Share

Kirani dan Kevin

Theo melepaskan cekalan tangannya pada Kirani. Lelaki itu menatap lekat-lekat manik mata Kirani yang mulai berair.

"Dengar, Kirani. Kamu bekerja dengan saya. Kamu sudah menandatangani kontrak. Dan kamu pasti tahu dendanya."

"Saya tidak tahu kalau ternyata saya juga harus melayani anda seperti ini!" teriak Kirani.

Theo berdecih. Ia kembali menahan telapak tangan Kirani dan menindih tubuh perempuan itu. Emosinya meledak melihat Kirani yang mulai melawan.

"Melayani saya yang bagaimana maksudnya?"

"Memasangkan baju, mencium pipi, menyuapi."

"Bukankah itu memang tugas asisten pribadi?"

"Tapi tidak tertulis di dalam kontrak!" Dada Kirani naik turun menahan amarah. Ia benar-benar menyesal telah bekerja menjadi asisten pribadi Theo. Ia tak menyangka akan terjebak dalam sebuah pekerjaan yang menyulitkannya.

"Saya sudah menjelaskan sejak awal bahwa kamu bekerja untuk mengurusi semua kebutuhan saya sejak membuka mata sampai menutup mata. Jadi kamu pasti tahu apa saja yang dibutuhkan oleh seseorang selama itu kan?" Theo tersenyum santai.

"Tapi tidak dengan mencium bibir saya dan memeluk saya seenaknya!"

"Itu hukuman untukmu. Dan kita juga sudah menyepakati kalau kamu pasti akan menerima hukuman apa pun dari saya jika melakukan kesalahan."

"Termasuk melayani nafsu bejatmu di atas ranjang?!"

Theo terbelalak mendengar ucapan Kirani. Lelaki itu semakin menekan tangan Kirani dan menindih tubuhnya sehingga Kirani merasakan sesak.

"Siapa yang meminta dilayani di atas ranjang?" Theo mulai membelai wajah Kirani.

"Ini? Apa namanya ini?!" Kirani semakin berteriak dan memberontak.

Theo terkekeh. "Kamu pikir aku lelaki gila yang suka menjamah tubuh perempuan tanpa menikahinya?" 

Kirani semakin emosi. Ia terus mencoba memberontak. Namun gerakan Theo lebih kuat dari segalanya.

Theo tersenyum. "Aku hanya ingin menghukum asisten pribadi yang membantah ucapan bosnya dengan memintamu tidur di ranjang ini seharian." Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Kirain sampai ke dada.

"Moodku sudah buruk atas tuduhanmu. Jadi, hari ini kamu mendapat hukuman. Jangan pergi dari apartemenku sebelum aku pulang kerja." Theo menarik diri dari tubuh Kirani, lalu menutup pintu kamar dengan rapat.

"Dasar Bos gila!" Kirani memaki Theo karena lelaki itu pergi begitu saja.

Ia benar-benar merasa sakit hati karena Theo sudah menjebaknya dalam sebuah pekerjaan yang mengharuskan dirinya melakukan tugas sebagai seorang kekasih.

"Tomo saja tidak pernah minta disuapin. Lah dia? Dasar Bos Mesum!"

***

Selama Kirani dikurung di dalam apartemennya, Theo tidak masuk kantor. Ia meminta bantuan Wira untuk menghandle urusan kantor.

"Antarkan aku ke tempat biasa bertemu dengan Kevin," ujar Theo pada sopirnya.

Theo tersenyum ketika melihat Kevin yang sedang bermain seorang diri di taman kecil tempat mereka biasa bertemu.

"Om Evan kemana saja? Selama beberapa hari ini tidak bertemu denganku?" Kevin bertanya pada Theo yang baru saja menghampirinya.

"Om sangat sibuk. Sejak kemarin selalu ada meeting tiap hari."

Kevin tertunduk. Anak kecil itu seakan menyimpan beban yang berat. Ia pun menghela napas panjang.

"Kamu kenapa?" Theo yang menyadari kesedihan hati Kevin, berjongkok seperti biasa di hadapan anak itu.

"Ibuku sekarang tidak bisa lagi menemaniku bermain. Dia bekerja sejak pagi sampai malam." Mata Kevin berkaca-kaca. 

"Ibumu bekerja di mana?" 

"Aku tidak tahu. Tapi tadi pagi ibu dijemput seorang sopir."

"Berarti ibumu kerja di perusahaan besar?"

"Mungkin."

Theo menatap bocah kecil itu dengan seksama. Ia seperti melihat Rafael kecilnya yang kini ada di surga.

"Jangan bersedih ya. Om akan usahakan selalu menemanimu. Setidaknya setiap tiga hari Om akan datang ke sini untuk menemanimu bermain." 

"Beneran?"

"Kita kan sahabat!"

"Horeee ...!" 

Theo tersenyum melihat Kevin yang selalu ceria setiap mereka bersama. Sejak tiga bulan terakhir, Theo sering menghabiskan waktunya untuk bermain dengan Kevin. Anak kecil itu sudah menjadi sahabat Theo yang selalu membuatnya tersenyum.

