Share

Tiga

Bahagia Setelah Berpisah

(POV Hanin)

***

Sore itu aku sama sekali tak keluar dari kamar, aku berdiam diri bersama dua buah hatiku. Sejak pertengkaran antara aku, Mas Farhan dan Ibu siang tadi, ku putuskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Perubahan Mas Farhan dimulai sejak 2 tahun yang lalu saat aku dan Ibu bertengkar hanya karena Ibu meminta agar aku meminjamkan kalung emas milikku. Ibu bersikukuh akan menggunakan kalungku demi menambah modal warung kelontong, sementara sepengetahuanku penghasilan warung kelontong Ibu sudah sudah semakin maju.

Aku tetap bersikeras mempertahankan hak milikku, bukannya aku pelit pada Ibu tapi aku hanya takut Ibu menggunakan kalung emas milikku demi membeli barang yang tidak penting, apalagi Ibu mertuaku selalu menindas aku dan anakku sejak hari pertama kami datang kemari. Berawal dari sana entah apa yang ia berikan dan ia katakan pada Mas Farhan hingga suamiku yang dulunya lemah lembut dan penuh kasih sayang itu berubah drastis. Bahkan saat aku mengandung Utari, perhatiannya tak lagi sama ketika aku mengandung Utara dulu. Ia berubah menjadi sosok yang tempramental dan juga pemalas.

Masih teringat ucapannya saat pertama kali meminta izin menikahi Rita, gadis yang bahkan lebih muda daripada Kamila, adik tiri Mas Farhan. 

***

~1 minggu yang lalu~

Sehari setelah Mas Farhan dan Ibu mertuaku menjual tanah warisan milik Almarhum Bapak mertuaku, mereka lantas pergi selama sehari semalam, tanpa memberi kabar padaku. Mereka kembali keesokan harinya dengan belanjaan yang sangat banyak. Mata putraku tak lepas dari kantong-kantong plastik yang ditenteng oleh Bapaknya. Jelas, ia berharap Bapaknya membelikannya mainan barang sebuah. Tapi sayang, jangankan membeli mainan melihat Utara saja Mas Farhan tampak malas. Ia terlalu sibuk membuka kantong berisi belanjaannya dan juga milik Ibunya. Aku yang tak tahu darimana asal muasal uang yang mereka gunakan berbelanja sebanyak itu jelas keheranan.

"Kamu dapat itu semua, uang darimana Mas?" tanyaku penuh selidik saat Ibu dan Mas Farhan tengah cekikikan, entah apa yang tengah mereka bahas. Aku tak peduli.

"Ya pakai uangku lah, masa aku ngutang." jawabnya enteng, ia melanjutkan lagi aktivitasnya membuka kantong belanjaan dengan merk Mall terkenal yang ada di pusat Kota.

"Berarti kamu ada uang Mas? Kalau begitu, aku minta sedikit buat bayar uang daftar sekolahnya Tara." ucapku ragu, Utara memang seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak tahun ini. Dan di Desa ini, orang tua wajib membayar uang pendaftaran juga buku saat penerimaan siswa baru.

Tangan Mas Farhan terhenti, ia seketika menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikan.

"Hanin, kalau soal duit aja kamu cepet. Ckckck." desis Ibu tanpa mengalihkan wajahnya.

"Ini," Mas Farhan menyerahkan selembar uang pecahan seratus ribu. Aku menelan saliva.

"Ta--tapi, ini kurang Mas." keluhku saat mengingat biaya pendaftaran sekolah yang diberi tahu oleh seorang Guru di Taman Kanak-Kanak itu. Uang hasil menjual kue brownis juga tak akan cukup, mengingat aku juga membutuhkan sedikit uang itu untuk kembali berjualan.

"Cih, kamu itu nggak suka banget ya, kalau lihat aku senang?!" ia membentakku kasar, membuat Utari yang ada di dalam kamar menangis kencang.

