Share

BENIH 2 MILIAR
BENIH 2 MILIAR
Author: Dwrite

1. Penawaran

"Sejam berapa, Neng?"

"Enam puluh menit."

"Maksud saya tarif kamu!"

"Oh, mohon maaf, Pak. Mungkin Anda nggak akan mampu."

"Cih, lonte aja jual mahal."

"Kalau mau yang jual murah Bapak pake aja bool ayam, seekor cuma dua puluh lima rebuan di pasar."

"Sialan!"

Prang!

Suara makian diiringi gelas yang pecah di hadapan, menandakan emosi pria tua dengan perut yang maju ke depan itu sudah meluap ke level setan.

"Kalau gitu bersihin sepatu saya! Kalau kamu nggak jual diri, berarti ngebabu di sini."

"Emang iya, tapi saya bukan ngebabu buat situ." Kuinjak kaki lelaki tak diri itu, dan berlalu pergi.

Ternyata benar apa yang dikatakan salah satu tokoh di Novel karya Khalid Hosseini yang berjudul A Thousand Splendid Suns, "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke arah Utara, seperti itu pula telunjuk lelaki yang terus menunjuk wanita."

Hanya karena terlahir sebagai seorang pemimpin, mereka seolah bisa mengendalikan segalanya.

Ini memang bukan pertama kalinya mereka terang-terangan merendahkanku. Aku selalu berusaha terbiasa dengan cibiran semacam itu. Apa yang mereka katakan benar, walau tak sepenuhnya demikian. Aku bekerja di sebuah rumah bordil yang dikelola Tante Lala. Sejak saat itu pandangan orang tak lagi sama, karena mereka berpikir aku menjajakan diri pada siapa saja. Nyatanya aku sedikit berbeda dari 'anak-anak' Tante Lala yang lainnya. Aku dipercaya sebagai tangan kanannya, tak pernah dipaksa untuk melayani para bandot tua berkantong tebal yang biasa menunjuk wanita yang disuka tak ubahnya barang yang dipanjang di etalase toko.

Aku berbeda karena bisa menerima dan memilih hanya lelaki yang rela membayar mahal dan memperlakukanku selayaknya manusia. Karena tak jarang PSK diperlakukan bak binatang hina yang bisa dianiaya bahkan diludahi seenaknya. Hal yang membuatku berbeda karena menurut kebanyakan orang penampilanku bak magnet yang mampu menjerat mangsa seperti ikan yang terjebak dalam kail jerat. Sekali dapat, langsung sekarat. Bahkan bukan satu dua kali pelanggan yang pernah kulayani, kembali lagi. Tak peduli berapa banyak kocek yang mereka keluarkan. Namun, prinsipku tetap sama, pantang menerima orang yang sama untuk yang kedua kalinya. Karena bila mereka merasa mampu membeliku, kelak mereka juga bisa memperbudakku. Itulah alasan kenapa di sini aku lebih banyak waktu menjajakan botol minuman, daripada menjajakan diri.

Aku tak tahu pasti bagaimana awalnya orang-orang melabeliku seperti itu. Yang pasti semua tak luput dari andil Tante Lala. Dia yang sudah menganggapku bak keluarga sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah bordil ini, hingga menjadikanku PSK kelas kakap. Bukan sebuah pencapaian sebenarnya, tapi aku cukup bangga, karena setidaknya harga diriku bernilai, daripada wanita di luar sana yang rela ditiduri hanya dengan omong kosong cinta.

"Nin!" Suara Tante Lala menarikku dari lamunan. Di atas kursi kebesarannya kulihat wanita bertubuh tambun dan berkulit putih itu tengah menghitung uang yang sudah dipastikan puluhan sampai ratusan juta jumlahnya, bersama pria jangkung berambut pirang.

"Ya, Tan?" Aku duduk di antara mereka.

"Kata Roy, hampir seminggu ini ada cowok yang selalu merhatiin kamu," ujar Tante Lala membuka percakapan.

Aku mengerutkan kening.

"Kalau dia punya duit, seharusnya tinggal bilang. Ngapain cuma merhatiin dari kejauhan?" tanyaku sembari melipat tangan.

