"Tapi ... Saya tidak terlambat. Bukankah ciuman hanya berlaku untuk hukuman terlambat?" Kirani sedikit menggeser posisinya sehingga tubuhnya menempel pada pintu mobil.
"Terus kamu kira aku memberi hukuman asal-asalan?" Theo semakin mendekat.
"Tapi saya benar-benar tidak terlambat, kok!"
"Oh ya? Apa perlu saya tanya pada sopir, berapa lama saya menunggu jawabanmu atas pertanyaan saya?"
Kirani terkesiap. Ia menyadari bahwa keterlambatan yang dimaksud oleh Theo adalah segala macam keterlambatan. Termasuk menjawab pertanyaan.
"Oke, saya tahu jawabannya!" Theo tiba-tiba sudah berpindah ke samping Kirani ketika perempuan itu masih mempertimbangkan hukumannya.
Cup
Satu kecupan mendarat di bibir Kirani membuat perempuan itu terbelalak.
"Itu hukuman karena kamu terlambat menjawab pertanyaan saya!"
Kirani yang masih menikmati ciuman dari Theo hanya tertunduk. Ia tidak menyangka jika lelaki itu malah mencuri ciuman di bibirnya.
"Setiap kamu terlambat melakukan perintah saya, menjawab pertanyaan saya, maka kamu akan mendapat hukuman yang sama." Theo menarik diri dari Kirani dan melepaskan tirai pembatas.
***
"Jadi mulai sekarang Ibu bekerja dari subuh sampai malam?" Kevin yang sedang dikenakan baju oleh Kirani bertanya.
"Iya, Sayang."
"Kenapa kerjanya lama sekali? Lalu kapan Ibu ada waktu bermain denganku?" Wajah Kevin tertekuk. Ia kecewa pada keputusan ibunya.
"Sabtu Minggu Ibu akan habiskan waktu dengan Kevin dari subuh sampai malam." Kirani membingkai wajah mungil Kevin, lalu mencium pipi bocah itu dengan gemas.
Tadi malam Kirani sudah bercerita pada ibunya tentang pekerjaan yang akan dijalaninya. Ibunya Kirani tidak keberatan dan dia sangat senang menjaga Kevin. Yang terpenting Kirani memiliki gaji besar sehingga dia bisa membiayai pengobatan Kevin.
"Apa gaji Ibu besar?" Kevin kembali bertanya sambil mengekor ibunya yang tengah bersiap-siap berangkat ke apartemen Theo.
"Sangat besar. Satu tahun bekerja, Ibu akan beli mobil untuk antar Kevin sekolah!"
"Wahhh. Keren!"
"Makanya jangan merengek kalau Ibu bangunkan subuh karena Ibu tetap ingin menyiapkan Kevin sekolah." Kirani menjawil ujung hidung Kevin.
Perempuan itu lalu mencium pipi putranya dan langsung berpamitan kerja karena sopir sudah menyusul ke dalam rumah.
"Ini sudah terlambat, Nona. Jam 06.30 seharusnya Bos Theo sudah bangun." Sopir membuka pintu mobil untuk Kirani.
Sopir membawa mobil dengan kecepatan tinggi karena mereka sudah terlambat lebih dari tiga puluh menit. Bisa dipastikan Theo akan marah pada mereka.
Kirani pun segera membuka sandi pintu apartemen dan masuk ke dalam kamar Theo.
"Aaaa ...." Kirani terkejut ketika di kamar mendapati Theo yang hanya mengenakan handuk.
Theo menghampiri Kirani yang menutup wajah. Lelaki itu mendorong tubuh Kirani hingga tersandar di dinding apartemen.
"Bos ... Saya ...!"
Theo langsung menyambar bibir Kirani dengan hangat. Lelaki itu menghisap bibir Kirani kuat-kuat.
Sementara itu, Kirani berusaha menolak lidah Theo yang mulai hendak bergerilya di dalam rongga mulutnya.
"Kamu terlambat cukup lama. Jadi hukumannya aku tambah," ujar Theo sesaat setelah melepaskan ciuman di bibir Kirani.
Plakk
Kirani menampar Theo dengan sangat kuat. Namun seperdetik berikutnya, Theo kembali merampok bibir Kirani. Bahkan mengunci tangan perempuan itu ke atas.
"Jangan coba macam-macam. Kamu sudah menandatangani kontrak," bisik Theo.
"Dasar Bos Mesum!" Dada Kirani naik turun menahan amarah.
"Bagus kalau kamu tahu aku mesum. Jadi aku tidak perlu lagi menjelaskannya padamu." Theo mengulum senyum.
"Ingat, kamu harus datang ke apartemen ini untuk membangunkanku pada pukul enam pagi."
"Tapi, aku harus mengurusi Kevin dulu."
