Share

8. Menanyakan Jati Dirinya

Arhur dan rombongan elf menuruni lembah yang dangkal. Pepohonan di sana semakin jarang. Ada jalanan di tengah-tengah pepohonan, itu adalah jalan utama menuju ke pasar dan pedesaan. Tak heran jika permukaannya mulus dan terawat.

Arthur memberikan pesan terakhir kepada para elf untuk berhati-hati di jalan. Sementara elf-elf itu menembus pepohonan di seberang jalan, Arthur justru mengambil jalan utama yang akan membawanya sampai ke pasar.

Di tangan laki-laki itu terdapat sebuah kertas, kertas yang ditingalkan sang ayah sebelum meninggal. Sejak dia membaca bagian kertas itu, hidupnya merasa tak tenang. Dia tidak mengerti, bagaimana mungkin kisah hidupnya yang membosankan, yang bisa diringkas dengan sebuah kalimat justru ditulis orang lain dengan silisilah rumit yang tidak dia mengerti sama sekali. Lebih anehnya lagi, silsilah itu sama sekali tidak mencantumkan nama ayahnya yang baru meninggal dua hari yang lalu. Itu semakin membuatnya khawatir, bahwa orang yang selama ini merawatnya sejak kecil, bukanlah ayahnya yang sesungguhnya. Jika itu benar, lalu siapa dirinya?

Arthur tak sadar dia sudah berada di jalanan yang ramai. Kendaraan-kendaraan sederhana dan kereta kuda mulai memenuhi jalanan. Orang-orang berjalan berdampingan dengan suka cita. Pasar semakin dekat.

Suara orang-orang saling tawar menawar memenuhi telinga Arthur. Laki-laki itu menatap ke beberapa arah. Dia tau tempat yang ingin ia tuju masih jauh dari sini dan tidak ada alasan penting yang membuatnya menatap kedai itu satu persatu. Hanya saja, hal itu membuatnya merasa terkenang akan sang ayah yang telah meninggalkannya selama-lamanya.

Arthur terus berjalan dan menyapa beberapa orang yang ia kenal. Sampai di sekitar pinggiran pasar, Arthur berhenti di depan kedai kecil tempat sayuran ditata rapi di atas wadah dan beberapa digantung di atasnya. Pemilik kedai ini adalah sabahatnya, Yemima. 

Yemima sudah jadi sahabat Arthur sejak dulu. Saking akrabnya, mereka sering kali saling bercerita tentang masalah masing-masing. Arthur biasanya datang ke kedai ini untuk mengantarkan sayuran hasil pertaniannya, tetapi kali ini dia datang dengan berita duka. Tanpa mengatakan lebih dulu, Yemima sudah tau kalau pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.

Arthur duduk di salah satu kursi kayu yang sudah lapuk. Tubuhnya mendadak melemah karena sampai di tempat satu-satunya orang yang akan mengasihaninya jika dia menangis. Tetapi Arthur tidak lemah. 

"Kau tidak bawa apa-apa?" tanya Yemima sambil menatap sekujur tubuh Arthur yang kosong tanpa satu untaipun buah-buahan atau sayuran. Yemima duduk di sebelah Arthur. Meneliti ekspresi sedih diwajah pemuda itu.

"Ayah meninggal."

Yemima membelalak. Napasnya tertahan selama beberapa detik, lalu dia menutup mulut dengan kedua tangan. "Apa yang kau katakan?"

"Aku tidak bercanda," sahut Arthur dengan nada getir. Yang justru membuat rasa sedihnya semakin larut.

"Apa yang terjadi?" Yemima berkaca-kaca.

"Pemburu."

"Oh, tidak. Aku sama sekali tidak memikirkan masalah itu," sahut Yemima dengan nada suram. "Aku berharap kau datang dengan sayuran yang banyak karena pelanggan-pelangganku sangat suka sayuran darimu, tapi kau datang dengan kabar .... Aku merasa sangat menyesal sudah mengharapkan hal lain."

Arthur menoleh ke arah Yemima setelah sekian lama berkutat dengan kesedihan dalam otaknya. "Aku tidak mengerti. Kepergian ayah justru membawa pertanyaan besar."

