Share

Asisten Pribadi Rasa Kekasih (Hot Daddy For Kevin)
Asisten Pribadi Rasa Kekasih (Hot Daddy For Kevin)
Author: Althafunnisa

Ditolak dari perusahaan

"Usiamu berapa?"

"Dua puluh tiga tahun, Pak"

Seorang lelaki berwajah tampan dengan mata sipit membolak-balikkan kertas di dalam map berwarna merah. Sesekali ekor matanya melirik pada perempuan yang sejak tadi membuat senyum selalu terbit di bibirnya.

"Dua puluh tiga tahun?" Seakan tak percaya dengan penampilan perempuan di hadapannya karena terlihat masih sangat muda. Bahkan seperti perempuan yang baru lulus SMA.

"Benar, Pak." Perempuan itu menyahut cepat.

"Status single parents?" Lelaki bermata sipit itu menatap dengan intens pada perempuan yang berada di hadapannya.

"Iya, Pak." Kirani, perempuan yang diwawancarai tertunduk tanpa berani mengangkat wajah.

Lelaki bertubuh atletis yang memiliki nama Elvano Theo Mahendra bangkit dari tempat duduknya. Ia mengitari Kirani yang masih tertunduk sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana.

"Berapa usia anakmu?" 

"Lima tahun, Pak."

"Lima tahun? Anak seusia itu sedang membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Bagaimana kamu bisa bekerja sepenuh waktu menjadi asisten pribadi saya, jika kamu sibuk mengurusi anakmu?" Theo duduk di atas meja sambil menatap Kirani yang tertunduk.

Batinnya tak bisa memungkiri kalau Kirani memiliki wajah yang cantik. Mulai dari bulu matanya yang lentik, bibirnya yang sensual, dan tubuhnya yang sintal. Padahal Kirani seorang perempuan yang sudah memiliki seorang anak.

Sementara itu, Kirani tergagap menjawab pertanyaan Theo. "Anak saya titipkan kepada ibu. Kami sudah sepakat untuk mencari pekerjaan demi pengobatan Kevin."

"Kevin?" 

"Kevin nama anak saya, Pak." 

Theo berdehem sejenak, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya. Lelaki itu meletakkan kedua sikunya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuhnya, agar bisa menatap wajah Kirani dengan seksama. "Cantik dan ...." guman Theo. Matanya terus tertuju pada bibir Kirani.

Sementara itu, Kirani masih tertunduk. Ia tak berani bertatapan dengan lelaki berwajah tampan yang terlihat tegas itu. Jantungnya memompa dengan cepat. Cemas. Takut ditolak dari pekerjaan itu.

"Lalu apa kemampuan yang bisa kamu tonjolkan sehingga saya bisa mempertimbangkan kamu untuk bekerja di sini?" Theo kembali berdiri, kali ini lelaki bermata sipit itu memangkas jarak dengan sempurna. Hangat napasnya mendera telinga Kirani karena ia berbicara setengah berbisik di telinga perempuan itu.

"Saya ... Saya pandai berbahasa Inggris dan berbahasa Prancis, Pak," sahut Kirani masih dengan nada tergagap.

"Hmm, bagus juga." Theo memutari Kirani dan memindai perempuan itu dengan seksama. "Tapi sejauh ini saya tidak punya klien orang Perancis. Jadi saya rasa saya tidak butuh penerjemah bahasa Prancis."

"Saya bisa menerjemahkan bahasa Inggris pada Bapak."

"Oh. Jadi kamu pikir saya tidak pandai berbahasa Inggris? Kamu tidak melihat profil saya terlebih dahulu sebelum melamar kerja ke sini?" Kali ini Theo lebih memangkas jarak, dan semakin mencondongkan tubuhnya, sehingga jarak dirinya dan Kirani hanya beberapa senti saja. Lebih tepatnya kini bibirnya menempel di telinga Kirani. 

Hal itu membuat Kirani reflek mundur beberapa langkah, tapi Theo malah semakin mendekat dengan senyum menggoda. "Ti—tidak, Pak." Kirani merasa tersudut karena posisinya yang menempel di tembok ruangan.

