Share

Enam

Bahagia setelah Berpisah

(POV Hanin)

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Aku sedikit terkejut ketika merasa seseorang menepuk lenganku. Ku usap wajah dengan punggung tanganku cepat.

"Bu ...," panggil Utara lirih.

"Eh--iya, ada apa Nak? Maaf Ibu ngelamun tadi." jawabku.

Utara tak menyahut lagi, ia hanya menunjuk ke arah sebelahku. Segera ku ikuti arah yang ia tunjukkan. Ternyata, di sampingku telah berdiri Mbak Sulis dan Mas Sunar, tetangga Ibu mertuaku.

"Kamu ngapain disini pagi-pagi sama anak-anak kamu Han?" tanya Mbak Sulis khawatir. Ia segera mengulurkan tangannya untuk menggendong Utari yang telah tertidur lagi.

"Eh--anu Mbak ...," lidahku kelu, bingung akan menjawab apa.

Mbak Sulis tampak mengerti, ia meminta Mas Sunar membawa Utara agar kami dapat berbicara lebih leluasa.

"Kamu mau kemana Han?" tanyanya lagi ketika kami telah duduk di sebuah bangku di depan warung kopi yang ternyata adalah milik Mas Sunar.

"Hanin mau pulang kampung Mbak." jawabku tanpa menatap Mbak Sulis.

Ia terdengar menghela nafas berat.

"Mbok Sima itu memang keterlaluan sekali. Bisa-bisanya dia ngusir kamu sama anak-anakmu. Terus suamimu itu juga ga ada gunanya, surganya anak laki-laki itu memang ada sama Ibunya tapi mbok ya mikir, anak istrinya dizalimi kayak gini kok dia diam saja ...," ucapnya panjang lebar.

Ia menatapku sebentar lalu kembali menghela nafas, kali ini lebih panjang.

"Kamu nggak usah kaget gitu Han, kami semua sudah pada tau sifat mertua sama suamimu itu. Kami cuma bingung harus nolong kamu kayak gimana, apalagi sekarang ada kabar kalau suamimu mau nikah sama si Rita." lanjutnya lagi.

Aku hanya menunduk. "Betul Mbak, Mas Farhan memang mau menikahi Rita." aku membenarkan letak jilbabku yang berantakan tertiup angin.

"Kok bisa Pak Wijaya punya istri kayak Mbok Sima ya? Jahatnya kayak mertua-mertua yang ada di film. Padahal dulu, istri pertamanya, Ibu kandungnya Kamila itu baik banget ... hmm, ayo masuk ke dalam dulu, kamu pasti belum makan apa-apa'kan?" ajak Mbak Sulis.

Aku mengekor di belakangnya, saat sampai di dalam warung yang tak seberapa besar itu aku melihat Utara tengah di suapi oleh Mas Sunar. Melihat pemandangan itu membuat hatiku sesak, selama ini Mas Farhan tak lagi pernah memperhatikan anak sulung kami, ia selalu sibuk bersama Ibunya. 

Mas Sunar dan Mbak Sulis adalah tetangga yang tinggal dalam satu gang dengan rumah Ibu. Mereka sudah menikah lama, tetapi sampai saat ini Gusti Allah belum mempercayai kehadiran seorang anak di antara mereka berdua. Aku jarang bertegur sapa dengan mereka, karena selain jarang bertemu aku juga jarang keluar rumah akibat sibuk membuat kue dagangan serta mengurus rumah.

"Eh, diminum dulu tehnya Dik Hanin." Mas Sunar menggeser segelas teh panas ke hadapanku.

"Makasih banyak Mbak, Mas." aku meneguk sedikit teh di dalam gelas itu. Rasa manis dan hangat segera memenuhi tenggorokanku. Tubuhku terasa lebih rileks.

"Sebelumnya, maaf kalau pertanyaanku ini agak lancang ya, kamu ada ongkos Han?" tanya Mbak Sulis tiba-tiba. 

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. Ia memberikan Utari pada Mas Sunar. Terlihat binar kebahagiaan di wajah lelaki itu saat ia memeluk tubuh putriku.

"Nggak usah malu dan sungkan, aku yakin nggak mungkin Mbok Sima ngusir kamu sekalian ngasih ongkos buat pulang. Apalagi tadi pas lewat depan rumahmu kami dengar dia lagi teriak-teriak sambil maki nama kamu." Mbak Sulis menatap iba ke arahku.

Wajahku mungkin telah semerah udang rebus, perasaan marah, malu, kecewa bercampur jadi satu saat ini.

"Ini aku ada sedikit rejeki, ditambah ada titipan dari Ibu-Ibu yang lain. Diterima ya? Jangan ditolak ... kami cuma bisa bantu kayak gini Han," ia menyodorkan dua lembar uang berwarna merah serta amplop putih ke arahku.

Air mata tak lagi dapat ku tahan melihat ternyata betapa baik para tetangga yang selama ini ku kira hanya diam dan tak peduli pada aku dan anak-anakku.

"Makasih banyak Mbak Sulis, sampaikan juga ucapan terimakasih Hanin buat Ibu-Ibu yang lain," tanganku bergetar ketika mengambil uang dan amplop itu dari tangan Mbak Sulis, lantas ku peluk erat tubuh wanita yang umurnya lebih tua dariku itu. 

"Maafkan kami juga ya, Han? Kami selama ini hanya diam ... takut dikira ikut campur masalah rumah tangga kamu." ia mengelus lembut punggungku.

Aku mengangguk mengerti, "Iya Mbak, Hanin mengerti." 

Ku lepaskan pelukanku padanya, ia mengusap air mataku dengan tangannya.

"Ambillah ...," ia mengeluarkan sebuah telepon genggam dari saku celananya dan menyodorkannya padaku.

Aku menaikkan alis, bingung. Bukankah ini terlalu berlebihan?

Mbak Sulis sepertinya dapat membaca ekspresi wajahku, ia mengelus lembut lenganku.

"Ini titipan dari Kamila, ia menitipkan ini untuk kamu. Dari Kamila juga kami semua tahu sifat mertuamu yang ternyata jahatnya Nauzubillah itu." Mbak Sulis tersenyum sambil kembali menyodorkan telepon genggam itu padaku.

Ya Allah, sekelebat wajah ayu Kamila terbayang dalam benakku. Rasa rindu padanya semakin tak terbendung. Sudah lama kami tak berkomunikasi. Aku memang tak memiliki telepon genggam pribadi, hanya ada satu dan itu milik Mas Farhan. 

"Kamu makan dulu ya? Nanti, biar Mas Sunar yang antar kamu ke terminal." Mbak Sulis masuk ke dalam, tak lama kemudian ia keluar membawa sepiring nasi beserta lauk telur dadar yang sudah diberikan siraman sambal pecel lengkap dengan lalapannya.

"Makan, kasihan Utari kalau kamu kelaparan." sambungnya.

Aku kembali mengangguk, dalam hati ku panjatkan beribu-ribu rasa syukur pada Tuhanku. Saat aku sedang putus asa dan merasa tak ada yang mempedulikan nasib kami, tiba-tiba ia menunjukkan kebesaran dan kasih sayang-Nya. Diam-diam ternyata sangat banyak orang yang menyayangi diriku dan anak-anakku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lail Maubile
tetangga yg berbaik hati akan mendapat berkat dari Tuhan,dan kau Farhan tunggu karma mu suatu saat akan menerima penyesalan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status