"Da, Nasi Padang-nya bungkus tiga, ya!"
"Yang biasa, Mbak?""Iya. Satu paru, satu babat, satu lagi ayam.""Siap."Sembari menunggu pesanan siap, di depan Warung Nasi Padang Uda Rahmat aku duduk di bangku sebelah pria tua yang sialnya kukenali sebagai tetangga."Orderan sepi hari ini, Neng? Tumben pulang cepet."Kurapatkan jaket yang membungkus pakaian terbuka di dalam sana. "Bukan urusan bapak."Dia tersenyum miring sembari menyesap kembali rokok yang terselip di sela jarinya. "Kalau harga tetangga, bisa kena berapa kira-kira?" Mata cabul itu menatapku dari atas ke bawah.Kupejamkan mata, lalu mengembuskan napas panjang setelahnya. Memang sulit menjelaskan pada Lalat bahwa bunga lebih berharga daripada sampah. Terkadang Lalat-lalat ini hanya peduli tentang apa yang menarik di matanya, bukan bagaimana konsekuensinya."Inget umur, Pak. Kasian bini yang tiap hari nunggu di rumah," jawabku sekenanya."Munafik. Belum aja lo diusir sama warga."Aku tertawa pelan. Satu lagi hal yang kubenci dari para lelaki yang tak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Terkadang mereka bukan hanya menyerang fisik, tapi juga mental. Beberapa warga di daerah sama yang mengenalku sebagai seorang P$K, kerapkali melontarkan kalimat sama bila aku tak mau memenuhi keinginan mereka."Ini Jakarta, Pak. Di sini saya punya rumah dan nggak pernah minta makan dari belas kasihan warga. Lagian tempat ini bukan punya nenek moyang Bapak. Punya hak apa usir-usir saya?""Goblok. Lonte nggak be--""Mbak Nindi! Pesanannya udah siap." Panggilan Uda Rahmat menyelamatkanku dari mulut comberan aki-aki yang haus belasan wanita.Aku mengambilalih kantong kresek yang disodorkan dan membayar pas sejumlah harga yang sudah kuhapal di luar kepala, lalu bergegas meninggalkan warung nasi di mana lelaki tua itu berada."Lama-lama lo bakal kena tulahnya, Nindi! Hidup nggak selalu adil buat para pendosa."Aku menghentikan langkah, lalu menatap nyalang ke arahnya."Sejak kapan hidup pernah adil buat pada para pendosa? Bukannya hidup yang memaksa mereka buat bertahan di tengah kerasnya dunia?"Tua bangka itu kehabisan kata. Dari balik kaca aku melihat Uda Rahmad hanya bisa menatap dengan mata sayunya. Isyarat itu seolah memerintahkanku untuk bergegas pergi dan tak perlu meladeni pria tak tahu diri ini.***"Ma!" Sekejap tarikan tangan mungil itu berhasil menarikku dari semua ingatan menyakitkan.Kutatap wajah polos bocah berumur tujuh tahun yang dengan lahap menyantap ayam goreng dan nasi padang yang kubawa."Ya, Sayang?""Papa kapan pulang? Kata nenek ini tahun kelima papa nggak pulang. Nana pengen lebaran tahun ini kita bisa kumpul sama-sama."Bagai palu godam yang menghantam, aku hanya bisa terbungkam. Pertanyaan yang kerap kali keluar dari bibir mungil itu, tak ubah membuatku kelabakan.Tak seperti caraku memaki dunia yang kejam, mulutku terlalu kelu untuk mengungkapkan kebenaran pada bocah yang hanya tahu makan dan jajan.Aku terlalu pengecut untuk mengatakan dengan lantang bahwa bajingan yang dia panggil Papa mungkin tak akan pernah kembali. Mungkin bajingan yang sudah melemparku ke jurang dengan segudang beban tengah menikmati kebahagiaan dengan istri barunya yang kaya."Nggak apa-apa, Sayang. Di sana, kan papa cari uang, buat jajan dan sekolah Nana, buat berobat nenek, buat belanja Mama. Setelah Papa kerja tambang di Kalimantan hidup kita jauh lebih baik sekarang. Kita doain aja, ya. Semoga di mana pun berada, Papa baik-baik aja." Mataku memanas ketika melihat wanita tua itu membawa segelas air dan duduk di sebelahku. Mengusap kepala cucunya penuh sayang.Ingin rasanya meneriakan bahwa kehidupan mereka yang layak sekarang bukan berkat Si Bajingan. Tapi berkatku.Namun, aku terlalu pengecut untuk menorehkan luka di mata wanita tua pesakitan dan bocah tujuh tahun yang selama ini sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri."Aku permisi ke kamar sebentar!" Akhirnya aku memilih beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamar. Menutup rapat pintu di hadapan dan menumpahkan tangis di baliknya.Sejauh ini aku sudah berusaha kuat menjalani tiap kehidupan. Berbagai hinaan dan cercaan tak pernah membuatku gentar. Namun, saat melihat wajah-wajah tak berdosa yang menggantungkan harapan pada seorang bajingan yang telah meninggalkan. Aku tak berdaya.Mereka adalah titik lemah yang membelengguku dalam sanggar. Merekalah yang membuatku terpaksa terus menjalani pekerjaan yang tak kuinginkan.Kalau saja diberi kesempatan, yang kuharapkan hanyalah kebebasan."Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang.""Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?"Tiba-tiba aku teringat ucapan Roy dan Si Tampan dalam waktu yang bersamaan.Mereka benar, kalau aku tak menentukan pilihan dari sekarang, mungkin tak akan ada lagi kesempatan datang.Sejenak kuseka air mata yang berguguran, lalu bangkit untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Bersamaan dengan itu kurogoh mantel yang semula dikenakan dan menemukan kartu nama lelaki bernama Khalid.Dering mengalun beberapa kali. Sampai suara yang bisa menggetarkan iman itu akhirnya terdengar."Halo.""Halo, Ganteng. Ini Nindi. Cewek seksi dan bahenol yang tadi. Bisa ketemu besok pagi?"