Share

5. Pinjam Uang bagian B.

"Aku mau pindah kesini pokoknya, Bu!" Ku dengar Kak Eni berbicara sedikit tinggi nadanya dengan Ibu. Akh, bukankah Kak Eni tadi sudah keluar? Kok bisa balik lagi. Aku mendekati jendela ingin melihat ke halaman. Dimana sumber suara Kak Eni muncul.

"Mau tinggal dimana? Semua kamar terisi. Jangan ngada-ngada," tolak Ibu. 

"Suruh si Rahman, ngontrak saja, biar tahu bagaimana rasanya bayar kontrakan setiap bulan. Dia sudah setahun tinggal disini, gantian, giliran aku sekarang!" Kak Eni belum menyerah juga agar dapat uang untuk bayar kontrakan rumahnya. 

"Makanya kamu kalau suami gajian itu, mbok ya ingat, sisihkan buat bayar kontrakan. Bukannya malah jajan dan nge mall," semprot Ibu dengan tatapan mendelik. Kalau sudah begitu, biasanya Ibu yang akan mengeluarkan uang untuk Ka Eni. 

"Ada apa ini?" Ria memasukan motornya, ia baru aja pulang. Ku lihat ka Eni diam ketika melihat adik bungsunya datang. Kupastikan akan ada hal lebih besar dari sebuah pertengkaran.

"Ada apa, Bu?" Ku dengar Ria, bertanya untuk kedua kalinya. 

"Aku mau pindah kesini?" ucap Kak Eni dengan wajah menantang ke arah Ria. Membuat gadis itu menaikan sebelah alisnya.

"APA?!" 

"Mau pindah kesini? Kenapa rumahmu?" tanya Ria.

"Ini rumah ibuku? Sama sepertimu aku juga punya hak tinggal disini?"

"Oh," sambut Ria, lalu kulihat ia langsung membuka helm dan menuju pintu, aku buru-buru masuk keruang tengah agar tidak ketahuan menguping pembicaraan keluarga suamiku.

Tadinya aku mengira Ria akan marah seperti biasanya. Tapi aku salah ternyata. Ada apa dengan gadis itu? Aku mengenalnya bar-bar dan tak mau kalah kalau sudah berhadapan dengan Kak Eni. Tapi hari ini? 

"Assalamualaikum," 

"Waalaikumsalam," jawabku yang sejak tadi sudah pindah posisi ke depan tv. 

"Baru pulang?" 

"Iya, Kak," ucapnya sambil meraih tanganku. 

"Nih, aku bawain rujak buat, Kakak." Ria mengeluarkan plastik rujak dari tas gendongnya.

"Akh, gadis manis, terima kasih, ya," ucapku seraya menerima uluran plastik yang di sodorkan adik iparku. 

"Uh, gombal, moduuuuuus! Aku ganti baju dulu, ya, Kak," pamitnya sambil berlalu dari hadapanku. Segera kubuka bungkusan rujak tadi. Dan menyuapkan sepotong mangga kuning pada sambalnya, hmz, enak sekali. 

Kudengar derit pintu terbuka lalu tertutup lagi. Dan kudengar helaan nafas Ibu begitu nampak di hadapanku. 

"Bu." Aku langsung bangkit dan meraih tangannya lalu menciumnya dengan takzim, meski bagaimanapun sikap Ibu, dia adalah surga suamiku. 

"Mala, kamu punya uang simpanan?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. 

"Untuk keperluan Mala selametan 4 bulanan ada juga, Bu," sahutku dengan jujur.

"Mana sini, Ibu, pinjam dulu?" ucapnya yang sontak membuatku kaget dan bingung. Bagaimana mungkin akan ku pinjamkan sedangkan acara 4 bulananku, tinggal dua minggu lagi. Uang yang aku pegang sekarang adalah hasil menyisihkan gaji Mas Rahman selama berbulan-bulan. Itu pun belum tentu cukup, aku masih harus memikirkan tambahannya.

"Eh, Mala, malah melamun," ucap Ibu dengan nada tinggi. Aku mulai menatap wajah Ibu, terlihat ada kebingungan disorot matanya. Ya, Ibu pasti bingung dengan tingkah Kak Eni yang mengancam akan pindah ke rumah ini, jika tak diberi pinjaman. 

Rumah ini memang besar, dengan tiga kamar tidur, ruang tamu juga ruang keluarga yang luas. Tapi masalahnya, tidak ada lagi kamar tidur. Sedangkan Kak Eni punya tiga anak pula. Akh, kenapa aku yang pusing.

"Mala," panggil Ibu mertuaku.

"Eh, iya, Bu," aku menyahuti dengan gelagapan.

"Mana uangnya?" 

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status