Share

Bahagia Setelah Berpisah
Bahagia Setelah Berpisah
Penulis: Ayunisaurus

Satu

Bahagia setelah Berpisah

***

Hanin berjalan terseok sambil menggandeng lengan putranya yang berusia 6 tahun, dalam dekapannya menggeliat bayi 8 bulan yang sedang tertidur lelap. Sesekali mulut mungilnya bergerak-gerak seolah tengah menghisap susu dari pay*d*ra sang Ibu.

"Bu, Tara haus." rengek Utara putranya. Hanin berhenti sejenak, mengeluarkan botol air mineral yang isinya tinggal separuh. Ia berikan botol itu pada Utara dan bocah itu segera membuka tutup dan meneguk isinya cepat.

"Alhamdulillah," ucap Utara penuh rasa syukur. 

Melihat itu Hanin tersentuh, bawah matanya terasa panas. Ia menggigit kuat bibir bawahnya agar air mata tak jatuh membasahi pipinya.

"Yuk, kita jalan lagi Bu. Kasihan dede Utari." ajak Utara pelan. Ia kembali menggandeng tangan sang Ibu.

Hanin mengangguk lemah lantas Ibu dan anak itu melanjutkan perjalanan mereka kembali.

Hari semakin terang, matahari mulai menyinari jalan yang dilalui oleh Hanin beserta dua buah hatinya. Ia dan anak-anaknya baru saja di usir oleh mertuanya. Sedangkan suaminya tak peduli, ia sibuk merencanakan pernikahan keduanya dengan seorang anak juragan beras. 

"Kita berhenti dulu Nak," ucap Hanin saat mereka berada di depan warung kopi yang sedang tutup. Mereka lantas duduk di bawah rindangnya pohon kersen yang terletak tepat di samping warung kopi itu.

Utari mulai menggeliat lagi, tampaknya bayi itu kehausan. Dengan cekatan Hanin membuka beberapa kancing kemeja bagian atas dan menyusui bayinya. Sesekali Hanin menepuk pelan paha Utari yang kini terbangun dan tengah menatapnya.

Sebongkah daging di dalam tubuh Hanin terasa nyeri, menatap anak-anak yang harus ikut menanggung derita akibat perlakuan bejat suami dan mertuanya. Ia sudah berjalan 2 jam lebih, jarak antara rumah suaminya dengan terminal memang jauh. Ia bisa saja naik ojek, tapi uang yang dimiliki Hanin hanya cukup untuk ongkos naik bis serta ia simpan untuk berjaga-jaga jika Utara meminta makan ataupun pampers Utari habis dalam perjalanan. Jarak tempuh dari Kota tempat suaminya tinggal ke Kampung halaman Hanin memakan waktu sekitar 9 jam.

"Bu kita sekarang mau kemana? Bapak kok tega ya ngusir Ibu, Tara sama Tari juga?" tanya Utara bingung. Sepasang manik hitam menatapnya lekat, membuat Hanin gelagapan mencari jawaban.

"Bapak nggak ngusir kita sayang, Ibu cuma mau ajak Tara sama Tari main ke rumah Ibu. Kan sudah lama kita nggak ke sana ...," jawab Hanin berdusta.

Mata Utara masih menatap intens padanya, tampak jika anak itu tak percaya dengan ucapan Hanin.

"Kata Ibu bohong itu dosa, tapi kenapa Ibu bohong ke Tara? Nenek Sima bilang kita memang harus pergi soalnya Bapak mau menikah sama Tante Rita." ucapan Utara bagaikan belati yang tepat mengenai jantung Hanin.

Bagaimana bisa mertuanya mengatakan hal itu pada anak sekecil Utara? Apalagi Utara adalah cucunya sendiri? Darah daging Farhan, putra kandungnya?

"Tara nggak apa-apa kok Bu, asalkan bisa tetap kumpul sama Ibu, sama Tari," lanjutnya lagi. Bocah lelaki itu kini menggenggam jemari adiknya yang masih asik menyusu.

"Tara sayang, nggak boleh marah sama Bapak ya Nak, sama Nenek Sima juga." Hanin membelai pipi putranya lembut. Pertahanannya terasa akan jebol apalagi setelah mendengar penuturan putranya.

