Share

7. Iba pada Ibu bagian B.

Ibu segera masuk ke kamarnya, sepertinya ia akan mengganti bajunya. Kalau dipikir-pikir , Ibu punya banyak perhiasan tapi kalau ada kebutuhan apapun yang mendesak pasti kami anak-anaknya yang harus menutupinya.

"Kakak, kasih uang ke Ibu, untuk Kak Eni?" tanya Ria sambil mendekat ke arahku dan mendaratkan bokongnya di sampingku. Aku mengangguk dengan bingung. Ya, bingung. Karena kini aku harus memikirkan bagaimana cara menambah uang untuk acara dua Minggu lagi.

"Berapa?"

"Lima ratus ribu." 

"Nanti Ria ganti, ya, Kak, kalau gajian, tapi jangan bilang ke Ibu," ucapnya sepertinya gadis itu melihat kebingunganku. 

"Tidak usah, biar nanti, Kakak, saja yang nyari tambahnya." Aku menolaknya, aku tahu, gaji Ria cuma 1,5 juta rupiah. Bahkan untuk kebutuhannya saja mungkin tidak cukup, karena setengah gajinya ia berikan pada Ibu. Ria hanya bekerja di sebuah kantor pemasaran rumah subsidi di kota kami. Memang dia akan dapat bonus disetiap bisa menjual satu rumah, tapi tidak besar dan aku hapal gadis seusia Ria sedang pada masanya ingin membeli ini itu. Karena usiaku dengan ria tidak beda jauh, hanya terpaut tiga tahun saja. 

Ria hanya tersenyum mendengar penolakanku. "Doain, rezekiku makin banyak ya, Kak." 

"Aamiin, pastinya dong," kami berdua tertawa dalam getir. Perekonomian rumah ini tidak lebih, hanya cukup untuk makan. 

Bapak mertuaku hanya seorang pembuat lemari, kursi dan berbagai macam furniture di juragan mebel tetangga kampung. Sedangkan suamiku hanya honorer di dua sekolah. Tahu sendiri bagaimana gaji honorer bukan. Aku pun terpaksa berhenti bekerja karena kehamilan ini begitu menyiksaku. Acara ngidam pada umumnya membuatku tak berdaya untuk mempertahankan pekerjaanku. Mas Rahman bilang, nanti juga ada rejekinya. "Nikmati saja kehamilanmu dan istirahat dengan baik. Biar aku yang cari uang." Hmz, suamiku memang sangat mengerti dan peka, hanya saja kalau mengenai ibunya, ia akan lemah seketika. 

Mas Rahman begitu menyayangi keluarganya dan aku pun menghormati mereka. Sebelum mereka menindasku. Kini hormatku yang tersisa hanya untuk mertuaku, sedangkan ipar dan istri Kak Rahmat aku sudah siap untuk melawannya. Bahkan suamiku mendukungnya saat aku bilang akan melawan kak Eni dan kak Susan yang sering mengihinaku.

Kak Eni dan Kak Susan, menyayangkan Mas Rahman memperistri aku yang hanya lulusan SMP, mereka menilai status pendidikan kami yang jomplang akan mempermalukan Mas Rahman di masa depan. Tapi karena cintanya padaku, Mas Rahman tak memperdulikannya hingga aku bisa berada di rumah ini sekarang. 

Di masyarakat kita, memang masih menganut kalau pendidikan tinggi, harus menikah dengan yang berpendidikan juga, padahal tidak semua orang hidupnya beruntung bisa mengenyam pendidikan yang layak dan seharusnya. Bisa tamat SMP saja bagiku sudah alhamdulillah dan aku tidak lagi merepotkan kedua orang tuaku. Mereka hanya petani biasa dari kampung nan jauh disana. Dan masih ada kedua adikku yang masih harus dibiayai oleh mereka, makanya setelah lulus SMP aku menyakinkan Ibu dan ayah untuk tidak melanjutkan sekolah dan akan bekerja. Tapi itu sebelum akhirnya bertemu Mas Rahman dan menikah dengannya. 

Itulah alasan ipar dan mertuaku begitu tidak ramah bahkan menolak dan menghina secara terang-terangan. Tapi aku juga mencintai suamiku, selama ia baik dan setia maka aku akan mempertahankan pernikahan ini, sekuat dan semampuku.

"Assalamualaikum." Terdengar suara anak-anak di depan, sudah kupastikan mereka anak Kak Eni yang datang, apa jangan-jangan, mereka beneran pindah.

Ria, dan aku serempak menuju ke ruang tamu, dan benar saja, Kak Eni membawa ketiga anaknya dan tas di kedua tangannya. Begitupun anak-anak. Membawa bungkusan di tangan mereka.

"Ya...Allah, mereka beneran pindah, Kak," cicit Ria.

     

          

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sidik 53
makin pelit aja ni novel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status