"Mungkin dia naksir, tapi nggak kesampean!" sahut Roy sembari terkekeh geli. "Hampir tiap hari selama seminggu ini dia duduk di tempat yang sama, merhatiin lo yang bolak-balik anter minuman. Coba kasih diskon, deh, Beb. Bukannya hampir dua minggu lo nggak ada pelanggan? Turunin dikit budget-nya, lah. Sayang, loh orangnya cakep nggak ketulungan."

Aku memutar bola mata, lalu menoyor kepalanya. "Bodo amat. Kalau pun dalam sebulan gue nggak punya pelanggan. Mending gue cuciin sepre bekas pipis enak para bangkotan, daripada harus nurunin standart."

"Astaga Si Nindi, makin ke sini, makin ke sana dia."

Aku hanya bisa mengedikkan bahu menanggapi ucapan Roy, sementara Tante Lala hanya bisa tertegun menatapku dalam senyum getirnya. Karena dia tahu pasti apa alasanku memegang teguh prinsip itu.

***

Pusat kota dengan segala gemerlapnya tak selalu tampak sama di mata tiap orang yang melihatnya. Sisi kelam kehidupan di Jakarta jelas jauh lebih keras daripada yang orang-orang di luar sana kira.

Aku sudah merasakannya. Sebelum setangguh ini aku pernah menjadi orang yang sangat lemah. Di sekolah, di rumah, di kantor polisi, bahkan di bawah selimutku sendiri, aku merasakan ketakutan yang mencekam.

Sampai akhirnya aku menemukan satu-satu tempat berlindung. Seseorang yang kupikir rumah rupanya lebih menyeramkan dari penjara. Dia cinta dan patah hati pertama yang membuatku tak lagi percaya dengan omong kosong cinta dan merasa telah dipecundangi dunia yang orang lain puja.

Dari sanalah awal aku mulai membenci lelaki, tapi sialnya hidupku justru dikelilingi banyak lelaki. Ketika dunia yang orang anggap hina, justru kujadikan tempat pelipur lara. Seperti Ngengat yang melompat ke dalam api padahal dia tahu akan mati. Begitu juga sisi gelap ibukota yang selalu menarikku kembali, meski sudah berkian kali kucoba untuk berhenti.

Tak ada yang sepenuhnya menerima. Aku, mereka, maupun orang-orang di luar sana. Kita bisa karena terbiasa.

"Apa lo bakal terus-terusan begini?" Pertanyaan itu menarikku dari lamunan. Di sampingku kini tengah duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar dengan tato melingkar di pergelangan tangan. Akan tetapi penampilannya gemulai. Kaus dan celana jins yang melekat di tubuh besar itu tetap tak bisa menyembunyikan jadi dirinya yang sebenarnya.

"Apa lu mau terus-terusan begitu?" Aku membalikan pertanyaan sembari menatapnya dari atas ke bawah.

Roy menghela napas, lalu membuang muka. Dia tenggak habis bir yang tersisa di gelas kecil dalam genggaman tangannya.

"Mungkin bisa kalau gue kawin sama lo."

Aku tertawa mendengar penuturan ngawurnya.

"Nggak usah ngimpi, selera gue tinggi. Jangankan yang setengah jadi, yang bener-bener lakik aja gue jijik."

"Cewek sarap!"

"Bodo amat."

"Lo kalau ngomong bisa nggak pake gula dikit?"

"Kenapa emang?"

"Kepedesan."

Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya. Memang cuma Roy yang bisa menghiburku di saat-saat paling sulit sekali pun.

"Kalau lo bener-bener mau berenti, harusnya nggak perlu balik lagi ke sini. Sekarang hidup lo yang nentuin, Nin. Nggak ada lagi yang maksa lo buat ngelakuin hal yang lo benci."

Aku menoleh menatapnya.

"Apa gue punya pilihan?"

"Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang." Roy menyambar rokok yang terselip di antara kedua jariku, lalu menyesapnya dalam.

"Kalau duit bisa nongol cuma modal gosok pantat panci, gue nggak perlu nunggu kesempatan datang." Kuambil kembali setengah puntung rokok yang tengah disesapnya.

"Selalu ada jalan, kalau lo percaya takdir Tuhan."

Senyumku tersungging miring. "Tuhan? Gue bahkan nggak yakin apa masih punya sedikit keyakinan."

Roy bergeming. Dia menatapku prihatin. Selalu seperti itu tiap kali kukatakan bahwa kepercayaanku pada Tuhan makin hari makin memudar.

Entah, semua berjalan begitu saja. Ketika kupikir Tuhan hanya diam saja menyaksikan begitu banyak kekejaman menimpaku di masa lampau.

"Lo tahu nggak, Nin? Titik terendah dalam kehidupan itu bukan saat lo pengen banget bunuh diri, tapi saat lo nggak percaya lagi sama Tuhan."

Aku terbungkam, lalu memilih memalingkan pandangan. Kutandaskan minuman yang tersisa dalam gelas di hadapan.

"Nggak usah ceramahin gue tentang keyakinan, gue bukannya nggak percaya, cuma emang belum nemu jalannya aja."

Hening.

Kami berdua terdiam, memerhatikan Bara-- bartender yang menyiapkan minuman untuk para tamu Tante Lala di rumah bordil ini.

"Nindi sayang!"

Sampai sesaat kemudian, Tante Lala datang menghampiri sembari mengibas kipas andalannya.

"Ya, Tan?" Aku memutar kursi menghadapnya.

"Ternyata apa yang Roy bilang bener?"

Aku mengerutkan kening.

"Tentang apa? Yang dia bilang banyak bener soalnya." Roy hanya memutar mata menanggapinya.

"Tentang cowok yang merhatiin kamu seminggu ini."

Aku terdiam.

"Dia berani bayar lebih mahal dari budget yang kita tentukan."

Aku dan Roy berpandangan.

"Dandan yang cantik, ya, Sayang. Dia nunggu kamu di hotel Phillip lantai sepuluh!"

***

Puncak dari segala kegilaan ini adalah ketika aku harus dihadapkan dengan sesuatu yang kubenci. Berhadapan dengan lelaki yang mampu membeli bukan hanya kemewahan tapi juga harga diri.

Sekali lagi aku bertekuk lutut di hadapan lelaki, rela melebarkan kaki hanya agar rekeningku penuh terisi. Membiarkan orang asing menyentuh tubuh ini tanpa permisi, merias diri dari ujung kepala sampai kaki, tak peduli meski remuk-redam di dalam hati.

Kutanggalkan mantel yang menjadi luaran saat kulihat lelaki itu mulai duduk di bibir ranjang. Dia menatap sejenak, lalu memalingkan pandangan.

"Tunggu!" ucapnya sebelum sempat aku menunduk untuk melepas jaket yang dia kenakan. "Bisa kita bicara sebentar?"

Aku hanya mengedikkan bahu, sebelum duduk di sisinya.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Khalid." Dia memperkenalkan diri tanpa berani menatapku.

Aku memutar bola mata, lalu menghela napas panjang dibuatnya.

"Oh, c'mon, Ganteng. Siapa juga yang peduli dengan namamu? Setelah kita nganu, aku bahkan nggak yakin masih bisa inget wajah kamu."

Dia terbungkam. Keheningan yang memuakkan memenuhi ruangan. Sebenarnya aku benci lelaki yang terlalu aktif, tapi aku juga tak suka dengan yang pasif.

Sial, aku tak punya banyak waktu untuk ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk memulai duluan. Setelah bangkit dari ranjang aku berdiri tepat di hadapan, lalu mendorong bahu lebar itu hingga setengah terlentang.

"Sebentar!" Dia menahan kedua sisi tubuhku. "Kamu salah paham, bukan jasa semacam ini yang saya inginkan."

"Terus?" Aku beranjak, lalu melipat tangan di atas dada.

"Di dalam koper ini ada cash 1 M sebagai uang muka. Saya ingin kamu menandatangani kontrak untuk setahun ke depan."

"Setahun ke depan?" Aku membeo.

"Ya, saya punya istri, dan hanya butuh anak."

Aku tersenyum miring. Sudah kuduga, dia berbeda. Ternyata bajingan tampan ini menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan semata, melainkan ladang untuk menanam benihnya.

.

.

.

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Indi Rahmawati
seru banget
goodnovel comment avatar
via agung
ceritanya seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status