Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya.
"Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?" tanya Ria sambil mendekat ke arahku dan mendaratkan bokongnya di sampingku. Aku mengangguk dengan bingung. Ya, bingung. Karena kini aku harus memikirkan bagaimana cara menambah uang untuk acara dua Minggu lagi.
"Berapa?"
"Lima ratus ribu."
"Nanti Ria ganti, ya, Kak, kalau gajian, tapi jangan bilang ke Ibu," ucapnya sepertinya gadis itu melihat kebingunganku.
"Tidak usah, biar nanti, Kakak, saja yang nyari tambahnya." Aku menolaknya, aku tahu, gaji Ria cuma 1,5 juta rupiah. Bahkan untuk kebutuhannya saja mungkin tidak cukup, karena setengah gajinya ia berikan pada Ibu. Ria hanya bekerja di sebuah kantor pemasaran rumah subsidi di kota kami. Memang dia akan dapat bonus disetiap bisa menjual satu rumah, tapi tidak besar dan aku hapal gadis seusia Ria sedang pada masanya ingin membeli ini itu. Karena usiaku dengan ria tidak beda jauh, hanya terpaut tiga tahun saja.
Ria hanya tersenyum mendengar penolakanku. "Doain, rezekiku makin banyak ya, Kak."
"Aamiin, pastinya dong," kami berdua tertawa dalam getir. Perekonomian rumah ini tidak lebih, hanya cukup untuk makan.
Bapak mertuaku hanya seorang pembuat lemari, kursi dan berbagai macam furniture di juragan mebel tetangga kampung. Sedangkan suamiku hanya honorer di dua sekolah. Tahu sendiri bagaimana gaji honorer bukan. Aku pun terpaksa berhenti bekerja karena kehamilan ini begitu menyiksaku. Acara ngidam pada umumnya membuatku tak berdaya untuk mempertahankan pekerjaanku. Mas Rahman bilang, nanti juga ada rejekinya. "Nikmati saja kehamilanmu dan istirahat dengan baik. Biar aku yang cari uang." Hmz, suamiku memang sangat mengerti dan peka, hanya saja kalau mengenai ibunya, ia akan lemah seketika.
Mas Rahman begitu menyayangi keluarganya dan aku pun menghormati mereka. Sebelum mereka menindasku. Kini hormatku yang tersisa hanya untuk mertuaku, sedangkan ipar dan istri Kak Rahmat aku sudah siap untuk melawannya. Bahkan suamiku mendukungnya saat aku bilang akan melawan kak Eni dan kak Susan yang sering mengihinaku.
Kak Eni dan Kak Susan, menyayangkan Mas Rahman memperistri aku yang hanya lulusan SMP, mereka menilai status pendidikan kami yang jomplang akan mempermalukan Mas Rahman di masa depan. Tapi karena cintanya padaku, Mas Rahman tak memperdulikannya hingga aku bisa berada di rumah ini sekarang.
Di masyarakat kita, memang masih menganut kalau pendidikan tinggi, harus menikah dengan yang berpendidikan juga, padahal tidak semua orang hidupnya beruntung bisa mengenyam pendidikan yang layak dan seharusnya. Bisa tamat SMP saja bagiku sudah alhamdulillah dan aku tidak lagi merepotkan kedua orang tuaku. Mereka hanya petani biasa dari kampung nan jauh disana. Dan masih ada kedua adikku yang masih harus dibiayai oleh mereka, makanya setelah lulus SMP aku menyakinkan Ibu dan ayah untuk tidak melanjutkan sekolah dan akan bekerja. Tapi itu sebelum akhirnya bertemu Mas Rahman dan menikah dengannya.
Itulah alasan ipar dan mertuaku begitu tidak ramah bahkan menolak dan menghina secara terang-terangan. Tapi aku juga mencintai suamiku, selama ia baik dan setia maka aku akan mempertahankan pernikahan ini, sekuat dan semampuku.
"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.
Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Membawa bungkusan di tangan mereka.
"Ya...Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria.
