Bu Samirah memeluk anak lelakinya denganan pilu, karena ini pertama kali dilepaskan oleh anak lelaki yang sangat perhatian padanya. Ia memang memiliki 4 anak, tapi hanya Rahman dan Ria yang terlihat menyayanginya. Sedang si sulung dan anak keduanya bak bara api bagi Bu Samirah, yang setiap waktu mengancam menimbulkan dirinya. Selalu ada saja tingkah keduanya yang membuat wanita tua itu menangis dan sakit hati. "Titip, Mala ya, Bu, dia sedang hamil anakku," ucap Rahman sambil mengelus punggung ibunya. Sengaja ia tekankan dengan menyebut anakku, karena ia tahu betul sifat ibunya yang selalu memarahi Mala. Bahkan kesalahan kecil pun kalau Mala yang sudah pasti akan jadi besar besar. Sungguh dalam hati, tak ada ketenangan meninggalkan sang istri meski di rumah orangtuanya sendiri. Tapi Rahman tak punya pilihan lain. "Jaga diri baik-baik, jaga anak kita," pesan Rahman dengan mengelus perut istrinya. Kepergian Rahman diiringi tangisan dari Ibu dan istrinya. Hingga punggung lelaki itu me
"Apa yang kami katakan benar adanya loh, Mala," ucap Bu Usman lagi dengan yakin. Mala makin mendelik pada dua orang wanita dihadapannya. "Ya … Tuhan, apakah mereka tak punya empati padaku yang sedang hamil ini? Hingga begitu ringan mengatakan itu semua. Meski ada benarnya, tidak usah pula terlalu di yakinkan, bukankah yang melakukannya juga oknum, tidak semua PNS serta merta begitu," batin Mala bermonolog sendiri. Akhirnya ia permisi masuk dan tak meneruskan menyapu halaman. Tangisannya yang sejak tadi ditahan, pecah begitu saja ketika bokongnya menyentuh ujung kasur. Ia menangis sendirian dengan sesak yang teramat sangat. ———— Wanita 23 tahun itu entah berapa lama tertidur dengan tangisannya. Kini ia merasa pusing sekali, dunianya terasa berputar, kepala berdenyut. Saat matanya melirik benda bundar yang tergantung di dinding, ia terperanjat. Waktu telah menunjukkan pukul 10:25 wib. Bau masakan pun sudah menguar, suara orang ngobrol tidak begitu jelas di pendengarannya. Rasa penas
"Anda siapa? Minta nomor suami saya segala?" tanyaku, kesabaranku sudah habis rasanya. "Oh, saya Helen, Mantan pacar Rahman. Cinta pertama Rahman," ucapnya sambil menyodorkan tangan ke arahku, tapi aku tak tertarik bersalaman dengannya, pede sekali dia saat menyebutkan kata mantan dan cinta pertama suamiku. kubiarkan tangannya menggantung begitu saja hingga ia menarik kembali dan mulai menatap sinis. "Oh, MANTAN?!" ucapku dengan melihatnya dari atas ke bawah. Penampilan seperti yang mau konser saja. Dengan bulu mata yang cetar juga warna soflen yang mencolok. Ku akui wanita didepanku ini cantik. Bak seorang biduan yang akan manggung. Helen kembali duduk disamping Ibu, sedangkan aku meneruskan membuat teh hangat, kebetulan dapur dan ruang makan menyatu. Jadi percakapan apapun dimeja makan terdengar jelas."Jadi kamu sekarang pulang kampung, Len?" tanya Kak Eni. "Engga sih, di kota tidak ada teman, aku ingin disini dulu saja, aku gak bisa hidup disini lah, Kak," ujarnya sombong. "J
Sayup-sayup aku dengar suara Helen. "Kamu kangen aku gak sih?" Whaaaat? Dia sedang bertanya pada suamiku kah? Cih! Sungguh janda gak tau malu. Semakin ku tajamkan pendengaran, agar apa yang mereka bahas terdengar jelas."Nanti aku nyusul kamu kesana, ya. Kirim alamatmu saja," ucap Helen. Dan otakku sudah tak bisa mentolerir dia lagi. Wanita mana yang akan membiarkan suaminya digoda oleh mantannya. Aku bangkit dan menuju ke arah meja makan. Oh, ternyata mereka sedang video call. Mas Rahman juga awas saja! Berani-beraninya dia mengangkat telepon dari si pirang ini."Kamu masih ingat gak, waktu kita jalan, terus motornya mogok?" ucap helen, membuat hatiku semakin mendidih. Sungguh keterlaluan mereka semua. Kurampas ponsel mahal itu. Dan ku matikan panggilan video nya. Tak lupa kuhapus nomor Mas Rahman tentu saja setelah ku tampakan wajah pada suamiku tercinta. "Eeh, apa-apaan ini?" teriak Helen histeris saat aku merampas ponsel mahalnya. "Mala, kamu tidak sopan pada tamu, Ibu," ucap m
