Share

4. Pinjam uang bagian A.

"Mala kamu ada uang lima ratus ribu gak? Kamu, kalau aku pinjam uang, selalu saja bilang gak punya, padahal uang nya tak seberapa. Lagian aku tahu, Rahman baru kemarin gajian! Pelit sekali sih!" dengusnya dengan kesal dan penuh amarah. 

Ya … Allah, ini bukan kali pertama Kak Eni pinjam uang, kalau dihitung-hitung sudah banyak hutangnya padaku. Tapi mulutnya itu lho! Padahal aku belum menjawab pertanyaannya, Tapi, seakan aku adalah adik ipar yang pelit tak pernah meminjaminya uang.

"Maaf, ya, Kak, Mala kan harus nabung buat persiapan empat bulanan dan lahiran, sedangkan gaji Mas Rahman hanya sekedar cukup untuk kami." Aku berusaha cukup tegas kali ini. 

"Kamu mah, enak tidur nyenyak tanpa mikir bayar kontrakan! Lha, aku? tiap bulan harus bayar kontrakan, kalau gitu gantian kamu yang ngontrak, aku yang tinggal disini kalau gak mau pinjami aku uang!" ucapnya panjang lebar dengan mimik muka yang judes. Aku perhatikan wajahnya tak ada kebohongan di setiap incinya. Apakah, Kak Eni sedang mengusirku dari rumah Ibu? Kalau begitu aku sungguh senang sekali. Jadi ada alasan untuk meminta pisah rumah pada Mas Rahman dan Ibu.

Sesungguhnya tinggal bersama mertua itu butuh kesabaran yang luas dan hati yang sangat lapang, dan belum aku miliki. Ini semua terpaksa aku lakukan demi baktiku pada Mas Rahman. Apalagi, kami memang belum punya rumah.

"Cepetan! MANA UANGNYA?" bentaknya, begitu bengis pandangannya padaku. Bagaimana mungkin aku mau minjemin uang, kalau cara pinjamnya begini. Allah, sabarkan aku. Aku beristighfar dalam hati, takut aku terbawa amarah dan melawan kakak iparku ini. Kepalaku mulai berdenyut melihat kelakuan Kak Eni yang tak tahu malu ini.

"Sudah Mala bilang-kan, Kak, Mala gak ada uang simpanan yang harus dipinjamkan. Adapun uang memang hanya cukup buat kebutuhan Mala sama Mas Rahman." Aku tetap menolaknya. Karena kalau aku beralasan gak ada uang, Kak Eni sangat tahu jadwal gajian suamiku. 

"Kamu memang kelewatan pelitnya, Mala, padahal aku yang ngurusin Rahman waktu kecil, aku yang nyuci pup-nya dia, kamu istrinya tinggal enaknya saja. Tapi pelit sekali padahal aku pinjam bukan minta!" Kak Eni, keukeuh memaksa ingin aku memberinya pinjaman. Dan aku tidak akan sebodoh kemarin lagi, saat Kak Eni pinjam Emas yang sedang aku pakai.

"Maaf, kak, Mala mual," ucapku lalu buru-buru berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku. 

"Alasan saja, dasar pelit, biarin nanti lahirannya susah!" gerutuan Kak Eni yang aku dengan diantara aktivitas muntahku. Dengan tega ia menyumpahi calon keponakannya sendiri. Luar biasa sekali mulutnya itu. 

Kak Eni sepertinya marah sekali, lalu aku bisa apa? Meminjamkan uang lagi dan dia tidak berniat membayar lagi? Tidak, aku tidak peduli walaupun seluruh dunia men-cap ku adik ipar yang pelit dan perhitungan. Untuk saat ini aku harus mengatur keuanganku. Apalagi kehamilanku sudah menginjak 14 Minggu, itu artinya bulan depan aku harus mengadakan syukuran. Ya memang belum ada hadis mewajibkannya, tapi ini kehamilan pertamaku. Aku ingin seperti kehamilan yang lain, diadakan syukuran empat bulanan, juga tujuh bulanan. Karena adat di kampung ini, ya seperti itu. 

Banyak biaya yang harus aku keluarkan nantinya. Aku pun selalu berhemat untuk hal apapun, biar apa? Biar gaji suamiku bisa cukup untuk segala hal. 

Jujur saja, tinggal dengan mertua ada hal plus minusnya. Di satu sisi aku bisa menghemat uang kontrakan. Meski Mas Rahman selalu menjatah uang untuk ibunya setiap bulan. Belanja pun kadang dari Ibu. Meski kadang sikap Ibu galak dan bengis, tapi tidak pelit kalau untuk makan anak dan suaminya. Ingat bukan untuk aku ya. Namun keberadaan aku di rumah ini, bak sasaran empuk bagi ka Eni, pinjam uang lah, bahkan makan pun sering numpang. 

2cf2-408b-8172-e8567ffb2f44

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status