Setelah penandatanganan kontrak selesai. Secara resmi aku dan Khalid terikat kesepakatan. Sembari mengemasi barang, tak henti aku terus memikirkan apa yang akan terjadi di depan. Apakah keputusan yang kuambil sudah benar? Apakah Nana dan Bu Nia akan baik-baik saja setelah kutinggalkan? Apakah jalan yang kutempuh tak lagi menempatkanku di ambang tebing jurang? Atau aku akan benar-benar keluar dari lingkaran setan seperti yang pria itu katakan?
"Nindi!" Panggilan itu menyentak lamunanku dari segala pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Di ambang pintu kamar kulihat wanita paruh baya itu sudah berdiri geming menopang tubuh ringkihnya.Dari hari ke hari kuperhatikan dia semakin kurus kering, terjadi pembengkakkan pada pergelangan kaki dan area matanya yang cekung. Hal tersebut terjadi akibat penyakit gagal ginjal yang sudah menderanya selama lebih dari tiga tahun."Ya, Bu?""Kenapa kamu harus kerja jauh ke luar pulau? Apa nafkah yang anak ibu kasih tiap bulan masih kurang?" Dia beranjak dan duduk di tepi ranjang, sementara aku mematung di bawah lantai mencengkeram sehelai pakaian yang hendak dimasukan ke dalam koper.Memang tak ada yang salah dengan pertanyaan yang Bu Nia lontarkan, tetapi sesak yang ditimbulkan semakin terasa menekan. Ini adalah konsekuensi yang memang harus diterima bila menyembunyikan kebenaran dengan kebohongan, kebohongan yang dimulai harus ditutupi dengan kebohongan-kebohangan lain yang akhirnya berakibat fatal."Nindi nggak sanggup, Bu." Aku masih terjaga dengan posisi memunggungi. "Pernikahan Nindi dan anak ibu ternyata emang udah nggak bisa lagi dipertahankan. Istri manapun ngga akan ada yang tahan kalau lima tahun ditinggal tanpa kepastian!"Keheningan mencekam membuatku sadar bahwa Bu Nia sedang berpikir keras sekarang."Setidaknya Indra masih bertanggung-jawab, Nindi! Buktinya dia masih kirim kita uang tiap bul--""Tutup mulut Ibu kalau nggak tahu apa pun!" Sontak aku berbalik dan menatapnya tajam.Bu Nia tertegun dalam keterkejutannya. Aku yakin responnya akan lebih ekstreme kalau kukatakan bahwa anak yang dia banggakan sudah menggugat cerai di hari yang sama saat dia melemparku ke neraka dunia, hingga terpaksa memberi kehidupan layak untuk dia dan cucunya dari tiap tetes cairan hina yang keluar dari tubuh para manusia penzina."Apa maksud kamu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya setelah sekian lama."Semuanya udah berakhir, Bu. Saya bukan manusia suci apalagi wanita berhati bidadari. Saya cuma mau bebas dari segala ikatan yang selama ini mencekik leher saya." Bisa kulihat pupil mata Bu Nia bergetar."Kamu egois, Nindi!"Aku tersenyum miring sembari mengangkat dua koper yang sudah disiapkan."Ya, saya memang egois."Aku berlalu melewatinya yang membatu, sampai kusadari ada tubuh mungil yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu.Terkadang kita memang perlu mengukir kecewa di mata manusia lainnya, karena dengan begitu mereka tak lagi menggantungkan harapan pada sesama makhluk Tuhan yang tentunya tak sempurna.