Ikh, pelit banget sama tetangga juga, mati gak bawa ikan, Mir," cerocosnya saat Bu Samirah hanya memberi setengah potong saja.
"Kamu nyicip loh, bukan minta makan bilangnya juga tadi!" Bu Usman mengingatkan ucapan tetangganya.
"Tapi gak segini juga kali, eh, tapi enak banget lho, Mir. Bumbunya meresap, garam dan gulanya pas, empuk ikannya juga pas, gak terlalu matang." pujinya sambil mengecap ikan di mulutnya.
"Maaf, hanya itu yang bisa kamu makan, ini sudah jatah anak suamiku!" Bu Samirah tidak terlena dengan ucapan tetangganya yang ia tahu sering dibilang Ria katanya MODUS.
"Aku gak bilang minta lho, saya hanya menilai masakan kamu. Kamu pinter banget masak." Sekali lagi Bu Usman berkata manis pada tetangganya. Ia sangat hafal dengan Bu Samirah yang senang disanjung.
"Ya sudah, aku pamit, nanti sore kita jadi kan ikut pengajian di kampung sebelah?" tanya Bu Usman setelah menghabiskan ikan di piringnya.
"Jadi lah, kita sudah tua harus banyak menghadiri pengajian, sisa umur kita sudah tak banyak," sahutnya sambil mengelap kompor. Rumah Bu Samirah selalu bersih, karena penghuni rumah selalu kompak selalu membersihkan bekas makan dan masaknya. Siapapun itu. Sekalipun Rahman atau ayahnya membuat secangkir kopi, sendoknya pasti dicuci kembali. Kalau tidak begitu, maka Auman Bu Samirah bak macan yang lapar, tak akan lolos dari amukannya ketika ia tahu pelakunya.
~~RatuNna kania~~~
"Nek, Ulan udah selesai," cicitnya sambil menyodorkan piring kotor ke arah neneknya yang masih berdiri membereskan tempat bumbu.
"Cuci sana!" titahnya sedikit sewot.
"Ulan gak bisa."
"Tinggal nyalain keran terus basuh. Sana belajar."
Wulan berjinjit menggapai kran yang posisinya lebih tinggi dari tinggi badannya.
"Nek, nyalain krannya," pinta Wulan sambil menatap neneknya Yangs ejak tadi sudah memperhatikannya.
"Sudah taro saja, sana cuci tangan di kamar mandi," usir Bu Samirah, hatinya geram bukan main. Dari mulai Mala yang sekarang hanya bisa rebahan, Wulan yang datang ditambah Bu Usman yang datang hanya merecoki saja. Kepalanya rasanya mau pecah memikirkan itu.
~~RatuNna kania~~
"Mala, Ibu, mau ngaji ke kampung sebelah sama Bu Usman, nanti kamu angetin ikan ya sebelum Bapak makan, jangan kamu biarkan bapakmu makan ikan dingin, ingat itu!" teriak Bu Usman dari depan kamar Mala yang masih tertutup. Mala membuka pintu kamarnya karena memang ia juga hendak keluar untuk ke kamar mandi.
"Iya, Bu," jawabnya sambil menatap mertuanya yang sudah rapi dengan gamis warna marron. Sesungguhnya Bu Samirah baik, hanya saja ia punya sedikit iri sama Mala dan Susan. Jadi membuat dia sedikit cerewet dan ketus.
"Hati-hati dijalan, Bu," pesan Mala, saat mertuanya sudah mulai membuka pintu.
Mala segera menyelesaikan ritual mandinya, karena sebentar lagi suami dan ayah mertuanya akan pulang.
Mala menyeduh teh hangat, lalu membawanya ke ruang tengah, ia merebahkan badannya di sofabed yang ada di ruangan itu. Baru saja ia meneguk teh panasnya sudah terdengar suara pintu depan terbuka. Siapa itu? pikirnya, tidak mungkin juga Ibu mertuanya balik lagi.
"Dih, nyonya lagi santai," ucap Eni yang baru saja masuk tanpa mengucap salam.
Mala hanya meliriknya ia malas sekali kalau menyahuti iparnya itu. Eni hanya selalu mengajaknya berdebat.
"Mala, kamu ada uang gak?"
"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah. Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang."Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini. "Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang me
"Aku mau pindah kesini pokoknya, Bu!" Ku dengar Kak Eni berbicara sedikit tinggi nadanya dengan Ibu. Akh, bukankah Kak Eni tadi sudah keluar? Kok bisa balik lagi. Aku mendekati jendela ingin melihat ke halaman. Dimana sumber suara Kak Eni muncul."Mau tinggal dimana? Semua kamar terisi. Jangan ngada-ngada," tolak Ibu. "Suruh si Rahman, ngontrak saja, biar tahu bagaimana rasanya bayar kontrakan setiap bulan. Dia sudah setahun tinggal disini, gantian, giliran aku sekarang!" Kak Eni belum menyerah juga agar dapat uang untuk bayar kontrakan rumahnya. "Makanya kamu kalau suami gajian itu, mbok ya ingat, sisihkan buat bayar kontrakan. Bukannya malah jajan dan nge mall," semprot Ibu dengan tatapan mendelik. Kalau sudah begitu, biasanya Ibu yang akan mengeluarkan uang untuk Ka Eni. "Ada apa ini?" Ria memasukan motornya, ia baru aja pulang. Ku lihat ka Eni diam ketika melihat adik bungsunya datang. Kupastikan akan ada hal lebih besar dari sebuah pertengkaran."Ada apa, Bu?" Ku dengar Ria, b
Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing."Mala," panggil Ibu mertuaku."Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan."Mana uangnya?" Ibu menengadahkan tangannya padaku. Aku menatap ragu pada Ibu."Eh, anu, Bu. Mala gak ada uangnya," cicitku, mencoba tetap menolaknya. Walau bagaimanapun bukan kewajibanku memikirkan hidup Kak Eni. Dia pun seandainya suaminya lagi ada kerjaan, pasti akan tidak kenal dengan aku, bahkan dengan ibunya sendiri kadang tidak peduli. Tapi ketika suaminya menganggur, maka keluarga kami-lah yang akan dilibatkan, termasuk aku."Tadi kamu bilang ada uang buat selamatan empat bulanan, sini itu aja, Ibu pinjam dulu, biar si Eni gak bikin pusing lagi," ucap Ibu terlihat frustasi. "Tidak, Bu, syukuran tinggal dua Minggu lagi, Mala takut nanti pas hari H nya uangnya tidak ada, mau kemana lagi Mala sama Mas
Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya."Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?" tanya Ria sambil mendekat ke arahku dan mendaratkan bokongnya di sampingku. Aku mengangguk dengan bingung. Ya, bingung. Karena kini aku harus memikirkan bagaimana cara menambah uang untuk acara dua Minggu lagi."Berapa?""Lima ratus ribu." "Nanti Ria ganti, ya, Kak, kalau gajian, tapi jangan bilang ke Ibu," ucapnya sepertinya gadis itu melihat kebingunganku. "Tidak usah, biar nanti, Kakak, saja yang nyari tambahnya." Aku menolaknya, aku tahu, gaji Ria cuma 1,5 juta rupiah. Bahkan untuk kebutuhannya saja mungkin tidak cukup, karena setengah gajinya ia berikan pada Ibu. Ria hanya bekerja di sebuah kantor pemasaran rumah subsidi di kota kami. Memang dia akan dapat bonus disetiap bisa menjual satu rumah, tapi tidak besar dan aku hapal ga
"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Masing-masing membawa bungkusan di tangan mereka."Ya … Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria. Aku melongo melihat kedatangan Kak Eni serta ketiga anaknya dengan bawaan di tangan mereka. "Salam itu wajib dijawab, malah pada bengong kayak ayam kena penyakit," ucap Kak Eni sambil menjatuhkan tasnya dengan kasar. Ketiga anaknya pun langsung berebut remot tv hingga menimbulkan kegaduhan. "Ada apa ini?" Ibu seketika keluar dari kamar dengan heran. "Eh, jangan berisik! jangan berebut begitu, nanti remotnya rusak, gak bisa lagi mindahin channel TV-nya." Ibu dengan segera mengambil remotnya dari tangan Nayla. "Eni, nih uangnya untuk bayar kontrakan. Sana bawa barang-barangmu dan juga anak-anakmu, Ib
"Mas.""Kenapa?" "Mas, ada masalah, ya? Kok, aku ngerasa ada sesuatu.""Maksudnya?" "Cerita dong!" Aku mulai merangsek mendekatinya lagi, Mas Rahman malah menjatuhkan bobotnya ditepi tempat tidur. Dia menatapku lalu menghembuskan nafasnya. Semakin membuat aku penasaran ada apa dengannya?"Mas, bingung mau memulai ceritanya dari mana.""Ada apa sih, Mas? Aku jadi deg degan." ucapku sambil memegang dadaku, sekalian berusaha menggodanya."Kemarin, Mas, ketemu sama Alif temen kuliah Mas dulu," ucapnya lalu diam, aku ikut diam dan tetap mendengarkan apa lagi selanjutnya yang akan diucapkan suamiku."Alif mengajak, Mas, ke Lampung. Dan akan mengusahakan membantu untuk jadi Pegawai Negeri! Jika sudah dapat, maka nanti bisa pindah lagi kesini. Disana hanya untuk mendapatkan SK saja, dengan syarat harus mengabdi beberapa tahun. Tapi, bagaimana dengan kamu? Untuk ikut pun, belum memungkinkan dengan keadaan hamil seperti ini." Kaget, senang dan sedih ketika ku dengar apa yang Mas Rahman kata
Ku tatap lelaki yang menikahiku setahun lalu. Ada rasa berat melepasnya. Aku takut, takut jika seandainya nanti Mas Rahman jadi PNS dia malah lupa daratan, dia akan melupakan aku dan anaknya. Akh, pikiran apa ini!Fenomena sikap suami bergelar PNS bukan hanya isapan jempol. Itu hanya oknum, Mala! Oknum. Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. ~~~~"Bang, ada ayam?," tanyaku pada tukang sayur langganan."Eh, Mala tumben belanja, biasanya Bu Samirah yang belanja " ucap Bu Usman. Aku hanya tersenyum, tak berniat menjawab pertanyaan sang Ratu gosip di kampung ini."Begitu dong jadi mantu, jangan durhaka sama mertua, masa mertua dijadiin babu! Ingat, Bu Samirah itu wanita yang melahirkan si Rahman," cerocosnya. Apakah aku marah? Tentu saja. Tapi ini Bu Usman yang bicara, jadi aku hanya mendengarkannya saja."Bu Usman, jangan suka ikut campur urusan orang," ucap Umi Hamzah sambil memilah sayur. "Bu Usman kalau gak nyampuri urusan orang bisa stroke, Bu," timpal seseibu yang
"Bang, ada kangkung," tanya Tika yang baru saja datang."Kangkung lagi, Tik? Pasti kawan lainnya tempe dan tahu," ucap Bu Usman."Emang kenapa gitu, Bu?" Tika yang biasanya diam kali ini dia mulai bersuara."Ndak apa-apa, cuma saya melihat kamu setiap hari beli kangkung aja dah bosen, gimana kalau memakannya. Mbok, ya beli yang bergizi, Tik." Bu Usman menatap Tika dengan tatapan meremehkan. "Bu, saya dan anak-anak suka sekali tumis kangkung, emang salah ya, apakah berdosa jika saya makan kangkung tiap hari? Buat saya sih, ya, Bu. Makan dengan lauk apapun tak jadi masalah. Yang penting saya gak suka minjem duit sama tetangga kalau ada kebutuhan mendadak." tegasnya sambil mengeluarkan smirk evilnya.Bu Usman sedikit melotot mendengar penuturan Tika. Sepertinya dia tersindir, karena yang aku tahu, Bu Usman sering meminjam uang sama Ibu mertuaku, tapi ketika tak dikasih pinjam, maka ibunya Tika-lah orang selanjutnya yang akan ia datangi."Saya pinjam sama siapapun juga bayar tepat waktu,