Terdengar dering ponselku begitu nyaring tapi hanya ku lirik sekilas. Ponsel yang sejak tadi tergeletak di nakas. Terus meraung-raung dan tertera nomor baru yang tidak tersimpan namanya. Siapa pula yang menelepon saya sore ini? Aku taknya dan memilih fokus pada layar laptop yang sedang menyala. Ya, Aku sedang mempelajari cara mengikuti tes CPNS minggu ini. Dan aku harus mempersiapkannya dengan matang. Aku tak ingin gagal kali ini. Sudah banyak yang aku korbankan hingga sampai di tempat ini. Bukan hanya biaya dan waktu, terutama Mala yang aku tinggalkan dalam keadaan berbadan dua. Akh, seketika aku rindu istriku itu. Dreet… dreet. Kembali ponselku bergetar dan tanda gagang teleponnya bergerak kesana-kemari. panggilan video dari nomor yang sama dengan tadi. Akh sudahlah, ku angkat saja. Siapa tau penting atau dari orang rumah yang memakai nomor baru. "Halo, assalamualaikum," ucapku saat telah ku geser tombol hijau yang menari-nari di layar ponselku. "Waalaikum salam, Rahman," panggi
Jam dinding menunjukan pukul 23:15 Wib. Tapi rasa kantuk tak jua datang menghampiri. Padahal besok pagi aku ada janji dengan Arif. Dan Mala juga belum bisa dihubungi dari tadi sore. Ada apa ini? [Man, sudah tidur] sebuah pesan masuk di aplikasi hijauku. [Belum, ini siapa, Ya?] [Helen, Man] Aku beringsut mendudukkan diriku sendiri diatas kasur. Seriuskah ini Helen? Mau ngapain juga dia menghubungiku. Bukankah dulu dia yang tak peduli padaku. Lebih memilih om-om itu dari pada berjuang bersamaku. [Ada apa?] Kucoba langsung to the point saja. Malas berbasa-basi. [Katanya kamu di Lampung? Aku juga sering dapat job kesana, kapan-kapan bisa ketemuan, ya, Man?] [Iya, aku di Lampung, lagi cari kerjaan, biar tidak disepelekan perempuan] lho aku kok, tiba-tiba ngegas pada Helen, mungkin amarahku yang dulu pada wanita itu belum hilang. [Maaf, Man. Dulu demi keluargaku, aku terpaksa meninggalkanmu. Kini suamiku sudah meninggal dan meninggalkan harta yang banyak untukku. Kita bisa memulai
Aku membanting pintu kamarku setelah mematikan video call yang sedang dilakukan oleh Helen pada Mas Rahman. sungguh hatiku terbakar emosi yang meletup-letup. Ingin rasanya ku cabik-cabik wanita berambut pirang itu.Bisa-bisanya dia malah menantang ku. Bu, juga. Ngapain dia begitu ramah dan baik pada mantan pacarnya suamiku. Sedangkan begitu ketus dan mulutnya mulutnya. setiap hari ada saja yang di omeli-nya. Beda sekali saat sedang bersama Helen. Keluarga macam apa ini? Pada yang jelas menantunya, begitu sinis dan tak berperasaan. Tapi pada orang lain bak malaikat dengan sebaik-baiknya. Dikira aku akan diam saja, oh tidak mungkin, aku NURMALA. Kata Bapak, tanggung jawabku. Jadi aku harus melawan siapapun yang akan menyakitiku apalagi mempermainkan kemungkinan. Jika sikap mereka masih dibatas ambang wajar, aku lebih baik diam saja. Karena bukan hanya aku menantu yang diremehkan. Banyak perempuan di luar sana bahkan lebih tragis nasibnya ketika tinggal dengan mertua. Tapi jika masala
"Uang tiga puluh ribu rupiah untuk jaman sekarang, memang tidak ada artinya, tapi cobalah menyesuaikan kondisi. Kita harus hemat," ucapku lagi sambil ngeloyor ke dapur, baru bangun sudah ada aja masalah."Hemat sih hemat, tapi tak begini juga kali," sungutnya sambil kembali mendudukan dirinya di kursi. Aku tak peduli dengan ocehan Ibu. Mau gimana lagi, hanya itu uang yang mampu aku keluarkan pagi ini. Kemarin saja uang 500.000 belum Ibu ganti, padahal akadnya pinjam. Dan aku sudah tahu tidak akan diganti. Tapi Ibu tak pernah menyadarinya kalau biaya di rumah ini, aku ikut andil. Selain uang yang keluarkan, mentalku juga jadi jaminan. Aku harus tetap waras dan tidak boleh stres demi kehamilan ini.———Pekerjaan rumah sudah selesai sepertinya, ku sapukan jari pada lantai dan sudah keset. Cucian piring di dapur juga sudah rapi. Tinggal masak untuk makan siang saja yang belum. Ini pasti kerjaan Ria, anak itu begitu mengerti dan memaklumi aku. Aku akan selalu mendoakan adik iparku itu aga