Theo menyayangi Kevin seperti menyayangi Rafael—putranya yang akhirnya menyerah karena tak kuat melawan penyakitnya.

"Om, kenapa baik banget sama aku?" Kevin bertanya sambil menjilat es krimnya.

Theo terdiam. Ia khawatir jika ucapannya nanti akan membuat Kevin bersedih.

"Kamu tidak marah kalau Om cerita?"

"Kenapa harus marah?"

"Kali aja."

"Nggak. Aku akan dengarkan cerita Om sampai selesai."

Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Kevin. Lelaki itu merasa tenang dan nyaman setiap kali berbincang dengan Kevin.

"Om hanya ingat pada anak Om yang sudah meninggal dunia. Namanya Rafael. Dia anak yang cerdas." Theo tertunduk. "Sayangnya Tuhan lebih menyayangi dia dari pada Om."

"Benarkah?"

"Iya. Namanya Rafael. Ia meninggal dunia saat usianya baru menginjak tiga tahun." 

Kevin menutup mulut mendengar ucapan Theo. "Kenapa meninggal?"

"Sakit leukimia."

Kevin pun mendengarkan cerita Theo yang mengalir hangat di sepanjang sore.

"Apa aku juga akan bernasib sama dengan Rafael?" Kevin tertunduk lesu.

Theo mengernitkan keningnya. Ia tak mengerti maksud ucapan Kevin.

"Maksudmu apa?" Theo membingkai wajah Kevin dan menatap lekat manik mata bocah itu.

"Aku juga sakit, Om." 

"Serius? Sakit apa?"

"Aku tidak tahu. Tapi kata Ibu, aku harus sering cek up ke dokter." Kevin menyahut. "Ibu juga selalu membeli obat untukku."

"Obat? Seperti apa?" Theo semakin cemas mendengar ucapan Kevin.

"Aku nggak tahu. Tapi ibu sangat mengkhawatirkanku."

"Kamu ... Pasti sembuh ...!" Theo langsung meraih Kevin ke dalam dekapannya. "Om pasti akan bantu biaya pengobatanmu," tambahnya lagi.

Mereka berpelukan cukup erat seperti anak dan ayah yang baru bertemu.

"Aku rindu dipanggil Daddy," desis Theo.

"Kalau begitu biar aku saja yang memanggil Om Daddy. Daddy Evan. Bagaimana?"

Theo tersenyum hangat. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya dan Kevin pun kembali berhambur memeluk lelaki yang selama tiga bulan terakhir menjadi sahabatnya.

Sepanjang sore, mereka bercanda ria di tepi sungai Batang Hari. Kevin semakin merasa bahagia dan merasa memiliki seorang ayah.

"Seandainya ibuku mau menikah lagi. Aku pasti meminta ibuku menikah dengan Daddy." Kevin melempar batu ke dalam sungai.

Theo menoleh. Sejak kemarin, Kevin memang tidak menceritakan apa pun padanya tentang kedua orang tuanya. Kevin hanya mengatakan memiliki ibu yang suka marah-marah jika ia pergi main dengan temannya.

"Ibumu tidak mau menikah lagi? Kenapa?" 

"Entahlah. Ibu hanya bilang aku tidak boleh ikut campur urusan orang dewasa!" Kevin mengerucut bibirnya.

"Emangnya kalau ibumu mau menikah lagi, kamu mau ayah yang seperti apa?"

"Hmmm. Aku akan meminta ibuku menikah dengan Daddy Evan. Aku pasti sangat bahagia!" sorak Kevin. "Sayangnya, ibuku pasti akan marah-marah setiap aku cerita soal sosok ayah." Anak kecil itu lalu tertunduk.

"Ibumu cantik?"

"Cantik banget!"

"Namanya siapa?"

"Kirani!"

Theo terbelalak, lalu memegang kedua bahu Kevin untuk meminta kepastian. "Kirani?"

"Iya."

"Kamu punya Poto ibumu?" Theo tertarik mendengar cerita Kevin. Ia pun teringat pada nama anak Kirani, asisten pribadinya.

"Aku tidak punya ponsel. Tapi aku tahu kontak ibuku." Kevin mengeluarkan kalung dari dalam bajunya, lalu memperlihatkan sederet angka di kalung itu pada Theo.

Bergegas, Theo mencatat deretan nomor di balik kalung Kevin. Ia terbelalak ketika menyimpan kontak tersebut dan menyadari bahwa kontak itu milik Kirani.

"Ini ibumu?" Theo memperlihatkan Poto profil Kirani pada Kevin.

"Iya, Daddy. Cantik 'kan?" Kevin dengan semangat menyahut ucapan Theo. "Tapi galak," ujarnya lagi.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Langit_Biru
gabung ahhhhh
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
udah lgsung manggil Daddy aja niihh siii Kevin, semoga aja Kirani Mao tpi itu jg klo Kirani gak trauma sama klakuan bozz nya yg dkit2 kena hukuman .........
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
udah akrab banget ya ini kevin sama Theo. omo omo kaget ini pastinya si Theo pas tau mamanya kevin kirani kira2 gimana tuh masih kirani selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status