibu mertuanya memandang dengan jijik dan ingin muntah. Ayah mertuanya pun begitu, muak sekali, lalu berujar dengan keras.

“Bagaimana orderan hari ini, Menantu sialan? Ramai? Istrimu butuh duit untuk belanja besok!”

Stefan mengawasi wajah-wajah ketidaksenangan itu, lalu menghela napas lelah. Disekanya keringat dan debu di keningnya. Matanya merah karena seharian terkena angin jalanan. Bibirnya kering karena kurang cairan. Dan badannya lemas karena belum makan malam.

Lalu Stefan memasukkan tangan kanannya ke saku celana, merogoh uang bersih dari kerja keras hari ini seharian. Enam puluh lima ribu dipotong bensin dua puluh ribu. Jajan lima ribu beli gorengan untuk makan siang. Sisa empat puluh ribu, itulah nafkah itu istrinya besok.

“Kau sudah bilang akan ngasih lebih dari lima puluh ribu!” sentak ibu mertuanya sambil men-scroll, asyik menonton konten.

Stefan menyerahkan uang empat puluh ribu rupiah ke istrinya yang tepat tertegun berdiri di sampingnya. “Maaf, rezeki hari ini hanya segitu. Mudah-mudahan besok dapat lebih,” ujar Stefan menguatkan diri.

“Terima kasih, Stefan,” balas Lionny pelan.

Sontak darah Bobby mendidih. Urat di keningnya mencuat. “Kau ini masih gila! Empat puluh ribu! Apa kata tetangga nantinya kalau mereka tahu ha? Asli kau ini belum sembuh!”

Karena sudah malas meladeni, Robert dan Luchy undur diri, sambil memekik dan menghadap Stefan. “Ipar payah!”

Sebelum masuk ke kamar, ibu mertuanya menunjuk-nunjuk dan berkata keras, “Kau tidak bisa diandalkan dalam mencari uang. Besok kau cuci lagi piring dan pakaian. Terus kau bersihkan semua ruangan di rumah ini, kau sapu, pel, dan kau rapikan perabot-perabot!”

===>>>0<<<===

Terimakasih telah membaca, Guys.

Jangan lupa like, komen, dan follow!

Ikuti terus kisah Stefan!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Supari Yoni
bagus sampai bab ini aku masih suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status