"Itu artinya setiap hari kamu harus menyerahkan bibirmu yang manis ini untukku." Theo menyentuh lembut bibir Kirani. "Pakaikan aku baju!" Lelaki itu kemudian memberi perintah kepada Kirani.
Dengan hati dongkol, Kirani mengambil baju dari lemari, dan memasangkannya pada Theo. Kalau saja tidak takut pada denda kontraknya, Kirani sudah pergi meninggalkan Theo yang melakukan tindakan asusila padanya. Bahkan Theo sudah dua kali merampok bibirnya.
"Cantik." Theo bergumam saat Kirani memasang kancing kemejanya. Ia pun menarik Kirani ke dalam pelukan.
"Bos, lepaskan!"
"Jangan berontak! Aku merasa lebih nyaman dipasangkan dasi dengan posisi seperti ini," bisik Theo.
Kirani tak mampu berkutik. Ia pun melanjutkan pekerjaannya, yaitu memasang dasi pada kerah kemeja Theo. Jantung Kirani berdebar tidak karuan. Bahkan seakan hendak melompat dari tubuhnya. Wajah Kirani pun merona saat Theo menatapnya tanpa berkedip.
"Bibirmu manis." Theo sedikit membungkuk sehingga wajahnya berada tepat di depan bibir Kirani.
"Dan Bos sudah merenggut kesuciannya."
Theo terkekeh. Lelaki itu menahan tangan Kirani yang tengah memasangkan jas. "Kamu akan ketagihan memberikan bibir manismu padaku," ujarnya.
"Sialan!" Kirani memaksa melepaskan tangannya.
Theo melangkah keluar kamar. Lelaki itu menoleh dapur dan memberi kode pada Kirani.
"Buatkan saya kopi yang rasanya manis."
Kirani tak menyahut. Namun ia tetap menuruti perintah Theo.
"Buatkan juga roti panggang. Saya tidak mau minum kopi tanpa cemilan."
"Siap, Bos." Kirani bergegas melaksanakan perintah Theo. Ia tidak ingin kembali dihukum dengan ciuman. Meski harus Kirani akui, bibir Theo begitu nikmat baginya.
Hanya butuh waktu lima menit saja, Kirani sudah menghidangkan secangkir kopi dan roti panggang ke meja makan.
"Silakan, Bos. Kopinya dijamin manis." Kirani tersenyum sambil melepas celemek pada tubuhnya.
Theo mengambil cangkir dan mulai menikmati kopi tersebut. Alisnya saling tertaut membuat Kirani terkejut.
"Kopinya pahit." Theo menatap tajam pada Kirani.
"Nggak mungkin, Bos. Saya sudah memasukkan dua sendok gula ke dalamnya."
"Kamu cicipi saja."
Kirani pun mengambil cangkir dari tangan Theo, lalu hendak mencicipi kopi buatannya. Namun, baru saja kopi itu hampir menempel di bibir Kirani, Theo sudah terlebih dahulu mengambil cangkir dan menyambar bibir Kirani.
"Ini lebih manis." Theo mengulas senyum.
"Bos. Saya tidak terlambat!" protes Kirani.
"Tapi bibirmu membuat kopi pahit menjadi lebih manis."
Kirani menjadi salah tingkah. Entah mengapa dia tidak bisa menolak ketika Theo mencium bibirnya kali ini. Perempuan itu pun masuk ke dalam kamar Theo dan membereskan kamar tersebut menjelang Theo selesai menikmati sarapannya.
"Bos!" Kirani terkejut ketika tiba-tiba Theo memeluknya dari belakang. Lelaki itu bahkan menopang dagu di bahunya.
"Kenapa kamu meninggalkan saya yang sedang sarapan?" Theo mempererat pelukannya.
"Aku harus membereskan kamar ini."
"Ini bukan tugas asisten pribadi. Tapi tugas asisten rumah tangga."
"Maksud Bos?!"
"Temani saya sarapan. Atau kamu akan saya hukum lagi." Theo menarik tangan Kirani menuju meja makan.
Lelaki itu menunjuk ke arah roti panggang.
"Hah?"
"Mau saya hukum?" Theo menatap tajam pada Kirani.
"Didalam kontrak tidak tertulis kalau saya harus menyuapi Bos makan."
"Oh. Jadi kamu sudah mulai menyukai hukumannya?" Theo mengangkat dagu Kirani dan mendekatkan wajahnya.
"Oke. Ini rotinya!" Kirani langsung menyodorkan sepotong roti ke dalam mulut Theo.
"Kamu ...!" Theo merasa geram dengan perbuatan Kirani. Lelaki itu langsung menyambar tubuh Kirani dan menggendongnya masuk ke dalam kamar.
"Apa yang Bos lakukan? Lepaskan saya!"
"Diam!"
"Bos benar-benar mesum. Aku akan melaporkan tindakan Bos ini pada pihak perlindungan perempuan!"