"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Masing-masing membawa bungkusan di tangan mereka."Ya … Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria. Aku melongo melihat kedatangan Kak Eni serta ketiga anaknya dengan bawaan di tangan mereka. "Salam itu wajib dijawab, malah pada bengong kayak ayam kena penyakit," ucap Kak Eni sambil menjatuhkan tasnya dengan kasar. Ketiga anaknya pun langsung berebut remot tv hingga menimbulkan kegaduhan. "Ada apa ini?" Ibu seketika keluar dari kamar dengan heran. "Eh, jangan berisik! jangan berebut begitu, nanti remotnya rusak, gak bisa lagi mindahin channel TV-nya." Ibu dengan segera mengambil remotnya dari tangan Nayla. "Eni, nih uangnya untuk bayar kontrakan. Sana bawa barang-barangmu dan juga anak-anakmu, Ib
"Mas.""Kenapa?" "Mas, ada masalah, ya? Kok, aku ngerasa ada sesuatu.""Maksudnya?" "Cerita dong!" Aku mulai merangsek mendekatinya lagi, Mas Rahman malah menjatuhkan bobotnya ditepi tempat tidur. Dia menatapku lalu menghembuskan nafasnya. Semakin membuat aku penasaran ada apa dengannya?"Mas, bingung mau memulai ceritanya dari mana.""Ada apa sih, Mas? Aku jadi deg degan." ucapku sambil memegang dadaku, sekalian berusaha menggodanya."Kemarin, Mas, ketemu sama Alif temen kuliah Mas dulu," ucapnya lalu diam, aku ikut diam dan tetap mendengarkan apa lagi selanjutnya yang akan diucapkan suamiku."Alif mengajak, Mas, ke Lampung. Dan akan mengusahakan membantu untuk jadi Pegawai Negeri! Jika sudah dapat, maka nanti bisa pindah lagi kesini. Disana hanya untuk mendapatkan SK saja, dengan syarat harus mengabdi beberapa tahun. Tapi, bagaimana dengan kamu? Untuk ikut pun, belum memungkinkan dengan keadaan hamil seperti ini." Kaget, senang dan sedih ketika ku dengar apa yang Mas Rahman kata
Ku tatap lelaki yang menikahiku setahun lalu. Ada rasa berat melepasnya. Aku takut, takut jika seandainya nanti Mas Rahman jadi PNS dia malah lupa daratan, dia akan melupakan aku dan anaknya. Akh, pikiran apa ini!Fenomena sikap suami bergelar PNS bukan hanya isapan jempol. Itu hanya oknum, Mala! Oknum. Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri. ~~~~"Bang, ada ayam?," tanyaku pada tukang sayur langganan."Eh, Mala tumben belanja, biasanya Bu Samirah yang belanja " ucap Bu Usman. Aku hanya tersenyum, tak berniat menjawab pertanyaan sang Ratu gosip di kampung ini."Begitu dong jadi mantu, jangan durhaka sama mertua, masa mertua dijadiin babu! Ingat, Bu Samirah itu wanita yang melahirkan si Rahman," cerocosnya. Apakah aku marah? Tentu saja. Tapi ini Bu Usman yang bicara, jadi aku hanya mendengarkannya saja."Bu Usman, jangan suka ikut campur urusan orang," ucap Umi Hamzah sambil memilah sayur. "Bu Usman kalau gak nyampuri urusan orang bisa stroke, Bu," timpal seseibu yang
"Bang, ada kangkung," tanya Tika yang baru saja datang."Kangkung lagi, Tik? Pasti kawan lainnya tempe dan tahu," ucap Bu Usman."Emang kenapa gitu, Bu?" Tika yang biasanya diam kali ini dia mulai bersuara."Ndak apa-apa, cuma saya melihat kamu setiap hari beli kangkung aja dah bosen, gimana kalau memakannya. Mbok, ya beli yang bergizi, Tik." Bu Usman menatap Tika dengan tatapan meremehkan. "Bu, saya dan anak-anak suka sekali tumis kangkung, emang salah ya, apakah berdosa jika saya makan kangkung tiap hari? Buat saya sih, ya, Bu. Makan dengan lauk apapun tak jadi masalah. Yang penting saya gak suka minjem duit sama tetangga kalau ada kebutuhan mendadak." tegasnya sambil mengeluarkan smirk evilnya.Bu Usman sedikit melotot mendengar penuturan Tika. Sepertinya dia tersindir, karena yang aku tahu, Bu Usman sering meminjam uang sama Ibu mertuaku, tapi ketika tak dikasih pinjam, maka ibunya Tika-lah orang selanjutnya yang akan ia datangi."Saya pinjam sama siapapun juga bayar tepat waktu,