"Maaf Mas, tapi Hanin benar-benar nggak ada uang simpanan lagi. Uang Hanin kemarin dipake buat beli pampers Tari, Mas lupa ngasih uang," cicitku lirih. Melihat wajah suamiku yang memerah membuat nyaliku menciut.

Hari itu dengan segala drama dan ocehan pedas dari Ibu dan Mas Farhan aku akhirnya mendapatkan sejumlah uang dengan nominal yang cukup untuk mendaftarkan Utara ke sekolah. 

Malam harinya saat akan makan malam, Ibu dan Mas Farhan terlihat amat bahagia. Aku yang tengah menata piring dan lauk pauk berusaha mencuri dengar apa yang tengah mereka bahas.

"Kamu mau'kan Le nurutin perintah Ibu? Mumpung kamu ada uang, warung beras Pak Karso juga lagi butuh suntikan dana. Duh, rezeki nomplok ini namanya." ucap Ibu sambil melempar senyuman ke arah Mas Farhan. Sementara suamiku tampak menimang apa yang baru saja di ucapkan Ibunya.

"Tapi, gimana sama Hanin dan anak-anak?" tanyanya lagi. Mendengar namaku disebut membuatku semakin penasaran.

"Ya kamu bilang aja, nggak apa-apa. Laki-laki itu jatahnya 4 kali menikah." jawab Ibu enteng.

Sebuah perasaan tak enak segera menyelimuti hatiku, apa yang tengah mereka bahas? Apakah Mas Farhan akan menikah lagi? 

Aku baru saja akan keluar ketika Mas Farhan justru memanggil namaku. Dengan cepat, aku segera datang dan duduk di hadapan mereka.

Wajah Mas Farhan tampak merona. Persis seperti orang yang sedang jatuh cinta.

"Ada apa Mas?" tanyaku cepat. Sekuat tenaga aku berusaha menetralkan degup jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

Mas Farhan menoleh sebentar ke arah Ibu, "Gini Han, Mas mau bicara serius sama kamu ...," 

Ia lantas diam, matanya menatap lekat ke arahku. Ia menghela nafas lalu membuangnya perlahan.

"Mas mau menikah lagi," 

"Apa Mas?!" tanyaku tak percaya. Mataku mendelik ke arah dua orang yang ada di hadapanku itu.

"Kamu mau menikah lagi? Aku salah apa Mas? Ya Allah, istighfar Mas! Nyebut, Tara sama Tari masih kecil-kecil." dadaku terasa penuh, sementara kepalaku terasa nyeri.

"Kamu itu nggak salah apa-apa, cuma Mas mau menikahi Rita biar sekalian bisa bantu Bapaknya yang lagi pailit." 

Bola mataku kembali melebar mendengar penuturannya. Ia tampak tak terbebani saat mengutarakan keinginannya padaku.

"Astaghfirullah Mas, eling anak kita masih kecil ... jangan bercanda kayak gini Mas, aku nggak suka." aku mengelus dada pelan. Berharap ucapan Mas Farhan tadi hanyalah candaan semata.

"Terima atau tidak, suka atau nggak suka itu urusan kamu! Yang pasti, Ibu mau Farhan menikah dengan Rita. Mumpung Farhan punya uang, nanti toko beras Bapaknya Rita bisa jadi milik Farhan, apalagi Rita itu anak tunggal." desis Ibu sambil melirik ke arahku.

"Bu, tolong pikirkan lagi. Ada Tara dan Tari, mereka cucu Ibu ...," ucapku memelas, berharap ada sedikit rasa belas kasih Ibu untuk kedua cucunya.

"Kalau cuma cucu, Rita pasti juga bisa kasih Ibu cucu! Lagipula, Ibu butuhnya uang bukan cucu!" bentak Ibu kasar.

Air mataku tak lagi dapat ku bendung mendengarkan ucapan Ibu yang begitu menyakitkan. Tak apa jika ia membenciku, tak apa jika ia mengabaikan diriku. Aku sadar, aku hanyalah menantu ... tapi Tara dan Tari? Mereka adalah darah daging Mas Farhan, darah daging Ibu juga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status