***"Pokoknya kabarin gue begitu sampe!" tuntut Roy, begitu kami mengurai pelukan. Sejak berangkat ke bandara tak henti dia menangis dan memelukku sesekali."Oke. Lebay banget, sih lu. Perasaan kita masih ada di Indonesia, cuma nyebrang pulau bukan nyebrang galaxy!""Kampret!" Roy menoyor kepalaku. "Momen begini, lu masih aja bisa becanda.""Hidup udah terlalu serius, jadi dibikin asik aja." Kutinju pelan bahu kekarnya."Tuh, Mi. Liat Si Nindi. Nggak ada sedih-sedihnya mau pisah sama kita." Roy merajuk pada Tante Lala yang ada di sampingnya."Dih, ngadu.""Udahlah, mami tahu betul gimana tabiat Nindi, Dari semua yang mami kenal cuma anak ini yang paling pinter nyembunyiin perasaan." Aku tersenyum kecil, lalu kembali memeluknya. "Udah, ah, kelamaan. Nggak enak bikin Si Ganteng nunggu." Tante Lala merelai pelukan. Kuikuti arah pandangnya yang menatap Khalid di belakang. Terlihat beberapa kali pria itu memeriksa arloji."Roy, Tan! Titip Bu Nia sama Nana, ya!"Tante Lala mengangguk, sementara Roy mengacungkan buku tabunganku yang dititipkan padanya. Semua uang yang Khalid berikan beserta tabungan kupunya kuserahkan untuk biaya operasi Bu Nia dan keperluan Nana selama setahun ke depan."Sip. Mereka aman di tangan yang tepat."***Menempuh kurang lebih satu jam empat puluh menit perjalanan dari Jakarta ke Batam, aku dan Khalid tiba di salah satu Kota Industri tersebut tepat pukul sebelas siang. Tak perlu menunggu, kami sudah dijemput oleh seorang sopir menggunakan mobil mewah. Sembari menyusuri kota yang katanya lebih maju dari ibukota Kepulauan Riau itu sendiri, Khalid mulai menjelaskan tentang tujuan kami.Tujuan pertama adalah rumah sakit yang berdiri di pusat Kota Batam, rumah sakit bertarap International yang sudah dilengkapi dengan teknologi terkini. Di mana proses surrogasi mother akan dilakukan.Khalid membawaku menemui seorang dokter muda yang umurnya bisa kutaksir pertengahan tiga puluhan. Berdarah tiongkok. Dokter Antoni namanya.Dokter Antoni yang biasa praktik di Singapura sengaja didatangkan ke Indonesia atas permintaan keluarga Khalid yang rela merogoh kocek milyaran rupiah untuk mewujudkan satu-satunya harapan di keluarga mereka.Dia spesialis di bidangnya dan sudah mendapatkan lisensi international untuk melakukan prosedur ini. Kata Khalid, mereka sudah pernah bekerja sama untuk melakukan proses bayi tabung pada istrinya di Singapura beberapa tahun lalu. Tapi, usaha itu tak pernah berhasil mengingat kondisi sang istri yang tak memungkinkan untuk melakukan tindakan tersebut."Silakan naik ke sini, Bu! Lepas celana dalamnya, lebarkan kaki, dan tumpukkan di tempat penyangga."Aku mengernyitkan dahi saat dokter tersebut menuntunku untuk naik ke brankar khusus."Harus lepas CD juga?""Memang sudah begitu prosedurnya, Bu. Kami harus memeriksa kondisi rahim secara menyeluruh sebelum melakukan tindakan selanjutnya." Dia sangat ramah menanggapi. Aku bahkan dibuat heran melihatnya. Untuk orang yang lama di luar negeri, tapi sangat pasih berbahasa Indonesia."Sudah turuti saja," sahut Khalid dengan entengnya."Turuti, turuti, Palamu! Walaupun hobi ngangkang, tapi sedikit banyaknya aku juga masih punya rasa malu."Dokter Antoni terkekeh geli. "Tidak apa-apa, Bu. Ini hal biasa buat saya. Rileks saja!"Akhirnya aku merebahkan diri. Gugup sendiri, saat Dokter Antoni mulai memeriksa. Entah di mana harus kusimpan muka beserta semua rasa malunya saat dia mengobok-obok dalamanku."Aw, apa itu, Dok?" Refleks aku terlonjak."Cuma alat, Bu!" Dia mengacungkan alat yang menyerupai catokan roll rambut tersebut."Oh, tolong pelan-pelan, dong, Dok. Jangan asal sodok!""Nindi!" Khalid yang sejak tadi duduk jauh di kursi tunggu akhirnya angkat suara."Apa? Kalau nggak pemanasan dulu, sakit tahu!""Astagfirullah, Nindi!"Sementara itu Dokter Antoni hanya terkekeh geli."Maaf, ya, Bu."***"Hasil pemeriksaan ada IUD tembaga yang tertaham kurang lebih 4-5 lima tahun, saya sudah lepas tadi. Selebihnya kondisi rahim dan jalan lahir sangat sehat dan terawat.""Oh, jelas. Tiap bulan perawatan.""Nindi ...." Khalid menegurku lagi."Apesih?""Jaga ucapanmu!""Iya, iya. Maaf.""Kita tunggu sebulan setelah masa ovulasi, setelah itu kita bisa langsung mulai pembuahan dan proses pemindahan pada rahim ibu pengganti."...Bersambung.Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak."Aku akan membawamu menemui istriku!"Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang be
Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?Tok! Tok! Tok!"Mbak, Mbak Nindi!"Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari."Bent
Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya."Dok!" Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku."Ya?""Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku."Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ad
Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua ke
"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
Tiba di apartemen, kami langsung disambut Neli yang membantu membawakan barang bawaan Khalid. Dia mengisi kamar di sebelah dan langsung meminta izin untuk beristirahat, karena penat menyetir sendiri seharian tadi.Setelah percakapan dalam perjalanan tadi aku sedikit mengerti dengan sifat Khalid. Ternyata dia bukan tipe orang yang dingin dan tertutup. Namun, cenderung terbuka dan apa adanya. Lelaki yang seperti ini biasanya memang terkenal jinak-jinak Merpati. Terlihat mudah didapatkan, tapi nyatanya sulit ditaklukan."Dari mana aja lu dari tadi susah dihubungin?"Aku mengusap dada saat melihat wajah Roy memenuhi layar ponsel sesaat setelah panggilan video call-nya kujawab."Periksa dedek, ketemu kakak madu, terus debat sama nenek lampir," sahutku apa adanya."Dih, gaya lu, Nindi." Roy mencibir dengan bibir dibuat kriting. "Jadi, sekarang perut lu udah ngisi?""Dari dulu juga udah ngisi kali. Lambung usus, ginjal, tai!""Astaga. Maksud gue zigotnya, Cewek Sinting!""Oh, bilang, dong da
"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.Neli memelototiku."Ya ampun, Mbak Nindi.""Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini.""Tapi, saya udah punya laki, Mbak.""Eh, iyakah? Apa seganteng dia?""Ng, nggak juga, sih.""Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?""Mendua, Mbak.""Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."Prang!Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam "Saya bisa denger, Nindi!""Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--""Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah
Besoknya, untuk pertama kali sejak sebulan lebih tinggal di sini, aku bangun kesiangan karena makan kekenyangan semalam. Kusibak gorden golden rose di hadapan yang menampilkan view pusat Kota Batam dengan cahaya Matahari yang sudah meninggi.Setelah meregangkan otot yang tegang dan mencuci muka serta menggosok gigi. Baru kusadari ada roti sandwich dan susu yang sudah tersuguh di atas nakas samping tempat tidur.Tanpa basa-basi, aku langsung melahapnya saat itu juga."Amis." Dahiku mengernyit saat menyadari susu yang dikonsumsi tak seperti yang biasa dinikmati."Itu susu ibu hamil, Mbak. Makanya agak amis," sahut suara di belakang yang kukenali sebagai Neli.Aku menoleh, lalu kembali mengamati susu dalam gelas tinggi yang tersisa setengahnya."Pantesan. Tahu gitu nggak aku minum.""Abisin! Soalnya Pak Khalid sendiri yang bikin tadi.""Khalid?""Hooh," jawab Neli kemudian mulai beranjak untuk membereskan kamarku."Sandwichnya juga?" Aku bertanya lagi."Bukan cuma itu, bahkan dia yang an