Mengabaikan Neli dengan segala segala kecamuk perasaannya. Pandanganku terarah pada bungkus paket yang tadi."Nel, ini paket biar saya yang anter ajalah. Takutnya yang punya nungguin. Kamu lanjutin pekerjaan aja. Saya mau sekalian kenalan. Khalid minta buat sosialisasi soalnya saya bakal tinggal setahun di sini. Masa nggak kenal tetangga sama sekali.""Oh, ya udah kalau gitu. Unitnya nomber 234, ya, Mbak. Persis di sebelah kanan.""Oke."Setelah mendapatkan keterangan dari Neli, lekas aku beranjak dari sofa dan menuju tempat yang dituju.Unit 234. Nomor yang tertera di pintu. Lekas aku menekan bel dan menunggu."Cari siapa, ya?" Pintu terbuka. Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur pertengahan empat puluhan keluar dari dalam unit. Dia mengenakan long kardi dengan celana piama putih. Rambutnya tampak diikat rapi."Bu Melani?" tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket yang nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang dibawa."Oh,
Kata orang, figur seorang Ibu selalu digambarkan dengan sosok yang penuh kasih sayang, kedamaian, pengorbanan dan pengabdian yang tiada pamrih. Peran ibu sangat besar bagi tumbuh-kembang anak, dan dalam mewarnai corak sebuah generasi. Namun, bagiku. Dia adalah monster yang pertama kali mengajarkanku cara membenci dan merutuki hidup yang dijalani. Kasih sayang, kedamaian, dan pengabdian tiada pamrih itu tak pernah sekali pun kurasakan selama dua puluh lima tahun ini. Dia yang pertama kali menorehkan luka, dia yang petama kali mengenalkan kecewa, berkawan dengan derita, bahkan berpayungkan awan duka. Warna kelabu sudah dia lukis dalam hidupku, bahkan sebelum aku tahu ada pelangi yang bisa datang setelah hujan. Ada bintang yang bersinar menghiasi malam yang kelam. Ada dunia luas yang menungguku keluar dari lingkungan yang kejam.Aku tak pernah mau tahu sosok seperti apa wanita yang telah membuangku. Aku tak pernah peduli dari pria macam apa benihku berasal. Sejak tumbuh besar di dalam p
Tak terasa hari yang dinanti tiba, dua hari sebelum puasa Neli pulang ke kampung keluarganya di Bekasi. Dia pamit dengan begitu semringah, membawa banyak sekali oleh-oleh yang sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari."Inget pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti ha--hmmptt." Kujepit mulut Neli dengan jari."Iya, iya, ngerti. Sana pergi!"Neli menepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti. "Jadi, ngusir, nih? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak." "Ya, hati-hati," sahut Khalid sembari membantu memasukkan tas Neli ke dalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Neli. Setelahnya kutatap Khalid dengan senyum penuh arti."Berhenti menatap saya dengan ekspresi itu, Nindi!" Khalid tampak risih, lalu menjauh."Jadi, kencan ke mana kita hari ini?" Aku mengerlingkan mata, sesekali mencolek dagunya."Supermarket. Persediaan bahan pokok abis. Nggak ada Neli, jadi kita harus beli sendiri.""Dih, nggak asik."***"Truk aja gandengan masa kita enggak?"Khalid yan
Seperti yang dilakukannya tempo hari. Diam adalah cara paling efektif untuk menghindari perdebatan, khususnya hal penting yang kutahu pasti tak ingin Khalid bahas sama sekali.Aku yakin dia mendengar ucapanku saat itu, aku juga yakin dia tahu sesuatu, tapi belum punya cukup waktu untuk membaginya denganku.Aku hanya berusaha tak peduli, walaupun dalam hati berkali meneriaki bahwa semua ini mulai terasa memuakkan bagiku."Itu Paprika, Nindi!" Khalid menahan tanganku saat hendak meletakkan sayur yang mirip apel itu di rak buah dalam kulkas.Kuputar bola mata, lalu menepis tangannya. Agak menjengkelkan melihat sikapnya yang mudah berubah padahal sepanjang perjalanan tadi dia mendiamkanku.Kugeser tubuh menjauh. Menjaga jarak saat kami sama-sama membereskan belanjaan tadi ke dalam bufet dan lemari."Sejauh ini apa ada keluhan kehamilan yang terjadi?""Nggak!" sentakku dengan nada tinggi. "Kalau pun ada, apa kamu bisa turuti?" Aku balik bertanya dengan sinis.Khalid menyandarkan tubuhnya d
"Not bad," cetus lelaki itu, lalu mulai mengambil alasnya sendiri.Aku mendengkus keras, lalu menengadah.Terkadang lelaki memang perlu dipancing agar dia bisa mengerti.Tak lama, suara bel terdengar menginterupsi kami. Khalid hendak beranjak, tapi kutahan."Biar aku aja!" Dia kembali duduk dan lanjut makan, sementara aku berjalan menuju pintu."Bu Melani?" gumamku saat melihat dari layar perempuan itu berdiri menenteng mangkuk di tangannya.Lekas aku membuka pintu."Ada yang bisa dibantu, Bu?"Bu Melani menggeleng pelan, lalu tersenyum kecil."Nggak, kok, Mbak. Saya cuma mau anterin ini. Kebetulan buat sahur tadi bikin Soto Betawi." Dia menyodorkan mangkuk dengan dua pegangan itu ke hadapanku."Aduh, saya jadi enak, Bu. Makasih banyak, ya. Kebetulan kesiangan tadi, jadi nggak sempet masak macem-macem." "Iya. Sama-sama. Semoga suka, ya.""Eh, ngomong-ngomong Ibu udah sahur?" "Udah, baru aja tadi.""Sendiri?" Perempuan itu mengangguk."Suami saya baru pulang H-7 nanti.""Ya, ampun.
"Masa kamu nggak tahu cilung sama es cekek, sih?" sungutku tak habis pikir."Cilung itu makanan?" Dia balik bertanya."Yaiyalah. Jajanan yang sering ada di depan SD. Masa belum pernah coba?" Aku mulai sewot."Di sekolah saya dulu nggak ada itu."Aku menepuk dahi. Pantas saja hal ini terjadi, dia terlahir sultan, jadi tak mungkin merasakan sekolah umum negeri."Argghh ...." Aku menggeram, kesal sendiri. Kuempaskan tubuh ke sandaran kursi, lalu melipat tangan dan tak mengatakan apa pun lagi.Dari sudut mata kulihat Khalid mengusap wajah berkali-kali. Wajar, puasa pertama, tengah hari, dan aku meminta keinginan yang aneh-aneh lagi."Tapi kita bisa cari." Menanggapi responsku yang begini, dia tiba-tiba membujuk. "Kamu cukup kasih tahu saya gimana bentuknya Cilung sama Es Cekek."Aku tersenyum lebar, lalu mulai menjelaskan tak sabar."Cilung itu aci digulung, terus dibubuhi taburan bawang halus yang gurih. Sementara es cekek itu es di Mamang-Mamang gerobakan yang diplastikin terus dikasih
"Mau?" Khalid menawariku saat kutemani dia makan menu sop iga bakar di ruang tamu.Aku menggeleng pelan. "Nggak, udah kenyang.""Maaf kalau tadi cilungnya nggak ketemu. Lain kali kita cari lagi, atau kalau perlu bikin." Dia masih terlihat bersalah, padahal aku tahu seberapa keras usahanya seharian ini."Nggak apa-apa, lagian aku cuma pengen keliling sambil jajan aja tadi.""Yakin?"Aku mengangguk pelan. "Iya, palingan nanti anakmu ileran.""Nindi ....""Bercanda, Ganteng."Khalid memejamkan mata sesaat, dan mulai makan tanpa suara. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi. Panggilan video dari Roy tampak di layar."Apa?" sungutku begitu wajah lelaki berambut pirang itu memenuhi layar."Angkat telepon udah kayak Kang Jagal. Halo-halo dulu, kek. Atau ucap salam.""Lo tahu siapa gue, Roy!""Iya, tahu. Lu, kan cewek sinting," sahut Roy yang membuatku sontak tertawa nyaring."Lagi di mana, lo?" tanyaku setelahnya."Tebak, gue di mana?"Eh, Si Kampret malah minta main tebak-tebakkan."Pasti d
Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku."Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat n