Share

2. Penyesalan

"Dengan penampilan seperti itu seharusnya kamu tak berakhir di tempat seperti ini." Suara berat itu memecahkan keheningan saat aku tengah bergelut dengan pikiran karena kembali dihadapkan dengan uang yang bisa datang dengan instan.

"Kalau kecantikan memang sebuah keuntungan, kenapa uang nggak bisa datang hanya dengan dipandang?" Kuajukan pertanyaan yang membuat Si Tampan sejenak terdiam.

"Setidaknya kamu punya pilihan."

"Tapi nggak punya cukup kesempatan."

"Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?"

"Tergantung kesempatan macam apa yang diberikan. Kalau cuma 1M dalam setahun aku juga bisa menghasilkan, tanpa perlu menggadaikan rahim pada orang."

Hening.

"Selain uang, komitmen mungkin bisa membawa perubahan."

"Komitmen?" Aku nyaris tertawa dibuatnya. "Anda pikir hanya dengan melayani satu orang lelaki, dalam satu tahun hidupku bisa berubah sepenuhnya?"

"Mungkin."

Aku tersenyum miring.

"Kalau Anda sendiri nggak yakin, bagaimana bisa aku percaya?"

Dia kembali terdiam.

"Denger, ya, Ganteng. Komitmen itu nggak membawa perubahan, tapi mengikat seseorang. Aku sudah merasakan bagaimana ikatan itu mencekik leherku dan rasanya sulit untuk dilepaskan." Aku beranjak dari ranjang, lalu mengenakan kembali mantel yang semula sudah ditanggalkan. Bersiap untuk keluar.

"Saya tambah jadi 2M, sisanya setelah kontrak kita selesai."

Langkahku terhenti sebelum mencapai ambang pintu. Aku menatapnya dengan alis bertautan.

"Kenapa Anda sangat bersikeras ingin menanam benih di dalam ladang yang sudah sering dibajak orang?"

"Karena istri saya sendiri yang memintanya!"

***

"Bentar amat, Nin. Belon ada setengah jam. Dia lemah syahwat emang?"

Kutatap nyalang Roy yang baru saja mendaratkan bokong di kursi yang tak terisi.

"Kita cuma ngobrol," jawabku sekenanya.

Mata Roy membelalak lebar. "Dia bayar mahal cuma buat curhat doang?!"

Aku menghela napas, lalu memutar-mutar kartu nama yang lelaki itu berikan bila suatu saat nanti aku berubah pikiran. Akhirnya pertanyaan itu tak terjawab dan berlalu begitu saja.

"Roy!" Kupanggil nama anak kandung Tante Lala yang juga sahabatku itu, setelah beberapa sesi keheningan.

"Hmm ...." Dia menaikkan alis dan melirikku hanya dengan sudut mata.

"Misalnya, nih. Ada yang mau kasih lu duit 1 M, mau lu pake buat apa?" Pertanyaan itu kuajukan dengan bumbu perumpamaan.

Roy akhirnya benar-benar menatapku, lalu mengernyitkan dahi.

"Ya udah jelas buat buka usaha-lah, atau investasi jangka panjang."

"Contohnya?"

"Buka panti pijet plus-plus, misal."

Aku menatap datar, lalu menoyor kepalanya setelah itu.

"Oh, c'mon, Beib. Di zaman yang serba mahal ini, cuma bisnis perlaunte-an yang menjanjikan."

"Kalau yang halal?"

"Halal?" Dia terbahak setelahnya. "Astaga Nindi, bisa-bisanya lo bahas tentang bisnis halal saat kita lagi ada di rumah bordil, terus hadep-hadepan sama minuman yang memabukkan."

"Emang salah gue minta saran sama orang kayak elu." Aku mendengkus, lalu melipat tangan.

"Nggak usah baper, Beib. Lagian lo ngajuin pertanyaan aneh, kek duit 1M beneran bisa datang dalam satu malam."

"Beneran bisa. Tapi dengan segala konsekuensinya."

"Serius? Emang ada yang nawarin? Nggak sangka, ternyata apem lo bisa seharga mobil mewah."

"Nggak kitu konsepnya!" Untuk yang ke sekian kali aku menoyor kepala Si Roy.

"Lah, terus?"

"Ada orang mau nanem bibit di ladang gue. Udah termasuk pupuk sama perawatan, belum lagi dikasih duit pemeliharaan dan sewa tempat. Menurut lu apa semuanya sepadan?"

"Sejak kapan lo punya kebon?"

"Tolol." Kugaruk rambut yang tak gatal. "Itu semua perumpaan, intinya dia mau sewa rahim gue buat ngandung anak dia sama bininya!"

"Oalah, kenapa lo nggak bilang dari tadi? Udah tahu IQ gue pas-pasan."

"Au ah."

"Kalau menurut gue nggak sepadan, Nin. Hamil itu nggak gampang, belum taruhannya nyawa. Lagian buat apa, sih duit 1M? Kurang dari setahun aja lo bisa dapet."