"Kenapa nggak boleh marah Bu? Bapak nggak sayang sama Ibu, nggak sayang sama Tara sama Tari juga." Utara menghela nafas panjang.

Hanin tak percaya jika perlakuan suami dan mertuanya telah menyakiti hati anaknya. Kini bahkan dalam hati Utara telah menyimpan perasaan benci pada Bapak kandung serta neneknya. Mereka telah sukses melukai hati anak sekecil Utara.

***

Farhan, lelaki berusia 35 tahun yang baru saja mendapatkan rezeki nomplok setelah menjual tanah warisan milik Almarhum Bapaknya itu memang sejak jauh hari telah meminta izin Hanin untuk menikahi Rita, gadis umur 18 tahun anak juragan beras yang tinggal satu Desa dengan mereka.

"Aku tetap mau menikah sama Rita, mau kamu setuju atau nggak ya, itu urusan kamu!" bentak Farhan saat Hanin mengemukakan ketidaksetujuannya. 

"Tapi Mas, gimana sama anak-anak? Ya Allah, istighfar Mas," Hanin masih tak percaya, bagaimana mungkin tiba-tiba suaminya berucap ingin menikahi gadis yang baru lulus Sekolah Menengah Atas tersebut.

"Ya gak gimana-gimana lah, kamu jangan sok larang aku buat nikahin Rita. Bapaknya aja mau nerima aku sebagai menantunya. Nanti, toko beras Bapaknya bakalan jadi punya aku. Mumpung aku sekarang punya uang banyak. Capek aku miskin terus hidup sama kamu Han. Dari dulu tanah warisanku mau aku jual nggak kamu bolehin terus." Farhan berkacak pinggang di hadapan Hanin. 

"Astagfirullah Mas, aku nggak bermaksud melarang kamu. Tapi itukan bisa buat masa depan Tara sama Tari. Lagipula, disitu ada haknya Kamila ...," ucapan Hanin ternyata semakin menyulut emosi Farhan. Ia menggebrak meja makan dan membuat Hanin terkejut.

"Halah, istrimu iri itu sama Rita. Dia pasti niatnya mau makan harta warisanmu sendiri Le, sudah perempuan ndak becus aja jangan banyak omong." ucap Sima yang baru saja masuk ke ruang makan dan makin memperkeruh keadaan.

Bukannya menengahi wanita sepuh itu justru semakin mengompori Farhan.

Hanin meremas jemarinya kuat, hatinya terasa sakit. Hampir 4 tahun ia harus tinggal bersama Sima, sejak Farhan diberhentikan dari pekerjaannya di Kota. Sikap Sima yang boros dan suka membeli barang yang kadang tak digunakan dengan cara apapun bahkan demi memenuhi keinginannya tak jarang Sima menjual barang yang ada di rumahnya. Selama ini mereka hidup dari warung kelontong kecil peninggalan Bapak Farhan. Ia mulai mengibarkan bendera perang pada Hanin ketika menantunya itu sering mengingatkan agar ia menghentikan kebiasaan borosnya.

"Kamu nggak usah bawa-bawa Kamila, dia itu sudah kaya. Kerja jadi TKW di luar negeri. Kamu itu loh apa Han, nyusahin aja. Usaha kek, apa kek, jangan cuma di rumah aja." sindir Sima lagi saat matanya bersitatap dengan mata Hanin.

"Hanin sudah berusaha Bu cari kerja, tapi gimana sama Utari, kasihan dia Bu." Hanin menundukkan kepalanya. Tak satu dua kali Hanin menjadi bulan-bulanan Sima, semenjak ia tinggal di rumah Farhan, Sima memang acap kali mencari masalah dengannya. Entah, apa yang telah Hanin lakukan sehingga apapun yang Hanin kerjakan selalu salah dimata Sima. Hanin telah berusaha mencari pekerjaan, ia pun telah berulang kali membuka usaha kecil-kecilan seperti menjual kue, aneka gorengan dan nasi bungkus yang dititipkan ke warung-warung tetangga. Namun sayang, uang dari usaha Hanin terkadang sering dipakai Sima tanpa sepengetahuan Hanin. Hal itulah yang memicu Sima menjadi semakin benci pada menantunya, ia pun mencari cara agar Farhan berpisah dari Hanin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status