Share

6. Iba pafa Ibu bagian A.

Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing.

"Mala," panggil Ibu mertuaku.

"Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan.

"Mana uangnya?" Ibu menengadahkan tangannya padaku. Aku menatap ragu pada Ibu.

"Eh, anu, Bu. Mala gak ada uangnya," cicitku, mencoba tetap menolaknya. Walau bagaimanapun bukan kewajibanku memikirkan hidup Kak Eni. Dia pun seandainya suaminya lagi ada kerjaan, pasti akan tidak kenal dengan aku, bahkan dengan ibunya sendiri kadang tidak peduli. Tapi ketika suaminya menganggur, maka keluarga kami-lah yang akan dilibatkan, termasuk aku.

"Tadi kamu bilang ada uang buat selamatan empat bulanan, sini itu aja, Ibu pinjam dulu, biar si Eni gak bikin pusing lagi," ucap Ibu terlihat frustasi. 

"Tidak, Bu, syukuran tinggal dua Minggu lagi, Mala takut nanti pas hari H nya uangnya tidak ada, mau kemana lagi Mala sama Mas Rahman mencari uang!" tegasku, kali ini aku sudah siap melawan siapapun. Hidupku tanggung jawabku, jadi aku harus bisa melindungi diriku sendiri. 

"Masih ada waktu Mala, dua Minggu itu lama, dan Ibu janji, bila perlu Ibu akan bersumpah! Akan menggantinya tepat waktu, meski harus bagaimanapun mencari uang itu. Akan ibu usahakan." Kulihat kesungguhan di setiap ucapannya. 

"Ibu yakin?" 

"Ya, Ibu bersumpah demi anak-anak Ibu, jika tak menggantinya biarlah hidupku sengsara seumur hidup." Aku terkejut mendengar apa yang diucapkan Ibu mertuaku. 

"Bu!" 

"Bisa apalagi Ibu, perempuan tua ini tak pernah sekalipun dianggap. Entah itu anak atau menantu. Aku hanya dimanfaatkan oleh semuanya." Ibu berkata dengan pandangan menerawang ke tembok, seakan ada sesuatu yang ia lihat. Tak ada kebohongan dalam setiap katanya, karena memang begitulah yang aku saksikan. Kini bahkan aku jadi pelaku merepotkannya karena kehamilanku ini. 

"Bu," panggilku, ku dekati tubuh renta itu, lalu ku raih tangannya. Maafkan Mala, Bu.

Mala belum bisa membahagiakan Ibu. Baiklah Mala ambil uangnya. Aku bangkit dan berjalan ke kamar, aku tak tega melihat mertuaku seperti itu. Ia yang biasanya menyebalkan, kini begitu mengkhawatirkan. 

"Ini, Bu." Aku menyodorkan uang lima ratus ribu rupiah, biarlah aku ikhlaskan untuk Kak Eni, aku tak berharap Ibu akan mengembalikannya. Biarkan nanti aku cari pinjaman untuk menambahi uang yang ada. Aku sungguh tak tega dengan ucapan yang terlontar dari bibir Ibu. Meskipun terkadang mulut Ibu selalu melontarkan kata-kata menyakitkan untukku, namun melihatnya kebingungan karena ulah Kak Eni, sungguh aku tak tega. Baru saja aku berniat akan tegas tapi nyatanya aku tak mampu.

Ibu menerima uang itu, dan mengucapkan terima kasih dengan binar mata yang lega. Akh, seandainya saja sikap Ibu selalu lembut padaku, mungkin diri ini akan lebih menyayanginya. Jujur saja, saat ini aku hanya bisa menghormati beliau sebagai Ibu dari suamiku, sedangkan rasa sayang, aku belum memilikinya.

Jahat? Tidak miskah, ini semua disebabkan oleh sikap Ibu yang kadang angot-angotan, apalagi saat awal aku menginjakkan kakiku kerumah ini setahun lalu begitu banyak cacian, makian serta hinaan dari keluarga ini, hanya Bapak mertua yang tidak ikut-ikutan. Tapi etelah Ria kembali dari perantauan lah semua mulai membaik. Ibu tak lagi menghinaku seperti dulu. 

Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya.

"Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?"

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status