Aku tertegun.

"Sisi terjahat dalam diri gue mulai mengambil alih, Roy. Saat dihadapkan dengan duit lebih, yang ada pikiran cuma menyingkirkan beban. Beban yang selama ini selalu membelenggu. Beban yang sampai detik ini masih belum bisa gue lepaskan."

Roy mengulurkan tangan, dia meremas bahuku yang selama ini berdiri kokoh meski berkian kali diterjang kerasnya kehidupan.

"Kalau selama ini lo anggap Bu Nia dan Nana itu beban, kenapa nggak dari awal lo tinggalin mereka? Lo punya hak buat itu, Nindi. Karena nggak ada darah yang mengikat kalian."

Bahu yang semula berdiri kokoh, perlahan mulai terkulai. Kenyataan kembali menampar, ketika aku dihadapkan dengan uang dan kebebasan.

"Setidaknya kalau ada duit lebih yang gue tinggalkan, mereka bisa hidup layak di yayasan. Bu Nia bisa dapet donor ginjal, dan Nana bisa lanjutin sekolah sampai kuliah. Lalu gue nggak lagi dibebankan kebutuhan hidup yang makin mencekik tiap bulan."

"Nindi ...." Roy menggenggam erat jemariku saat beban yang selama ini kupendam, berhasil diluapkan.

"Bahkan saat Si Brengsek itu berhasil lempar gue ke pusat neraka dunia, gue masih bisa bersyukur saat dipertemukan dengan orang-orang kayak kalian. Gue masih bisa senyum, saat beban-beban yang Si Brengsek tinggalkan menyambut gue dengan pelukan, walaupun mereka nggak tahu apa yang udah gue lalui sampai ada di titik terendah kehidupan." Mataku memanas saat menyaksikan Roy sudah menangis dalam pelukan.

"Lo udah kuat sejauh ini, Nin. Lo hebat. Jangan pernah menyesal menebar kebaikan. Semua yang udah lo lakukan pasti ada timbal baliknya."

Aku melerai pelukan, menatap mata Roy dengan tajam. "Satu-satu penyesalan gue adalah pernikahan, Roy. Seandainya gue nggak menggantungkan harapan sama seorang pecundang, setidaknya masa depan gue masih bisa diselamatkan."

Nindia Putri Zaelani adalah nama yang orang tuaku berikan sebelum membuangku di panti asuhan. Dibandingkan yang lain, aku dibuang hanya sepekan setelah dilahirkan. Di tempat penampungan anak terlantar, aku tumbuh besar dan mengenal dunia yang terbatas. Pendidikanku hanya berhenti sampai SMP, karena katanya pihak panti mengalami keterbatasan biaya, padahal aku tahu ada oknum pengelola yang korup dan memutar dana yang dikirim pemilik yayasan atau para penyumbang.

Tak perlu kujelaskan bagaimana hari-hari yang kulewati di tempat penampungan dengan oknum pengelola yang mata hatinya sudah dibutakan dunia. Sebagai salah satu anak yang tak pernah diadopsi hingga beranjak dewasa, bukan satu dua kali aku direndahkan, bahkan dilecehkan secara fisik maupun ferbal, walaupun tak ada yang sampai berani melakukan tindak pemerkosaan. Namun, hal itu sudah cukup untuk membuat hidupku kacau.

Hingga sampai di titik terendah kehidupan. Saat aku menerima uluran tangan dari lelaki yang menjanjikan kehidupan layak setelah pernikahan, menjanjikan tawa setelah begitu banyak derita, menawarkan cinta di tengah keputusasaan--justru berhasil menorehkan luka yang entah sampai kapan sembuhnya.

Hanya setahun, setahun setelah dia menciptakan indahkan cinta dan kehidupan setelah pernikahan, aku tak menyangka bahwa neraka dunia sedang menanti setelahnya.

Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan, meski lima tahun telah berlalu. Saat dia lepas genggaman tanganku dan melemparku ke dasar jurang terdalam. Demi rupiah yang tak seberapa dia gadaikan harga diri istrinya di sebuah pusat pelacuran. Masih lekat dalam ingatan, nyeri bercampur jijik, ketika pertama kali aku merasakan tubuh dijamah orang yang tak dikenal. Ketika tangis tak lagi terdengar, dan teriakanku dibekap oleh bantal. Yang kurasakan setelahnya adalah sebuah pelukan, pelukan dari Tante Lala.

Hari-hari yang kulewati setelahnya tak kalah kejam. Tiap langkah yang kutapaki tak ubahnya duri yang menikam. Ketika senyum yang ditunjukkan tak lagi berarti kebahagiaan, aku hanya bisa pasrah menerima takdir yang sudah digariskan.

.

.

.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mus Mulyadi
ceritanya hampir mirip ma cerita teman ku..
goodnovel comment avatar
Dewy Zainudin
kejam sekali takdir hidupmu nin..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status