Share

Bakti Seorang Menantu
Bakti Seorang Menantu
Penulis: RatuNna Kania

1. Kita tidak punya pembantu.

Braaak….

"Jangan mentang-mentang lagi hamil, terus dibuat alasan untuk bangun siang dan malas-malasan! Di rumah ini, nggak ada pembantu! Kamu anggap aku pembantu? Hah?!"

Mala membuka selimutnya dan mencoba duduk, setelah mendengar omelan mertuanya. Kebetulan kamarnya memang tidak terkunci, hingga dengan mudah Bu Samirah membuka pintu kamar menantunya sambil mengomel.

Mala merasa kepalanya pusing pagi ini, sejak subuh ia sudah bangun dan hanya menunaikan sholat, lalu kembali ke kamarnya. Mungkin efek kehamilannya yang baru menginjak dua bulan membuat Mala tidak seperti biasanya. Hingga membuat mertuanya geram.

"Enak banget, ya! Tidur sampai jam segini, rumah sudah bersih, makanan sudah matang, dan Nyonya besar baru bangun." Omelan Bu Samirah semakin nyaring di telinga menantunya. Tapi tak sepatah katapun di sahutinya oleh Mala.

Wanita 23 tahun itu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Perutnya terasa mual seperti ingin memuntahkan sesuatu.

"Yang pernah ngidam itu bukan kamu doang! Saya juga dulu ngidam anak 4, gak ada kayak kamu, jangan drama, deh!" Lagi-lagi Bu Samirah mengomel, setiap apa gerakan Mala yang mata tangkap, tak pernah luput dari omelannya.

Mala memuntahkan isi perutnya hingga berurai air mata. Padahal perutnya sudah kosong sejak semalam. Karena sejak sebelum tidur pun ia muntah juga.

"Allah," lirih Mala sambil membasuh mukanya. Ia seolah berusaha menguatkan dirinya sendiri dengan keadaan seperti ini.

"Cepat sarapan, sana! Nanti anakmu kelaparan!" titah Bu Samirah yang melihat wajah menantunya sangat pucat. Ia juga merasa khawatir setelah melihat keadaan Mala, tapi sifat egois sangat mendominasi otaknya, hingga yang keluar dari mulutnya bukan kata-kata yang baik melainkan omelan pedas di setiap kata-nya.

Mala menyandarkan punggungnya di kursi makan, ia sejenak memejamkan matanya, dunia rasanya berputar, hingga untuk mengambil segelas air hangat saja ia butuh menstabilkan tubuhnya terlebih dahulu .

"Nih, minum." Bu Samirah meletakan segelas air hangat yang diambilnya dari termos. Mala membuka matanya melihat mertuanya yang berdiri tepat di sampingnya sambil memandangnya sinis.

"Buruan minum, biar gak dehidrasi," titahnya lagi, dengan pandangan mata yang tajam.

Mala meneguk air hangat yang di suguhkan mertuanya, meski bagaimanapun mertuanya ternyata masih peduli pada dirinya.

"Allahuakbar, Ibu sedang melayani Nyonya besar?" Eni bertanya sekaligus meledek ibunya. Eni adalah kakak sulung dari suaminya Mala. Bu Samirah hanya mendelik. menatap anaknya yang baru saja datang bersama ketiga cucunya.

"Waah, sayur asem," pekik Eni. Tatkala melihat isi tudung saji di meja makan. Ia langsung menyuruh anaknya mengambil 3 piring untuk mereka makan.

"Kamu emang gak masak di rumah, En?" tanya Bu Samirah dengan sedikit ketus. Karena ia memasak untuk porsinya berlima saja hingga sore. Namun dengan kedatangan Eni dan anaknya, sudah pasti untuk makan siang sang suami pun, ia harus masak kembali.

"Aku malas masak, Bu, anak-anak rewel," jawabnya dengan mulut penuh. Dipiring ya sudah penuh dengan tempe goreng, ikan pindang juga kerupuk kulit.

"Ayo, Mala kamu makan dulu, nanti keburu habis nasinya," ucap Bu Samirah. Sebenarnya ia khawatir kalau nasi beserta lauk yang ia masak tadi pagi akan habis oleh anak dan cucunya itu. Sudah pasti Rahman akan marah jika tahu istrinya blm makan, sedangkan untuk memasak lagi ia malas. Bukan hanya karena malas tapi tubuhnya juga tidak bisa diforsir seperti itu. Bisa kelelahan nantinya.

"Enak banget ya, jadi Nyonya besar! Makan aja di tawar-tawarin, anak sendiri mah boro-boro!" ucap Eni dengan sinis. Dia selalu iri pada Mala dalam hal apapun.

"Nggak ditawari juga sudah nyentong nasi. Apa kabar kalau ditawari?" timpal Ria yang baru saja datang dengan menenteng sebuah plastik.

Eni mendelik melihat adik bungsunya itu. Ria memang punya sifat judes dan kalau ngomong pedes banget. Kalau makanan bisa di levelkan pada tingkat 10++.

Ria gadis yang baik, hanya pada Eni dan istri Rahmat saja yang ngomongnya ketus karena kakak dan iparnya itu memang bisa dibilang gak tau diri.

"Awas, ya! Nanti kalau suamiku pulang, gak akan ku kasih jajan!" ancamnya sambil menghabiskan tempe di piring makannya.

"Halah, ngasih dua puluh ribu aja sampe tahu satu desa ini!" ejeknya.

"Dua puluh ribu juga duit, kamu belum bisa cari duit segitu! Lebaran kemarin juga aku yang beliin baju." Eni mengingatkan kebaikannya pada adik bungsunya.

Mala yang melihat itu semua, kepalanya makin pusing. Dan mual makin melanda,ia langsung berlari lagi ke kamar mandi dan memuntahkan air yang baru saja ia teguk.

"Mbak Mala, kenapa?" tanya Ria yang kini sudah berada diambang pintu kamar mandi.

"Namanya juga orang ngidam, ya begitulah! Mana aku lagi makan! Gak sopan. Huft." Eni membanting sendok Hingga suara dentingnya begitu nyaring.

"Kenapa Kakak makan disini? Gak punya rumah? Atau sengaja menghabiskan makanan kami?" Ria mengoceh sambil menuntun Mala yang hendak ke kamarnya. Tapi Eni tak menyahut omongan adiknya. Bisa berabe kalau Ria nanti ngadu sama suami dan bapaknya.

"Ayo, pulang," ajak Eni pada anak-anak yang baru saja menyelesaikan makan mereka.

"Heh, cuci piringnya dulu sebelum pulang! Di sini tidak ada pembantu!" teriak Ria. Sedangkan Bu Samirah, hanya memandang geram pada Eni dan anak-anaknya yang tetap melangkah keluar tanpa menghiraukan teriakan adiknya. Bu samirah pun tak berniat mencegah atau menyuruh Eni untuk membereskan bekas makan mereka. Ia terlalu lelah kalau harus berdebat kembali dengan anak sulungnya.

———RatuNnaKania———

Pagi itu, mentari begitu hangat menyinari halaman rumah besar milik Bu Samirah. Pak Edi sedang menikmati secangkir kopi dan berita di layar tv besar miliknya. Suasana rumah itu telah ramai dengan para penghuninya yang bersiap untuk melakukan rutinitas biasanya.

Rahman sudah mandi, sedangkan Mala masih bersandar di tempat tidurnya setelah morning sick menyerangnya tadi. Jangankan untuk menyiapkan sarapan, untuk hidupnya sendiri pun, Mala merasa kepayahan.

"Kita ke dokter?" ungkap Rahman yang melihat wajah pucat istrinya dari balik cermin.

"Tidak usah, Mas, kata Ibu, memang begini kalau lagi ngidam," jawabnya sambil membenarkan letak duduknya.

