Share

Dua

Bahagia Setelah Berpisah

(POV Hanin)

***

"Bu, Tara minta uang mau beli es boba ... boleh?" tanya Putraku saat aku baru selesai menidurkan bayiku.

Aku mengambil sebuah tas kecil yang telah usang, hadiah 2 tahun lalu saat Mas Farhan membelikan kalung di ulang tahun pernikahan kami yang ke sepuluh tahun. Hanya ada uang berwarna abu-abu 2 lembar di dalam sana.

"Harganya berapa Le?" aku bertanya balik pada Utara yang masih menunggu.

"Lima ribu Bu." 

Aku menghela nafas, jika meminta pada Mas Farhan tentu Utara akan dimarahi. Seingatku aku belum mengambil uang hasil menjual kue brownis di warung Mak Narti.

"Le, Ibu minta tolong dulu ya, coba kamu ke warungnya Mak Narti minta hasil penjualan kue Ibu yang kemarin." ucapku pada Utara. Pria kecilku itu mengangguk paham, dengan cepat ia segera keluar dengan wajah bahagia.

15 menit kemudian Utara kembali, namun kali ini dengan wajah lesu dan terlihat ada bekas air mata di kedua pipi tembamnya. Aku mengerutkan alis heran.

"Mana uangnya Nak? Katanya mau beli es boba?" tanyaku pada Utara. Memang di depan gang rumahku ada sebuah kedai baru yang menjual es kekinian dan semua anak-anak sekitar rumahku sudah mencobanya berkali-kali. Hanya Utara yang belum pernah membelinya.

Pria kecilku menggeleng pelan, ia lantas menyerahkan selembar uang 2 ribu kepadaku. Aku mengernyitkan alis. Jika dagangan ku habis semua seharusnya Utara membawa pulang uang lima puluh dua ribu rupiah.

"Kata Mak Narti dagangan Ibu habis, tapi uangnya tinggal itu sisanya sudah diambil Nenek Sima." putraku menunduk lesu. Aku dapat melihat air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya lagi.

Ya Allah, tega sekali Ibu mertuaku itu. Padahal sisa uang itu akan ku gunakan menjadi modal berjualan besok. Mataku kembali menangkap hal aneh pada Utara, putraku tampak mengusap lembut lengan kirinya.

"Kenapa Le?" tanyaku cepat. Utara kembali menggelengkan kepalanya.

Melihat gelagat anehnya segera ku tarik lengan putraku itu, dan betapa terkejutnya aku saat mendapati sebuah bekas cubitan yang tampak membiru di sana.

"Siapa? Siapa yang nyubit kamu sampai biru kayak gini?!" Aku menatap nyalang ke arah Utara, tak terima jika ada yang menyakiti anakku.

Jujur, sebagai Ibu tak pernah sekalipun aku menyakiti tubuh anakku. Utara hanya diam, tumpah sudah air mata yang sedari tadi ia tahan-tahan.

"Tara lihat Ibu Nak," ku angkat kepala anakku perlahan. Matanya memerah, sementara mulutnya terkatup. Tentu takut jika Bapaknya mendengar isak tangisnya.

"Ta--tadi, Nenek Sima yang nyubit Tara. Pas Tara minta uang jualannya Ibu ...," jawabnya terbata.

Astaghfirullah, mertuaku.

Segera ku langkahkan kaki menuju kamar tamu, kamar yang biasa digunakan Mas Farhan tidur. Sejak ia menjual tanah dan mengutarakan keinginannya untuk menikahi Rita ia tak lagi mau tidur satu kamar denganku. Ku buka pintu kamar dengan kuat, sehingga mengejutkan Mas Farhan yang tampaknya tengah menelepon seseorang.

"Eh, nanti aku telepon lagi ya, cintaku, sayangku." ucapnya lalu mematikan telepon.

Aku berdiri di ambang pintu sambil menggenggam lengan Utara, sementara anak itu ketakutan kala melihat sosok Bapaknya yang menatap tajam ke arah kami berdua.

