Share

Lima

Bahagia Usai Berpisah

5

🍁🍁🍁

"CUKUP MAS!"

Aku dapat merasakan getaran suaraku sendiri. Dari awal kenal, hingga menikah dan memiliki anak tak pernah satu kali pun aku berteriak di depan Mas Farhan. Mimik wajahnya seketika berubah. Ia tampak tak percaya jika aku baru saja meninggikan suaraku di hadapannya.

"Apa-apaan itu Hanin?!" Ibu mertuaku tergopoh-gopoh menghampiri aku dan Mas Farhan yang sama-sama diam. Utara bahkan terbangun akibat teriakan ku barusan.

"Kau ... sudah berani melawanku?" tanya Mas Farhan, tatap matanya begitu menusuk. Ada kekecewaan yang ku temukan di dalam sana.

"Aku capek Mas, aku lelah! Apa yang aku lakukan selalu salah di mata kamu, di mata Ibu. Aku ini istrimu Mas, wajib kamu nafkahi, kamu bimbing, kamu arahkan. Tapi apa? Apa yang aku dapat selama ini? Sejak kita pindah kemari, kamu berubah drastis. Tak lagi perhatian padaku, bahkan pada putramu sendiri. Kamu abai Mas ...," 

Tak ku lanjutkan ucapan ku, dadaku terasa akan meledak. Aku bahkan menggunakan kata 'kamu' padanya.

"Aku kurang apa Mas selama ini? Diminta mencari pekerjaan sudah aku lakukan, aku bahkan harus bersusah payah berjualan agar Utara tetap bisa jajan seperti temannya yang lain, saat kamu memintaku untuk tak menggunakan KB aku pun menurutimu, hingga akhirnya Utari lahir, kau pun tak peduli padanya ... aku masih diam Mas, menghormatimu apalagi Ibu, tapi apa ... apa balasannya? Kau malah ingin menduakan aku?" ku pandangi dengan lekat wajah Ibu dan suamiku yang tampak tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Aku menengadahkan kepalaku ke atas, mataku terasa panas. Air mata mulai berkumpul di pelupuk mataku.

"Kamu dan Ibu tak apa menyakitiku berkali-kali, aku akan tahan demi Tara dan Tari. Aku tak ingin mereka kehilangan momen masa kecil yang seharusnya indah, tapi aku tak akan tahan jika ada yang menyakiti anak-anakku ...," aku berusaha keras menetralkan degup jantung yang tak beraturan.

Ibu tampak diam tak bergeming.

"Kau masih tak terima hanya karena Ibu mencubit Utara?" tanya Mas Farhan. 

Aku mengusap kasar sisa air mata yang ada di pipiku.

"Iya, orang tua mana yang rela anaknya disakiti orang lain Mas?! Aku juga tak suka kalian memarahi anakku hanya karena masalah sepele, aku tak suka Ibu yang seenaknya sendiri mengambil uang dagangan ku ...," 

PLAK!

Rasa panas dan perih segera menjalar di pipi kananku, perlahan rasa itu turun dan semakin terasa menyakitkan hingga ke dalam lubuk hati.

Mas Farhan ikut terkejut dengan perbuatannya sendiri, aku dapat menangkap ekspresi keterkejutannya.

"Ma--maafkan aku Hanin, aku tidak bermaksud menyakitimu ...." ia tiba-tiba memelankan volume suaranya.

"Selama hampir 12 tahun kita menikah, hari ini pertama kalinya kamu benar-benar mengecewakanku Mas ...," aku menatap sendu wajah Mas Farhan.

"Kamu sudah benar, wanita seperti Hanin tak pantas di jadikan istri. Mana ada istri yang berani mengkritik dan melawan suaminya? Besok-besok tak akan menutup kemungkinan dia akan mengajari anak-anak berani menentang mu juga Farhan!" Ibu yang sedari tadi diam dan menyimak akhirnya ikut bersuara.

Aku sudah sangat muak mendengar ucapan Ibu.

"Lantas, apa mau Ibu sekarang?" ku tatap mata Ibu lekat. Nafasku memburu.

"Aku ingin kalian berpisah! Tak sudi aku punya menantu pembangkang sepertimu. Jika dulu Farhan tak memaksa, tak mungkin aku menerima menantu yatim-piatu yang asal usulnya tak jelas sepertimu Hanin!" jawab Ibu berapi-api.

Ucapannya bagaikan seribu pisau yang menusuk jantungku sekaligus. Kaget, tak percaya, dan tak menduga jika wanita yang selalu ku hormati setelah mendiang Ibu kandungku bisa berbicara seperti itu.

"Apa maksud Ibu?" 

"Ceraikan dia Farhan, sekarang!" 

"Aku tak bisa, Bu."

"Kenapa? Kamu mau jadi anak durhaka? Mau kamu hah? Pergi kau dari rumahku Hanin, bawa anak-anakmu ikut denganmu!!!"

Aku meremas ujung bajuku, rumah ini telah menjadi neraka bagiku serta anak-anakku. 

"Mas ...," panggilku lirih.

Aku memantapkan hatiku, pernikahanku sepertinya tak akan lagi dapat dipertahankan.

Mas Farhan yang tengah berdebat dengan Ibu menoleh, ia bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Tak ingin berpisah.

"Aku rasa hubungan kita sudah tak sehat lagi, tak ada yang bisa ku pertahankan dari hubungan seperti ini. Ini tak baik bagi Tara dan Tari ...," 

Aku mengelap air mata yang tak dapat ku tahan.

"Lebih baik kita berpisah saja, aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Aku akan membawa anak-anak ikut denganku dan kau bebas menikahi Rita seperti keinginanmu." 

Mata Mas Farhan membulat mendengar ucapan ku.

"Apa maksudmu Han?" matanya tampak berkaca.

"Aku tak tahan lagi Mas, aku akan pergi sesuai permintaan Ibumu." ku lemparkan tatapan sinis ke arah Ibu.

"Ya, pergi saja dasar wanita sombong! Aku ingin lihat bagaimana caramu menghidupi anak-anakmu itu." Ibu mengangkat satu alisnya ke atas. Meremehkan ku.

Tak butuh waktu lama, segera ku kemasi beberapa pakaian milik Utara dan Utari, ku masukkan juga beberapa setelan pakaianku dan surat-surat berharga ke dalam tas lusuh milikku yang ku gunakan saat aku pertama kali datang kemari. Ku gendong Utari dan menyelimutinya dengan selimut bayi miliknya, serta ku gandeng Utara yang ternyata sudah terbangun namun menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Hatiku makin teriris saat ku lihat ia menangis menatapku yang kini dalam keadaan berantakan.

"Ikut Ibu ya, Nak ...," ajakku padanya, ia mengangguk cepat.

Aku dan anak-anakku berjalan melewati Ibu dan Mas Farhan yang hanya diam mematung.

"Kamu nggak akan bisa Han hidup tanpa aku, ingat kamu itu nggak punya siapa-siapa lagi!" ancam Mas Farhan saat aku telah bersiap keluar dari rumah. 

Aku berbalik ke arah Mas Farhan yang sepertinya berharap aku membatalkan rencana untuk pergi dari rumahnya.

"Aku akan lebih menyesal lagi Mas jika tetap bertahan dan membiarkan anak-anakku tinggal di dalam neraka seperti ini. Selamat tinggal Mas, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." ku lempar sebuah senyum tipis ke arahnya dan Ibu yang wajahnya tampak memerah seperti udang rebus.

"Dasar menantu kurang ajar, ceraikan dia Farhan, ceraikan dia sekarang!!!" titah Ibu yang tampaknya tak dapat menahan amarahnya lebih lama lagi.

Ada keraguan di wajah Mas Farhan, seakan separuh hatinya tak ingin memenuhi perintah Ibunya.

"Jika kamu tetap keluar dari rumahku maka jatuh sudah talak dariku atas dirimu Hanin ...," Mas Farhan bergumam lirih. Gurat wajahnya seolah memohon agar aku tetap tinggal.

Ku gandeng lengan Utara dan mempercepat langkah kami keluar, aku dapat mendengar dengan jelas Ibu yang mencaci diriku. 

"Aku jatuhkan talak untukmu Hanindita Az-Zahra Binti Suprapto, kini kau bukan lagi istriku ...,"

Air mata tak lagi dapat ku bendung, hatiku sakit, jiwaku terluka, ku eratkan pelukanku pada Utari serta genggaman tanganku pada Utara.

Ucapan terakhir Mas Farhan telah membebaskan ku dari jeratan penderitaan yang perlahan akan membunuhku serta anak-anakku.

Di subuh yang dingin itu aku resmi kehilangan separuh jiwa yang ku tinggalkan bersama Mas Farhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status