Theo melepaskan cekalan tangannya pada Kirani. Lelaki itu menatap lekat-lekat manik mata Kirani yang mulai berair. "Dengar, Kirani. Kamu bekerja dengan saya. Kamu sudah menandatangani kontrak. Dan kamu pasti tahu dendanya." "Saya tidak tahu kalau ternyata saya juga harus melayani anda seperti ini!" teriak Kirani. Theo berdecih. Ia kembali menahan telapak tangan Kirani dan menindih tubuh perempuan itu. Emosinya meledak melihat Kirani yang mulai melawan. "Melayani saya yang bagaimana maksudnya?" "Memasangkan baju, mencium pipi, menyuapi." "Bukankah itu memang tugas asisten pribadi?" "Tapi tidak tertulis di dalam kontrak!" Dada Kirani naik turun menahan amarah. Ia benar-benar menyesal telah bekerja menjadi asisten pribadi Theo. Ia tak menyangka akan terjebak dalam sebuah pekerjaan yang menyulitkannya. "Saya sudah menjelaskan sejak awal bahwa kamu bekerja untuk mengurusi semua kebutuhan saya sejak membuka mata sampai menutup mata. Jadi kamu pasti tahu apa saja yang dibutuhkan oleh
"Kirani, ternyata Kevin ini anaknya? Pantas aku merasa tidak asing lagi dengan nama ini." Theo bergumam seorang diri seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang dikenakannya.Theo tak menyangka jika ternyata Kirani mati-matian bekerja di perusahaan dan tidak membantah dengan hukuman yang ia berikan, dikarenakan tengah membiayai pengobatan Kevin yang saat ini menderita penyakit yang Theo sendiri belum tahu penyakit apa."Daddy kenapa melamun?" Kevin membingkai wajah Theo dan menatap leka-lekat manik mata lelaki itu.Theo tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Kevin. Ia kembali teringat pada Rafael yang tak bisa diselamatkan. Bukan karena biaya yang membuat Rafael tidak bisa diselamatkan, tapi karena Rafael terlalu lemah dan akhirnya menyerah pada penyakit tersebut."Ke depannya Ibumu tidak akan pernah memarahimu lagi." Theo memberi keyakinan kepada Kevin, seakan-akan dia tahu bagaimana karakter Kirani.Kevin mengernyitkan keningnya ketika mendengar ucapan Theo. Ia menganggap lel
"Nona Kirani menderita maag kronis. Dia terlambat makan sehingga pingsan," ujar Dokter yang menangani Kirani. Kacamata Dokter itu ia naikkan saat berbicara dengan Theo.Theo berdecak kesal karena ia tidak tahu jika ternyata Kirani memiliki riwayat penyakit maag kronis. Dia juga lupa menanyakan kepada perempuan itu apakah tadi pagi sudah sarapan atau belum."Sebaiknya Nona Kirani dirawat dulu di sini selama dua hari," tambah Dokter lagi.Theo mengangguk dan meminta perawat untuk memindahkan Kirani ke ruang rawat inap VVIP. Ia tidak ingin dianggap sebagai Bos yang kejam karena meletakkan asisten pribadinya di ruangan kelas biasa.Lelaki itu mengikuti perawat yang membawa brangkar Kirani menuju ruang rawat inap yang sudah ia pesan. Lelaki itu menatap cemas pada Kirani yang masih pingsan dan belum sadarkan diri ."Maafin aku, Kirani. Aku benar-benar bersalah karena sudah memberi hukuman yang salah padamu." Theo menggenggam erat tangan Kirani dan mencium punggung tangan perempuan itu denga
"Cukup, Kirani!" Theo menahan pergerakan tangan Kirani yang hendak mencabut selang infus dari punggung tangannya."Lepaskan aku! Aku capek kamu salahkan terus. Pokoknya aku mau resign!" Kirani berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Theo.Theo memang memeluk Kirani dari belakang dan berusaha sekuat tenaga agar perempuan itu tidak menarik selang infusnya. Tarik menarik antara keduanya terjadi, sehingga tiba-tiba selang infus Kirani mengeluarkan darah."Kirani! Apa yang kamu lakukan!" Theo langsung mengambil sesuatu dari saku celananya dan menutup mulut Kirani dengan sebuah sapu tangan. "Maaf, aku terpaksa melakukan ini!"Seketika Kirani langsung pingsan tak sadarkan diri. Theo yang melihat Kirani yang pingsan langsung menekan tombol darurat untuk memanggil perawat yang berjaga di rumah sakit. Ia meminta perawat jaga untuk segera memperbaiki infus yang menancap di punggung tangan Kirani."Apa yang terjadi, Pak? Kenapa infusnya bisa bergeser dan berdarah seperti ini?" Perawat dengan h
"Aku akan membayar gajimu dua kali lipat jika kamu tidak memberitahukan kepada Kevin bahwa kamu sedang sakit." Theo berbisik di telinga Kirani.Kirani ternganga mendengar ucapan Theo. "Jadi gaji pertama saya seratus juta?" Ucap Kirani terbata-bata."Iya. Kenapa?"Kirani menelan ludah. Uang seratus juta bukanlah jumlah uang yang sedikit. Dengan uang itu ia bisa melakukan kemoterapi pada Kevin. "Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menuruti permintaan dokter agar Kevin segera di kemoterapi." Kirani bergumam seorang diri.Namun rasa rindunya pada Kevin tidak bisa ia bendung, sehingga ia ragu dan kembali menimbang-nimbang keputusannya itu."Tapi aku rindu dengan Kevin. Aku sudah terbiasa untuk melihatnya sebelum tidur," ujar Kirani.Theo membuang napas kasar. Ia paham bahwa Kirani pasti sudah terbiasa membelai wajah Kevin atau mencium pipi Kevin sebelum tidur. Sama halnya seperti dulu dia yang selalu ingin melihat wajah Rafael ketika bocah kecil itu hendak memejamkan mata."Oke. Kamu bi
"Membawamu terbang." Theo semakin merangkak di atas tubuh Kirani sehingga saat ini posisi wajah mereka sejajar."Di dalam perjanjian hanya disebutkan kalau Bos akan merawat saya sampai sembuh. Tidak dengan melakukan ...." Kirani seketika terdiam ketika Theo menaikkan selimut Kirani sampai ke dada."Melakukan apa? Bukankah memasangkan selimut pada pasien juga merupakan salah satu tugas merawat?" Dada Kirani semakin berdegup dengan kencang ketika Theo membelai wajahnya dengan lembut."Bos ... bisakah Bos menyingkir dari tubuhku?""Tidak.""Tapi aku mau tidur.""Aku juga." Theo pun langsung membaringkan tubuhnya di samping Kirani. Detik berikutnya lelaki itu menarik Kirani ke dalam dekapannya dan mengunci tubuh perempuan itu agar tidak pergi dari pelukannya."Bos. Kenapa kita harus tidur satu ranjang seperti ini?""Aku hanya tidak mau kalau nanti malam kamu tiba-tiba mengeluh saat merasakan sakit di lambungmu." Theo mengurai pelukannya dan menatap Kirani dengan seksama."Itu tidak akan
"Mas, kamu tidak berhak membawa Kevin dariku." Kirani bergegas menghadang Tomo yang sudah masuk ke dalam mobil.Perempuan itu menghadang mobil yang dibawa oleh Tomo dengan kedua tangannya."Ibu!" Kevin yang berada di dalam mobil berteriak ketika melihat Kirani yang sudah berada di depan mobil.Bocah kecil itu berusaha memberontak dari cengkraman tangan Ayahnya."Diam, Kevin. Aku lebih berhak mengasuhmu daripada Ibumu." Tomo membentak Kevin yang berusaha melepaskan diri darinya.Kevin semakin ketakutan mendengar suara bentakan dari lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. Bocah kecil itu terus memanggil-manggil nama Kirani."Buka pintunya!" Kirani menggedor-gedor kaca mobil dan berharap Tomo segera membuka kaca mobil itu.Namun Tomo malah meminta sopir pribadinya untuk melajukan mobil dengan kecepatan tinggi."Kevin!" Kirani menangis tersedu-sedu dan berusaha mengejar Kevin yang sudah dibawa pergi oleh Tomo. Perempuan itu segera menuju mobil milik Theo yang dikemudikan oleh anak buah
Cup"Bos!""Bibir ini hanya menjadi milikku!" Theo mengusap bibir Kirani setelah mengecupnya dengan lembut.Air mata Kirani semakin berderai mendengar syarat yang diajukan oleh Theo. Dia merasa keberatan jika bibirnya dikuasai sepenuhnya oleh Theo. Ia merasa masih memiliki harga diri yang harus dijaga. Tidak perlu sampai tubuhnya dijamah oleh lelaki yang bukan suaminya meskipun yang dijamah itu hanya bagian bibir saja."Aku tidak bisa memenuhi syarat ini! Bos hanya boleh mencium bibirku kalau aku melakukan kesalahan saja." Kirani berusaha membuang wajah.Namun kali ini, Theo membingkai wajahnya dan mengusap bibir Kirani dengan lebih intens.CupLagi lagi Theo melakukan kecupan di bibir Kirani dan melumatnya dengan penuh perasaan. Kirani yang tadinya hendak menolak ciuman dari Theo, seketika membiarkan lelaki itu melumat bibirnya dengan lembut."Bibir ini adalah candu untukku. Aku tidak rela jika ada orang lain yang menyentuhnya. Aku akan memberikan gajimu dua kali lipat setiap bulan j