"Bagaimana saya bisa menerima kamu bekerja di sini, jika kamu sendiri tidak tahu bagaimana karakter pemilik perusahaan dan bagaimana perusahaan yang akan kamu tempati bekerja." Theo mengungkung Kirani di tembok dengan menempelkan tangannya. "Tatap saya, Nona Kirani," seru Theo dengan nada tinggi.

Kirani akhirnya memberanikan untuk mengangkat wajahnya. Dia tertegun kala wajah tampan Theo berada tepat di depan wajahnya. "Saya akan mempelajari karakter Bapak dan perusahaan ini jika saya diterima bekerja di sini."

Theo tergelak, lalu melepaskan kungkungannya pada Kirani. "Kayaknya saya tidak bisa menerimamu, Nona ...."

"Kirani, Pak."

"Maaf Nona Kirani. Kami hanya menerima seorang karyawan yang masih single untuk menjadi asisten pribadi saya."

Kirani tercekat. Ia kembali menatap Theo seakan mencari jawaban yang tak sama dengan manik mata itu. 

"Menjadi asisten pribadi saya, berarti menaati semua aturan saya. Termasuk memberikan sepenuh waktunya untuk saya. Jadi maaf, saya tidak bisa bekerja dengan orang yang pikirannya akan terbagi dengan anak kecil." Theo merapikan jasnya dan kembali duduk di kursi kebesarannya.

"Tapi, Pak."

"Saya tidak suka DIBANTAH!"

Kirani terkejut mendengar bentakan Theo. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu." Kirani meremas ujung bajunya. Kali ini dia kembali ditolak bekerja di perusahaan karena alasan statusnya.

Kekecewaan menjalar di dalam darahnya. Padahal dia sangat yakin diterima di perusahaan itu, mengingat IPK dia yang terbilang tinggi. Namun ternyata, kehadiran Kevin membuat dia ditolak di perusahaan mana saja.

"Kamu ...!" Theo memanggil Kirani yang hendak melangkah keluar.

"Bapak memanggil saya?" Kirani berbalik badan dengan harapan Theo berubah pikiran.

"Siapa namamu tadi?"

"Kirani, Pak."

"Kirani apa?"

"Kirani saja."

"Kirani saja. Apa kamu ...."

"Maaf, Pak. Maksud saya, nama saya Kirani saja tanpa embel apa-apa."

"Iya benar. Saya juga memanggilmu dengan sebutan Kirani saja kan?"

"Maksud saya ...."

"Cukup. Apa kamu tertarik untuk menjadi office girl di kantor ini?" Theo memainkan pulpen dengan jari jarinya.

"Jika kamu tertarik untuk menjadi office girl di kantor ini, maka saya akan mengizinkanmu bekerja di sini. Syarat menjadi asisten pribadi saya adalah seorang perempuan yang tidak memiliki beban hidup. Karena asisten pribadi saya akan bekerja mulai dari saya membuka mata sampai saya memejamkan mata." Theo menatap Kirani dengan seksama. "Dan saya keberatan menerimamu sebagai asisten pribadi."

"Jadi, Bapak meminta saya menjadi office girl?"

"Kamu bersedia?"

Kirani berpikir sejenak. Sebenarnya sangat tidak pantas bagi dia yang seorang sarjana lulusan bahasa Inggris, melamar kerja menjadi office girl di sebuah perusahaan besar. Terlebih dia melamar menjadi asisten pribadi.

Namun dikarenakan kebutuhan hidup yang begitu mendesak, Kirani pun akhirnya mengangguk pasrah.

"Oke. Temui HRD dan bawa CV kamu ke sana."

***

Bugh

"Maaf, Om. Saya tidak sengaja." Seorang anak laki-laki menghampiri lelaki yang tengah menepuk-nepuk jas yang dikenakannya.

Theo menatap bocah kecil berumur lima tahun yang mengambil bola yang tadi dilemparkannya dan mengenai jas Theo. "Rafael," desisnya perlahan.

"Baju Om sangat kotor. Aku bisa meminta ibuku untuk mencucikannya." Bocah kecil itu mengusap jas Theo yang masih menyisakan kotoran bola kasti yang terkena lumpur.

"Nggak perlu. Kamu hanya harus memberikan alasan mengapa melemparkan bola itu padaku?" Theo berjongkok di hadapan bocah kecil itu dan mengusap rambut ikalnya dengan lembut.

Matanya menghangat. Ia teringat pada malaikat kecil yang tiga tahun lalu telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Putra semata wayang yang akhirnya pasrah melawan kanker yang dideritanya.