"Aku tak tega melihatmu setiap hari begini." Raut muka Rahman, begitu kelam, dirinya takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi wanita yang tengah duduk itu sedang mengandung anaknya.

"Engga apa-apa, Mas, dah sana pergi kerja," usirnya.

"Apa aku bisa tenang ninggalin kamu disini?"

"Aku baik-baik saja, ada Ibu juga-kan."

Rahman memandang lekat wajah Mala, sungguh ia tahu bagaimana sikap ibunya jika ia dan ayahnya tak di rumah. Namun ia juga tak mungkin terus di rumah menunggui Mala, sedangkan saat ini sedang membutuhkan biaya untuk persalinan nanti. Lelaki itu menarik nafas dalam. Ia tak punya pilihan lain untuk hari ini.

"Aku pamit, ya," ucapnya sambil mencium kening istrinya. Mala pun mencium tangan Rahman dengan takjim, lantunan doa mengiringi langkah suaminya hingga pintu itu tertutup.

"Bu, Pak, pamit ya," ujar Rahman pada kedua orangtuanya.

"Hati-hati di jalan," pesan Bu Samirah pada anak lelakinya.

Bu Samirah lalu bangkit, ia berniat membeli sayur di pengkolan depan. Jam segini memang sudah saatnya tukang sayur langganan warga kampung itu mangkal dekat pos ronda.

"Dua ikat kangkung sama tempe Mang," ucap Tika, seorang ibu beranak dua tetangga Bu Samirah.

"Gimana ada gizinya, Tik, makan tiap hari kangkung, tempe aja," ujar Bu Usman sambil mencebik.

"Yang penting masih bisa makan, iyakan, Tik?" Umi Hamzah menyahuti. Ia merasa kasian setiap hari Tika jadi bahan Bullyan ibu-ibu tetangganya.

"Kamu emang gak punya duit buat beli ayam, Tik?" tanya Bu Samirah yang baru saja datang tapi tak mau ketinggalan mengolok Tika.

"Ibu!" bentak Ria, yang kebetulan lewat hendak pergi kerja. Ia mendengar ucapan ibunya pada Tika.

"Kamu jalan kaki?" Bu Samirah malah balik bertanya, ketika melihat anak gadisnya ada disampingnya dengan stelan rapi hendak berangkat kerja.

"Maafkan ibuku ya, Tika," ucapnya sambil mengelus pundak tetangganya.

"Tenang, sudah biasa," jawab Tika dengan seulas senyum getir. Ria memandang tajam ke arah ibunya.

"Heh, Ria, gak sopan kamu ya, melihat ibumu seperti itu!" ucap Bu Usman sambil mendelik.

"Kalau mau disopanin ya harus sopan dulu, Bu!"

"Ngeyel tenan anakmu, Mirah!" ucapnya pada Bu Samirah yang sejak tadi diam karena takut sama Ria.

"Ria, pamit, Bu, jangan begitu lagi sama orang," ucapnya sambil mencium takjim tangan ibunya. Lalu ia melangkah meninggalkan kerumunan tukang sayur itu. Begitupun Tika, ia cepat-cepat meninggalkan para tetangganya setelah membayar sayuran miliknya.

"Si Tika itu penghasilan suaminya banyak lho, tapi kalau belanja ngirit banget," ucap Bu Usman, lagi-lagi membahas Tika.

"Mungkin duitnya mau dibawa mati!" sahut Bu Samirah sambil terkikik.

"Biarkan orang menikmati hidupnya, Bu, jangan terus kalian bully, kasian," ucap Umi Hamzah.

"Halah, Umi, ini sok-sokan membela Tika, tapi tetap senang ghibah sama kita," ucap Bu Samirah hingga membuat Umi Hamzah mendelik.

"Saya permisi, ibu-ibu, mau keliling lagi, sudah selesai kan belanjanya?" pamit Mamang sayur yang mulai jengah dengan obrolan para langganan sayurnya yang ajaib itu.

~~Bersambung~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status