"Kamu itu nggak sopan sama sekali ya, Han!" bentak Mas Farhan.

"Lihat ini Mas, lihat! Ibu kamu tega sekali mencubit Utara hanya karena Utara minta agar Ibu mengembalikan uang hasil penjualan kueku." ucapku tak mau kalah. Aku menyodorkan lengan putraku yang tampak membiru ke hadapan Ayahnya.

"Kamu betulan dicubit Nenek?" ia bertanya pada Utara yang segera menarik lengannya dan bersembunyi di belakangku lagi.

"I--iya, Pak. Dicubit Nenek." jawabnya parau.

Mas Farhan terlihat tak suka dengan ucapanku, namun ia juga tampak marah karena perbuatan Ibunya. Ia dengan segera keluar dari kamar. Aku berjalan di belakangnya bersama Utara.

"Bu?!" panggil Mas Farhan kencang. Ibu mertuaku dengan cepat masuk ke dalam ruang tamu, ia tampaknya habis makan karena mulutnya yang terlihat merah sesekali ia ber-hah kepedasan.

"Apa sih, Le? Kok teriak-teriak panggil Ibu?" tanyanya heran melihat kami semua berkumpul di ruang tamu.

"Ibu jawab Farhan ya, tadi apa Ibu nyubit lengannya Tara gara-gara Tara minta uang hasil jualannya Hanin?" Mas Farhan mendelik ke arah Ibunya. Mertuaku tampak salah tingkah.

"Halah, cuma cubit sedikit aja udah wadul kamu itu. Lagian dia bikin malu Ibu, mana di warung tadi banyak orang." ucap Ibu mertuaku mencari pembelaan.

"Ya gak gitu juga Bu, uangnya mau Hanin pakai lagi buat jualan besok." sergahku cepat.

"Hanin, Hanin, kamu itu kok pelit sih jadi menantu? Cuma lima puluh ribu jadi masalah. Bikin malu aja!" bentak Mertuaku tak terima. 

"Uang itu besar sekali Bu buat Hanin, apalagi Mas Farhan udah jarang kasih uang lebih buat jajan Utara, sama keperluan Hanin juga." 

Kini Mas Farhan berbalik menatap tajam padaku.

"Maksud kamu apa Han? Uang bulanan mu kurang?" tanyanya sinis.

Aku menghela nafas, bagaimana ia bisa bertanya seperti itu sedangkan ia hanya memberiku uang 1 juta untuk ku gunakan membeli kebutuhan rumah tangga? Ia juga menjatah uang untuk membeli pampers Utari, tagihan token listrik dan air. Tak pernah ada uang lebih bahkan sekedar untuk jajan putraku.

Aku menjelaskan rincian pengeluaran rumah pada Mas Farhan, tatapannya sedikit melunak. Berbeda dengan tatapan Ibu mertuaku yang seakan ingin menelanku bulat- bulat.

"Istrimu boros itu Le, nggak bisa ngatur uang." lagi-lagi Mertuaku memperkeruh keadaan.

"Ya Allah Bu, Ibu ini maunya apa? Hanin nggak nuntut banyak ke Mas Farhan. Hanin juga nggak keberatan dikasih nafkah segitu, Hanin nggak protes meskipun tau kalau hasil warung lebih banyak dan semuanya Ibu yang pegang. Tapi, Hanin sakit hati Bu kalau uang hasil jualan Hanin juga diambil Ibu semua. Uang itu buat kebutuhan Tara Bu, dia juga kepengen jajan kayak temannya yang lain. Ambil jajan di warung Ibu juga nggak Ibu bolehin, minta ke Mas Farhan juga yang ada dia dimarahi ... lantas, apa Hanin salah Bu?" ku keluarkan semua unek-unek yang ku tahan selama ini.

Aku dapat melihat dengan jelas wajah Ibu tampak memerah menahan amarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status