Bocah kecil itu memainkan bola kasti tanpa berani menatap Theo. "Aku minta dibelikan mainan sama ibu. Tapi ibu tidak mau membelikannya. Ibu bilang dia tidak punya uang." 

"Mungkin ibumu memang tidak punya uang."

"Tapi aku mau beli mainan itu. Semua teman-temanku memainkan robot setelah pulang sekolah. Sedangkan aku ...." Bocah kecil itu hanya tertunduk dengan deraian air mata. Ia baru saja bertengkar dengan temannya karena tidak dipinjamkan mainan oleh temannya itu.

"Mainan seperti apa yang kamu mau?" Theo mengangkat dagu bocah kecil itu dan membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Emangnya kenapa, Om?"

"Aku bisa membelikannya untukmu."

"Serius?"

"Iya."

"Waahhh. Terima kasih, Om."

Theo menggandeng tangan bocah kecil berambut ikal itu menuju sebuah toko mainan. Ia membelikan beberapa buah robot beserta mobil remot, membuat bocah kecil itu melompat-lompat kegirangan.

"Rafael pasti juga senang kalau aku ajak ke sini." Theo bergumam sambil menggandeng tangan bocah kecil itu. 

"Bagaimana kalau kita makan es krim?" ujar Theo.

"Beneran, Om?"

"Memangnya wajahku ada wajah pembohong?"

Bocah kecil itu menggeleng. Lalu menarik tangan Theo menuju kedai es krim yang terletak tak jauh dari toko mainan. 

Mereka menikmati es krim rasa coklat itu dengan sukacita. Terlebih bocah kecil yang saat ini mulutnya sudah belepotan dengan coklat es krim.

"Namamu siapa? Kita belum berkenalan, kan?" Theo mengulurkan tangannya pada bocah kecil itu.

"Kevin, Om. Nama Om siapa?"

Theo termenung sejenak. Ia seperti pernah mendengar nama Kevin beberapa jam yang lalu. Namun ia tidak ingat di mana mendengar nama tersebut.

"Om? Nama Om siapa?"

"Evan. Kamu bisa panggil Om dengan sebutan Om Evan." 

"Nama yang keren."

"Masa sih?" 

"Iya."

Mereka tergelak sambil menikmati sisa es krim yang mereka beli. Theo membersihkan mulut Kevin dengan lembut, sebelum mengantarkan bocah kecil itu pulang ke rumah.

"Ibuku sudah pulang. Dia pasti marah karena aku terlambat pulang ke rumah." Kevin berlari dengan begitu cepat ketika melihat di halaman rumahnya terparkir sebuah sepeda motor Scoopy berwarna merah.

Theo menatap punggung Kevin yang perlahan menghilang di balik pintu. Selanjutnya dia mendengar omelan demi omelan dari seorang perempuan dan seorang anak kecil yang sepertinya tengah berdebat.

"Rafael Sayang, seandainya kamu masih hidup. Kamu pasti saat ini sudah sebesar Kevin." Theo berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tak boleh lemah dan bersedih karena itu adalah permintaan terakhir Rafael.

Lelaki itu meminta diantarkan oleh sopirnya menuju sebuah sungai yang membentang luas di kota Jambi. 

Sungai yang begitu tenang yang di pinggirnya dipenuhi wisata kuliner. Ia teringat pada Rafael kecil yang dulu masih berumur dua tahun yang begitu teramat sangat dicintainya. Ia sering mengajak bocah itu berkeliling di sekitaran sungai Batang Hari sekedar menikmati jagung bakar atau sate Madura.

"Heru, cari tahu informasi tentang anak kecil tadi," perintah Theo pada anak buahnya.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
pak Theo ini mo cari asisten pribadi atau mo cari istri siih......tes wawancara tapi kok mesum...yg diliatin bibir Kirani muluuuu...
goodnovel comment avatar
Langit_Biru
baru berapa jm ud lupa nm kevin ank siapa, duhh theo kevin ank Kirani, gk ap2 office girl pun jd kirani yg penting kerja dulu
goodnovel comment avatar
Kirani Kirani
Kevin anaknya Kirani, Theo masa kamu g ingat sih eh malah minta Heru buat cari tau kkevin itu siapa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status