***"Silakan tanda tangan di sini!" Aku tertegun saat melihat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyodorkan sebuah dokumen bersampul jingga.Sebuah kontrak kerja sama yang akan mengikat kita dalam sebuah kesepakatan tertulis.Saat ini aku dan Khalid sudah berada di sebuah kafe untuk membicarakan tentang penawarannya tempo hari."Saya tak ingin ada rahasia, jadi orang tua saya maupun orang tua istri saya juga akan mengetahui tentang kesepakatan ini. Dalam setahun kita bukan hanya terikat sebagai rekan kerja, tapi juga suami-istri." Dahiku mengernyit dibuatnya."Jadi, akan ada pernikahan nantinya?" potongku begitu saja.Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan."Hanya status. Tak akan ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami-istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham, mereka ingin status dan nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama. Meskipun keluarga istri saya sempat menentang, mereka akhirnya bersedia setelah saya beritahu bahwa kesepakatan ini murni keputusan anak mereka."Kuhela napas lega, tapi di satu sisi terasa ada yang menghimpit dada. Setelah lima tahun, aku kembali dihadapkan dengan komitmen dan pernikahan, walaupun hanya sementara."Ini uang muka 500 juta, setengahnya lagi akan saya sertakan sebagai mahar dalam bentuk dolar. Sisanya setelah kontrak kita selesai." Khalid menyodorkan koper sama seperti yang waktu itu dibawanya. Berisi sejumlah uang yang dia sebutkan.Aku mengangguk pelan. Lalu mulai meraih bolpoin untuk membubuhkan tanda tangan."Sebentar!" Dia tiba-tiba menginterupsi."Ya?" Kuangkat kepala, lalu mengernyitkan dahi menatapnya."Apa kamu tak akan membacanya dulu?""Nggak perlu, wajahmu udah cukup meyakinkan. Kalau pun ada salah satu pihak yang melanggar, aku tinggal bawa kabur anak kalian."Pria bersetelan formal itu kembali terdiam, kemudian mengambilalih dokumen yang selesai kutandatangan."Saya dan istri saya tinggal di Batam, begitu pun kamu dalam setahun ke depan. Segera kemasi barang, kita berangkat besok pagi!"...Bersambung.Setelah penandatanganan kontrak selesai. Secara resmi aku dan Khalid terikat kesepakatan. Sembari mengemasi barang, tak henti aku terus memikirkan apa yang akan terjadi di depan. Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Apakah Nana dan Bu Nia akan baik-baik saja setelah kutinggalkan? Apakah jalan yang kutempuh tak lagi menempatkanku di ambang tebing jurang? Atau aku akan benar-benar keluar dari lingkaran setan seperti yang pria itu katakan?"Nindi!" Panggilan itu menyentak lamunanku dari segala pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Di ambang pintu kamar kulihat wanita paruh baya itu sudah berdiri geming menopang tubuh ringkihnya. Dari hari ke hari kuperhatikan dia semakin kurus kering, terjadi pembengkakkan pada pergelangan kaki dan area matanya yang cekung. Hal tersebut terjadi akibat penyakit gagal ginjal yang sudah menderanya selama lebih dari tiga tahun."Ya, Bu?""Kenapa kamu harus kerja jauh ke luar pulau? Apa nafkah yang anak ibu kasih tiap bulan masih kurang?" Dia bera
Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak."Aku akan membawamu menemui istriku!"Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang be
Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?Tok! Tok! Tok!"Mbak, Mbak Nindi!"Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari."Bent
Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya."Dok!" Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku."Ya?""Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku."Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ad
Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua ke
"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
Tiba di apartemen, kami langsung disambut Neli yang membantu membawakan barang bawaan Khalid. Dia mengisi kamar di sebelah dan langsung meminta izin untuk beristirahat, karena penat menyetir sendiri seharian tadi.Setelah percakapan dalam perjalanan tadi aku sedikit mengerti dengan sifat Khalid. Ternyata dia bukan tipe orang yang dingin dan tertutup. Namun, cenderung terbuka dan apa adanya. Lelaki yang seperti ini biasanya memang terkenal jinak-jinak Merpati. Terlihat mudah didapatkan, tapi nyatanya sulit ditaklukan."Dari mana aja lu dari tadi susah dihubungin?"Aku mengusap dada saat melihat wajah Roy memenuhi layar ponsel sesaat setelah panggilan video call-nya kujawab."Periksa dedek, ketemu kakak madu, terus debat sama nenek lampir," sahutku apa adanya."Dih, gaya lu, Nindi." Roy mencibir dengan bibir dibuat kriting. "Jadi, sekarang perut lu udah ngisi?""Dari dulu juga udah ngisi kali. Lambung usus, ginjal, tai!""Astaga. Maksud gue zigotnya, Cewek Sinting!""Oh, bilang, dong da
"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.Neli memelototiku."Ya ampun, Mbak Nindi.""Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini.""Tapi, saya udah punya laki, Mbak.""Eh, iyakah? Apa seganteng dia?""Ng, nggak juga, sih.""Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?""Mendua, Mbak.""Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."Prang!Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam "Saya bisa denger, Nindi!""Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--""Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah