"Aku akan pikirkan itu nanti." Kirani menyahut sambil menyandarkan kepalanya di bahu Theo.Perempuan itu mendongak dan menatap mata teduh Theo yang teramat sangat dirindukannya. Bersamaan dengan sebuah kecupan hangat dari Theo yang mendarat di kelopak matanya yang akhirnya tertutup dengan rapat."Terima kasih ya, sayang." Theo membelai kepala Kirani dengan mesra dan mengangkat dagu perempuan yang teramat sangat dirindukannya itu. Satu kecupan ia labuhkan di bibir Kirani, membuat Kirani semakin merasa nyaman dan merapatkan tubuhnya pada Theo. "Aku kangen," bisik Theo dengan sendu di telinga Kirani.Theo pun melajukan mobil menuju apartemen sambil terus mengusap kepala Kirani yang saat itu sudah tertidur di bahunya. Sesekali dikecupnya kening Kirani dengan mesra, seakan ia merasakan kebahagiaan yang begitu besar karena keinginannya untuk ditemani malam ini dikabulkan.Sesampai di halaman apartemen, Theo tidak membangunkan Kirani karena ia tahu asisten pribadinya itu pasti merasa sangat
"Lebih baik aku dihukum oleh Bos, daripada meeting tidak berjalan dengan lancar," sahut Kirani. Ia menatap Theo yang saat itu tengah mengungkungnya.Kirani berusaha melepaskan diri dari kungkungan Theo. Namun Theo tetap menekan kedua tangannya dan makin mendekatkan wajahnya. Tampak kemarahan dari lelaki itu karena Kirani berani menentang perintahnya."Aku tidak mau kamu terlalu lelah. Mengingat pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Lagi pula kamu sebenarnya bisa saja menerjemahkan bahasa Wira dan bahasa klient kita." Theo tetap bersikeras dengan pendapatnya. Ia mengkhawatirkan Kirani kembali sakit jika terlalu lelah bekerja.Kirani menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam erat tangan Theo dan mengarahkan tangannya pada pipi lelaki itu, sehingga Theo melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Kirani membelai lembut wajahnya. Ini adalah sebuah momen yang bahagia bagi Theo."Mungkin menurut Wira, ide Bos itu akan mempersulit pekerjaan kita. Lagi pula, tidak ada salahnya kalau
"Usiamu berapa?" "Dua puluh tiga tahun, Pak" Seorang lelaki berwajah tampan dengan mata sipit membolak-balikkan kertas di dalam map berwarna merah. Sesekali ekor matanya melirik pada perempuan yang sejak tadi membuat senyum selalu terbit di bibirnya. "Dua puluh tiga tahun?" Seakan tak percaya dengan penampilan perempuan di hadapannya karena terlihat masih sangat muda. Bahkan seperti perempuan yang baru lulus SMA. "Benar, Pak." Perempuan itu menyahut cepat. "Status single parents?" Lelaki bermata sipit itu menatap dengan intens pada perempuan yang berada di hadapannya. "Iya, Pak." Kirani, perempuan yang diwawancarai tertunduk tanpa berani mengangkat wajah. Lelaki bertubuh atletis yang memiliki nama Elvano Theo Mahendra bangkit dari tempat duduknya. Ia mengitari Kirani yang masih tertunduk sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana. "Berapa usia anakmu?" "Lima tahun, Pak." "Lima tahun? Anak seusia itu sedang membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Bagaimana k
"Theo, hari ini kita akan meeting dengan salah satu klien dari Perancis. Aku harap kamu mempersiapkan presentasi dengan sebaiknya." Wira masuk ke ruangan Theo yang sedang menandatangani beberapa berkas. "Klien dari Perancis? Kok kamu baru ngomong sekarang?!" Theo mengernyitkan kening mendengar ucapan sahabatnya. "Baru saja Sekretaris klien itu menghubungiku. Makanya aku baru saja memberitahukan padamu." Wira menyahut cepat karena tidak ingin disalahkan oleh Theo. Theo meletakkan pulpen dari tangannya, lalu menatap intens sahabat yang sudah membantunya mengelola perusahaan selama tiga tahun terakhir. "Aku kurang mahir dalam berbahasa Perancis. Bagaimana ini?" "Biasanya sekretaris yang bertugas menerjemahkan bahasa Perancis ke bahasa Indonesia. Atau setidaknya berbahasa Inggrislah." Wira duduk di meja Theo meminta jawaban atas interview para pelamar yang digelar selama tiga bulan terakhir. "Kamu sudah mendapatkan asisten pribadi itu, kan?" tanya Wira. "Hhhh. Aku belum mendapatkan
"Kenapa? Kamu keberatan? Suka-suka saya dong," sahut Theo santai. "Tapi, Pak. Saya tidak pernah berbuat ulah di kantor. Pekerjaan saya juga bagus. Atasan saya saja bilang saya bersih benget membersihkan toilet," sahut Kirani membela diri. "Karena kamu suka melamun!" Kirani terdiam. Ia mengutuk dirinya sendiri yang sempat terpesona pada ketampanan Theo yang membuat dia melamun dan tidak mendengar pertanyaan Theo. Alhasil ia dipecat dari pekerjaan yang sangat ia butuhkan. "Maaf, Pak. Tapi saya mohon beri saya kesempatan sekali lagi. Saya butuh uang untuk biaya pengobatan anak saya, Pak." Kirani memohon pada Theo dengan menangkupkan kedua tangan di dada. Theo menatap Kirani lekat-lekat. Ia merasa kasihan melihat perempuan yang saat ini berada di hadapannya. Perempuan muda yang harus menjadi janda dan mengurus anak seorang diri. "Justru saya memanggilmu ke sini untuk membicarakan pekerjaanmu selanjutnya," sahut Theo. "Maksud Bapak apa?" "Saya memang memecatmu sebagai office girl, t
"Tapi ... Saya tidak terlambat. Bukankah ciuman hanya berlaku untuk hukuman terlambat?" Kirani sedikit menggeser posisinya sehingga tubuhnya menempel pada pintu mobil. "Terus kamu kira aku memberi hukuman asal-asalan?" Theo semakin mendekat. "Tapi saya benar-benar tidak terlambat, kok!" "Oh ya? Apa perlu saya tanya pada sopir, berapa lama saya menunggu jawabanmu atas pertanyaan saya?" Kirani terkesiap. Ia menyadari bahwa keterlambatan yang dimaksud oleh Theo adalah segala macam keterlambatan. Termasuk menjawab pertanyaan. "Oke, saya tahu jawabannya!" Theo tiba-tiba sudah berpindah ke samping Kirani ketika perempuan itu masih mempertimbangkan hukumannya. Cup Satu kecupan mendarat di bibir Kirani membuat perempuan itu terbelalak. "Itu hukuman karena kamu terlambat menjawab pertanyaan saya!" Kirani yang masih menikmati ciuman dari Theo hanya tertunduk. Ia tidak menyangka jika lelaki itu malah mencuri ciuman di bibirnya. "Setiap kamu terlambat melakukan perintah saya, menjawab pe
Theo melepaskan cekalan tangannya pada Kirani. Lelaki itu menatap lekat-lekat manik mata Kirani yang mulai berair. "Dengar, Kirani. Kamu bekerja dengan saya. Kamu sudah menandatangani kontrak. Dan kamu pasti tahu dendanya." "Saya tidak tahu kalau ternyata saya juga harus melayani anda seperti ini!" teriak Kirani. Theo berdecih. Ia kembali menahan telapak tangan Kirani dan menindih tubuh perempuan itu. Emosinya meledak melihat Kirani yang mulai melawan. "Melayani saya yang bagaimana maksudnya?" "Memasangkan baju, mencium pipi, menyuapi." "Bukankah itu memang tugas asisten pribadi?" "Tapi tidak tertulis di dalam kontrak!" Dada Kirani naik turun menahan amarah. Ia benar-benar menyesal telah bekerja menjadi asisten pribadi Theo. Ia tak menyangka akan terjebak dalam sebuah pekerjaan yang menyulitkannya. "Saya sudah menjelaskan sejak awal bahwa kamu bekerja untuk mengurusi semua kebutuhan saya sejak membuka mata sampai menutup mata. Jadi kamu pasti tahu apa saja yang dibutuhkan oleh
"Kirani, ternyata Kevin ini anaknya? Pantas aku merasa tidak asing lagi dengan nama ini." Theo bergumam seorang diri seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang dikenakannya.Theo tak menyangka jika ternyata Kirani mati-matian bekerja di perusahaan dan tidak membantah dengan hukuman yang ia berikan, dikarenakan tengah membiayai pengobatan Kevin yang saat ini menderita penyakit yang Theo sendiri belum tahu penyakit apa."Daddy kenapa melamun?" Kevin membingkai wajah Theo dan menatap leka-lekat manik mata lelaki itu.Theo tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Kevin. Ia kembali teringat pada Rafael yang tak bisa diselamatkan. Bukan karena biaya yang membuat Rafael tidak bisa diselamatkan, tapi karena Rafael terlalu lemah dan akhirnya menyerah pada penyakit tersebut."Ke depannya Ibumu tidak akan pernah memarahimu lagi." Theo memberi keyakinan kepada Kevin, seakan-akan dia tahu bagaimana karakter Kirani.Kevin mengernyitkan keningnya ketika mendengar ucapan Theo. Ia menganggap lel