Share

3. Kesempatan

"Da, Nasi Padang-nya bungkus tiga, ya!"

"Yang biasa, Mbak?"

"Iya. Satu paru, satu babat, satu lagi ayam."

"Siap."

Sembari menunggu pesanan siap, di depan Warung Nasi Padang Uda Rahmat aku duduk di bangku sebelah pria tua yang sialnya kukenali sebagai tetangga.

"Orderan sepi hari ini, Neng? Tumben pulang cepet."

Kurapatkan jaket yang membungkus pakaian terbuka di dalam sana. "Bukan urusan bapak."

Dia tersenyum miring sembari menyesap kembali rokok yang terselip di sela jarinya. "Kalau harga tetangga, bisa kena berapa kira-kira?" Mata cabul itu menatapku dari atas ke bawah.

Kupejamkan mata, lalu mengembuskan napas panjang setelahnya. Memang sulit menjelaskan pada Lalat bahwa bunga lebih berharga daripada sampah. Terkadang Lalat-lalat ini hanya peduli tentang apa yang menarik di matanya, bukan bagaimana konsekuensinya.

"Inget umur, Pak. Kasian bini yang tiap hari nunggu di rumah," jawabku sekenanya.

"Munafik. Belum aja lo diusir sama warga."

Aku tertawa pelan. Satu lagi hal yang kubenci dari para lelaki yang tak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Terkadang mereka bukan hanya menyerang fisik, tapi juga mental. Beberapa warga di daerah sama yang mengenalku sebagai seorang P$K, kerapkali melontarkan kalimat sama bila aku tak mau memenuhi keinginan mereka.

"Ini Jakarta, Pak. Di sini saya punya rumah dan nggak pernah minta makan dari belas kasihan warga. Lagian tempat ini bukan punya nenek moyang Bapak. Punya hak apa usir-usir saya?"

"Goblok. Lonte nggak be--"

"Mbak Nindi! Pesanannya udah siap." Panggilan Uda Rahmat menyelamatkanku dari mulut comberan aki-aki yang haus belasan wanita.

Aku mengambilalih kantong kresek yang disodorkan dan membayar pas sejumlah harga yang sudah kuhapal di luar kepala, lalu bergegas meninggalkan warung nasi di mana lelaki tua itu berada.

"Lama-lama lo bakal kena tulahnya, Nindi! Hidup nggak selalu adil buat para pendosa."

Aku menghentikan langkah, lalu menatap nyalang ke arahnya.

"Sejak kapan hidup pernah adil buat pada para pendosa? Bukannya hidup yang memaksa mereka buat bertahan di tengah kerasnya dunia?"

Tua bangka itu kehabisan kata. Dari balik kaca aku melihat Uda Rahmad hanya bisa menatap dengan mata sayunya. Isyarat itu seolah memerintahkanku untuk bergegas pergi dan tak perlu meladeni pria tak tahu diri ini.

***

"Ma!" Sekejap tarikan tangan mungil itu berhasil menarikku dari semua ingatan menyakitkan.

Kutatap wajah polos bocah berumur tujuh tahun yang dengan lahap menyantap ayam goreng dan nasi padang yang kubawa.

"Ya, Sayang?"

"Papa kapan pulang? Kata nenek ini tahun kelima papa nggak pulang. Nana pengen lebaran tahun ini kita bisa kumpul sama-sama."

Bagai palu godam yang menghantam, aku hanya bisa terbungkam. Pertanyaan yang kerap kali keluar dari bibir mungil itu, tak ubah membuatku kelabakan.

Tak seperti caraku memaki dunia yang kejam, mulutku terlalu kelu untuk mengungkapkan kebenaran pada bocah yang hanya tahu makan dan jajan.

Aku terlalu pengecut untuk mengatakan dengan lantang bahwa bajingan yang dia panggil Papa mungkin tak akan pernah kembali. Mungkin bajingan yang sudah melemparku ke jurang dengan segudang beban tengah menikmati kebahagiaan dengan istri barunya yang kaya.

"Nggak apa-apa, Sayang. Di sana, kan papa cari uang, buat jajan dan sekolah Nana, buat berobat nenek, buat belanja Mama. Setelah Papa kerja tambang di Kalimantan hidup kita jauh lebih baik sekarang. Kita doain aja, ya. Semoga di mana pun berada, Papa baik-baik aja." Mataku memanas ketika melihat wanita tua itu membawa segelas air dan duduk di sebelahku. Mengusap kepala cucunya penuh sayang.

