"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
Tiba di apartemen, kami langsung disambut Neli yang membantu membawakan barang bawaan Khalid. Dia mengisi kamar di sebelah dan langsung meminta izin untuk beristirahat, karena penat menyetir sendiri seharian tadi.Setelah percakapan dalam perjalanan tadi aku sedikit mengerti dengan sifat Khalid. Ternyata dia bukan tipe orang yang dingin dan tertutup. Namun, cenderung terbuka dan apa adanya. Lelaki yang seperti ini biasanya memang terkenal jinak-jinak Merpati. Terlihat mudah didapatkan, tapi nyatanya sulit ditaklukan."Dari mana aja lu dari tadi susah dihubungin?"Aku mengusap dada saat melihat wajah Roy memenuhi layar ponsel sesaat setelah panggilan video call-nya kujawab."Periksa dedek, ketemu kakak madu, terus debat sama nenek lampir," sahutku apa adanya."Dih, gaya lu, Nindi." Roy mencibir dengan bibir dibuat kriting. "Jadi, sekarang perut lu udah ngisi?""Dari dulu juga udah ngisi kali. Lambung usus, ginjal, tai!""Astaga. Maksud gue zigotnya, Cewek Sinting!""Oh, bilang, dong da
"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.Neli memelototiku."Ya ampun, Mbak Nindi.""Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini.""Tapi, saya udah punya laki, Mbak.""Eh, iyakah? Apa seganteng dia?""Ng, nggak juga, sih.""Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?""Mendua, Mbak.""Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."Prang!Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam "Saya bisa denger, Nindi!""Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--""Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah
Besoknya, untuk pertama kali sejak sebulan lebih tinggal di sini, aku bangun kesiangan karena makan kekenyangan semalam. Kusibak gorden golden rose di hadapan yang menampilkan view pusat Kota Batam dengan cahaya Matahari yang sudah meninggi.Setelah meregangkan otot yang tegang dan mencuci muka serta menggosok gigi. Baru kusadari ada roti sandwich dan susu yang sudah tersuguh di atas nakas samping tempat tidur.Tanpa basa-basi, aku langsung melahapnya saat itu juga."Amis." Dahiku mengernyit saat menyadari susu yang dikonsumsi tak seperti yang biasa dinikmati."Itu susu ibu hamil, Mbak. Makanya agak amis," sahut suara di belakang yang kukenali sebagai Neli.Aku menoleh, lalu kembali mengamati susu dalam gelas tinggi yang tersisa setengahnya."Pantesan. Tahu gitu nggak aku minum.""Abisin! Soalnya Pak Khalid sendiri yang bikin tadi.""Khalid?""Hooh," jawab Neli kemudian mulai beranjak untuk membereskan kamarku."Sandwichnya juga?" Aku bertanya lagi."Bukan cuma itu, bahkan dia yang an
"Boleh saya masuk?" Pertanyaan itu menyentak lamunanku, sesaat setelah membuka pintu. Berbagai pertanyaan berkecamuk menjadi satu memikirkan alasan yang menyebabkan orang penting sepertinya tiba-tiba datang menunda penerbangan."Khalid udah berangkat kerja, Pak," cetusku begitu saja, karena merasa dia datang untuk menemui menantunya."Saya datang bukan untuk menemui Khalid, tapi menemuimu."Deg!Oke, pernyataannya semakin membingungkan. Dan membuatku harus memutar otak memikirkan. Kucoba mengingat-ingat pertemuan kami akhir-akhir ini. Terhitung tiga kali, bahkan tak ada percakapan berarti yang terjadi. Dia lebih banyak menyimak dan memerhatikan, tak seperti istrinya yang seringkali menunjukkan sorot mata tajam. Pak Bayu cenderung hangat menatapku.Sedikit ketakutan bersarang, kemungkinan paling gila terpikirkan. Bagaimana bila tanpa sadar kami pernah bertukar keringat di atas ranjang?Aku menggeleng pelan, lalu menekan pelipis mencoba menepis khayalan. Tidak mungkin. Aku selalu ingat
Mengabaikan Neli dengan segala segala kecamuk perasaannya. Pandanganku terarah pada bungkus paket yang tadi."Nel, ini paket biar saya yang anter ajalah. Takutnya yang punya nungguin. Kamu lanjutin pekerjaan aja. Saya mau sekalian kenalan. Khalid minta buat sosialisasi soalnya saya bakal tinggal setahun di sini. Masa nggak kenal tetangga sama sekali.""Oh, ya udah kalau gitu. Unitnya nomber 234, ya, Mbak. Persis di sebelah kanan.""Oke."Setelah mendapatkan keterangan dari Neli, lekas aku beranjak dari sofa dan menuju tempat yang dituju.Unit 234. Nomor yang tertera di pintu. Lekas aku menekan bel dan menunggu."Cari siapa, ya?" Pintu terbuka. Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur pertengahan empat puluhan keluar dari dalam unit. Dia mengenakan long kardi dengan celana piama putih. Rambutnya tampak diikat rapi."Bu Melani?" tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket yang nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang dibawa."Oh,
Kata orang, figur seorang Ibu selalu digambarkan dengan sosok yang penuh kasih sayang, kedamaian, pengorbanan dan pengabdian yang tiada pamrih. Peran ibu sangat besar bagi tumbuh-kembang anak, dan dalam mewarnai corak sebuah generasi. Namun, bagiku. Dia adalah monster yang pertama kali mengajarkanku cara membenci dan merutuki hidup yang dijalani. Kasih sayang, kedamaian, dan pengabdian tiada pamrih itu tak pernah sekali pun kurasakan selama dua puluh lima tahun ini. Dia yang pertama kali menorehkan luka, dia yang petama kali mengenalkan kecewa, berkawan dengan derita, bahkan berpayungkan awan duka. Warna kelabu sudah dia lukis dalam hidupku, bahkan sebelum aku tahu ada pelangi yang bisa datang setelah hujan. Ada bintang yang bersinar menghiasi malam yang kelam. Ada dunia luas yang menungguku keluar dari lingkungan yang kejam.Aku tak pernah mau tahu sosok seperti apa wanita yang telah membuangku. Aku tak pernah peduli dari pria macam apa benihku berasal. Sejak tumbuh besar di dalam p
Tak terasa hari yang dinanti tiba, dua hari sebelum puasa Neli pulang ke kampung keluarganya di Bekasi. Dia pamit dengan begitu semringah, membawa banyak sekali oleh-oleh yang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari."Inget pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti ha--hmmptt." Kujepit mulut Neli dengan jari."Iya, iya, ngerti. Sana pergi!"Neli menepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti. "Jadi, ngusir, nih? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak." "Ya, hati-hati," sahut Khalid sembari membantu memasukkan tas Neli ke dalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Neli. Setelahnya kutatap Khalid dengan senyum penuh arti."Berhenti menatap saya dengan ekspresi itu, Nindi!" Khalid tampak risih, lalu menjauh."Jadi, kencan ke mana kita hari ini?" Aku mengerlingkan mata, sesekali mencolek dagunya."Supermarket. Persediaan bahan pokok abis. Nggak ada Neli, jadi kita harus beli sendiri.""Dih, nggak asik."***"Truk aja gandengan masa kita enggak?"Khalid yan