"Alhamdulillah ya, Mas, tidak ada yang kurang," ucap Mala dengan binar bahagia. Ia tersenyum lega."Iya, Mas juga was-was. Alhamdulillah juga kita tidak sampai berhutang.""Besok, keberangkatanmu, Mas. Aku rasanya gimana gitu," ucap sang istri sambil menatap lekat wajah suaminya. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang kian menampakkan identitasnya bahwa ia wanita yang sedang hamil."Hei, aku berangkat kesana dengan sejuta cita-cita untuk kita, aku, kamu juga anak ini," ucap Rahman sambil mengelus perut istrinya. Mala tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia merapatkan tubuhnya dan memeluk suaminya kemudian menangis sesenggukan di dada bidang suaminya, tempat dimana ia begitu merasa nyaman saat bersandar di sana.Jauh dilubuk hati Rahman, pun merasakan sakit yang tiada terkira, saat istrinya hamil, ia diharuskan menjauh demi sebuah pekerjaan. Namun tidak ada pilihan lain selain memang harus pergi dan meninggalkan istri juga keluarga sementara. Perekonomian keluarganya bergantung pada di
"Siniin mangkuknya," bentak Susan. "Anak kecil songong banget dah.""Yang songong itu, Mbak, gak ada malu, gak beradab. Bisanya cuma minta, gak dikasih eh, nyuri," balas Ria dengan tatapan meremehkan. "Apa kamu bilang?" Susan mendekat ke arah adik iparnya. Rahman segera maju dan menarik ria kebelakangnya. "Ada apa ini? Tamu di depan masih pada ngobrol kalian sudah ribut saja." Bu Samirah tiba-tiba muncul di ruang tengah. "Ada apa sih?" Rahmat pun datang bersama Wulan dari arah depan."Nih, adikmu, kurang ajar banget ngatain aku pencuri," adu Susan pada suaminya. "Benarkah itu, Ria?" tanya Rahmat, sambil memandang ke arah Ria."Iya," jawab Ria tanpa rasa takut atau semacamnya."Kurang aj*r kamu," teriak Susan dan merangsek maju berusaha menggapai Ria yang ada di samping Rahman."Kamu punya bukti, kalau Susan mencuri?" tanya Rahmat."Aku gak punya bukti. Tapi Nayla melihat Mbak Susan mengambil beras di dapur sini. Lalu menukarnya dengan Pete, iya-kan? Ngaku hayoh?" Ria berbicara den
Mala mengusap bahu Ria yang masih saja bersungut-sungut, mengumpat, Pak Manto kembali ke depan, dan Bu Samirah masuk ke kamar. "Besok-besok, kamu jangan ngomong lagi sama, Mbak Susan. Kalau ada kesini! Kamu masuk kamar. Mas harap tidak terulang lagi kejadian hari ini." pesan Rahman pada Ria. Sedangkan gadis itu malah duduk di meja makan, lalu meneguk segelas air. Emosinya belum mereda sepertinya. Ini bukan pertama kalinya Susan membuat ulah, tapi baru kali ini dia melawan Pak Manto. Mala memijit pelipisnya tiba-tiba saja kepalanya menjadi berdenyut sakit."Kamu kenapa?" tanya Rahman."Kepalaku sakit, Mas!" "Ayo, ke kamar, kamu harus istrihat."_____POV Susan."SUSAN!" teriak Bang Rahmat saat aku melawan bapaknya. Lah, siapa dia berani mengatur hidupku. Bahkan orantuaku pun tak kubiarkan mengatur hidupku. Apalagi mertua, siapa mereka? Aku meninggalkan rumah itu dengan segala macam teriakan dari si peraw*n tua juga Bang Rahmat. Berani suamiku macam-macam, selesai sudah rumah tangga
Aku mencuci mukaku lalu menyambar jaket. Tak kulihat lagi keberadaan Wulan, mungkin dia sudah pergi ke rumah neneknya, Baguslah. Eh, tapi Bang Rahmat kemana? Aku membuka kamar Wulan, dan kosong. Hmz, sudah mulai berani gak pulang rupanya suami kere itu. Baiklah Bang, lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan. Aku berjalan menuju persimpangan kampung, disanalah tukang sayur biasa mangkal, sudah bisa terlihat ada beberapa ibu-ibu sedang berbelanja dengan segala obrolannya. "Eh, Susan, tumben belanja, mau masak ya?" tanya Umi Hamzah dengan ramah. Aku hanya tersenyum."Gak dines, San?" tanya Bu Yati. "Libur, Bu," jawabku singkat. "Masak ni ye," seru Bu Usman yang baru saja tiba. Yah, ada nenek lampir resek."Emang gak boleh saya belanja, Bu Usman?" ucapku dengan ketus."Engga sih, tapi beneran semalam kamu membentak Pak Manto, San?" tanya Bu Usman. Mulai kepo Nenek lampir ini. Dan begitu cepatnya kabar ini tersebar. Huft. "Apa? Susan membentak Pak Manto? Kualat kamu nanti, San!" uc