Ingin rasanya meneriakan bahwa kehidupan mereka yang layak sekarang bukan berkat Si Bajingan. Tapi berkatku.

Namun, aku terlalu pengecut untuk menorehkan luka di mata wanita tua pesakitan dan bocah tujuh tahun yang selama ini sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri.

"Aku permisi ke kamar sebentar!" Akhirnya aku memilih beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamar. Menutup rapat pintu di hadapan dan menumpahkan tangis di baliknya.

Sejauh ini aku sudah berusaha kuat menjalani tiap kehidupan. Berbagai hinaan dan cercaan tak pernah membuatku gentar. Namun, saat melihat wajah-wajah tak berdosa yang menggantungkan harapan pada seorang bajingan yang telah meninggalkan. Aku tak berdaya.

Mereka adalah titik lemah yang membelengguku dalam sanggar. Merekalah yang membuatku terpaksa terus menjalani pekerjaan yang tak kuinginkan.

Kalau saja diberi kesempatan, yang kuharapkan hanyalah kebebasan.

"Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang."

"Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?"

Tiba-tiba aku teringat ucapan Roy dan Si Tampan dalam waktu yang bersamaan.

Mereka benar, kalau aku tak menentukan pilihan dari sekarang, mungkin tak akan ada lagi kesempatan datang.

Sejenak kuseka air mata yang berguguran, lalu bangkit untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Bersamaan dengan itu kurogoh mantel yang semula dikenakan dan menemukan kartu nama lelaki bernama Khalid.

Dering mengalun beberapa kali. Sampai suara yang bisa menggetarkan iman itu akhirnya terdengar.

"Halo."

"Halo, Ganteng. Ini Nindi. Cewek seksi dan bahenol yang tadi. Bisa ketemu besok pagi?"

***

"Silakan tanda tangan di sini!" Aku tertegun saat melihat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyodorkan sebuah dokumen bersampul jingga.

Sebuah kontrak kerja sama yang akan mengikat kita dalam sebuah kesepakatan tertulis.

Saat ini aku dan Khalid sudah berada di sebuah kafe untuk membicarakan tentang penawarannya tempo hari.

"Saya tak ingin ada rahasia, jadi orang tua saya maupun orang tua istri saya juga akan mengetahui tentang kesepakatan ini. Dalam setahun kita bukan hanya terikat sebagai rekan kerja, tapi juga suami-istri." Dahiku mengernyit dibuatnya.

"Jadi, akan ada pernikahan nantinya?" potongku begitu saja.

Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan.

"Hanya status. Tak akan ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami-istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham, mereka ingin status dan nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama. Meskipun keluarga istri saya sempat menentang, mereka akhirnya bersedia setelah saya beritahu bahwa kesepakatan ini murni keputusan anak mereka."

Kuhela napas lega, tapi di satu sisi terasa ada yang menghimpit dada. Setelah lima tahun, aku kembali dihadapkan dengan komitmen dan pernikahan, walaupun hanya sementara.

"Ini uang muka 500 juta, setengahnya lagi akan saya sertakan sebagai mahar dalam bentuk dolar. Sisanya setelah kontrak kita selesai." Khalid menyodorkan koper sama seperti yang waktu itu dibawanya. Berisi sejumlah uang yang dia sebutkan.

Aku mengangguk pelan. Lalu mulai meraih bolpoin untuk membubuhkan tanda tangan.

"Sebentar!" Dia tiba-tiba menginterupsi.

"Ya?" Kuangkat kepala, lalu mengernyitkan dahi menatapnya.

"Apa kamu tak akan membacanya dulu?"

"Nggak perlu, wajahmu udah cukup meyakinkan. Kalau pun ada salah satu pihak yang melanggar, aku tinggal bawa kabur anak kalian."

Pria bersetelan formal itu kembali terdiam, kemudian mengambilalih dokumen yang selesai kutandatangan.

"Saya dan istri saya tinggal di Batam, begitu pun kamu dalam setahun ke depan. Segera kemasi barang, kita berangkat besok pagi!"

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status