Yemima melunturkan ekspresi sedihnya. Menatap keheranan. 

Arthur merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah terlipat-lipat tak jelas. "Sebuah garis keturunan."

Yemima mematung seperti saat pertama kali dia mendengar kematian Robby. Tetapi kali ini dia tidak sedih, melainkan terperangah. 

Arthur menegakkan duduknya. Berusaha menyimpan rasa sedihnya dalam-dalam untuk membaca kertas berisi namanya dengan nama aneh lain untuk kesekian kalinya. Saat otaknya berputar dan berusaha mengingat nama-nama yang tertulis di sana, dia selalu berakhir putus asa karena tak bisa mengenal satu pun dari nama-nama itu.

"Kau sering bersama dengan ayah sebelum bersahabat denganku, kupikir kau akan tau sesuatu tentang hal ini."

Yemima masih menutup mulut rapat-rapat membuat Arthur curiga. "Kenapa?" tanya Arthur membuat Yemima menggeleng. "Kau tau sesuatu tentang ini?"

Yemima menggeleng sekali lagi. "Sayangnya tidak," sahutnya dengan senyuman canggung. Dia menelan saliva yang justru membuat Arthur semakin curiga dengan gerak-geriknya.

"Tunggu, kau tau sesuatu tentang ini."

Yemima mengangkat tangannya. "Aku tidak tau apa-apa. Sungguh!" Dia bangkit untuk melayani dua orang pelanggan yang sedang memilih sayuran hijau. Arthur ikut bangkit merasakan kepergian Yemima hanya untuk menghindar dari pertanyaanya.

"Kau tau sesuatu, Yemima. Kau tau tentang kertas ini. Katakan padaku sekarang juga."

Yemima melirik sekilas. "Aku tidak tau apa-apa. Jangan tanya aku," tegasnya.

"Aku nyaris tidak tidur semalaman hanya untuk memikirkan tentang silsilah yang tertulis di sini."

"Kalau begitu, tidak usah dipikirkan."

Arthur menatap tak percaya. "Ada namaku tertulis di sini. Sedangkan nama ayahku tidak ada. Hanya ada nama-nama aneh yang sama sekali tidak kukenal. Apa ini cuma karangan omong kosong seseorang? Jangan bilang kau ingin mengatakan alasan itu dengan menyuruhku untuk tidak memikirkan tentang kertas ini."

Yemima mengabaikan Arthur dengan meladeni dua pelangganya yang sama-sama terheran dengan kemarahan Arthur.

"Yemima, kalau kau tau sesuatu, tolong beritau aku. Aku ... mohon!" Arthur menatap memelas ke arah Yemima.

"Oke, cuma itu saja?" Yemima bicara kepada dua pelangganya.

"Ya," sahut pelanggan perempuan tanpa mengalihkan pandangan dari Arthur. Dia mengambil uang dari dompetnya untuk diberikan kepada Yemima.

"Terima kasih," kata Yemima mendapat anggukan dari pelanggannya yang berlanjut pergi dari sana.

Kini Yemima tak punya kesempatan untuk mengabaikan Arthur, tidak ada pelanggan yang bisa dia gunakan untuk pura-pura tuli dari ocehan Arthur.

Yemima menarik napas panjang. Duduk di bangku yang sebelumnya pernah dia duduki. Arthur masih berdiri di tempat yang sama dengan kepala tertunduk frustasi. 

"Kau bukan anaknya Robby."

Arthur mendongak dengan ekspresi terperangah. Tubuhnya menegang seolah merasakan sengatan listrik saat mendengar satu kalimat yang bisa diucapkan sepersekian detik itu. Dia pernah menduga hal itu dan berusaha menyangkal bahwa dia adalah anak kandung Robby, ternyata mimpi buruknya adalah nyata.

"Kau putra seorang raja."

Arthur semakin terperangah. Dia menarik kursi kayu yang sudah bulukan dan menatap Yemima dengan wajah memerah. "Robby bukan ayahku dan aku putra seorang raja?"

"Aku sudah memberitahu apa yang kuketahui," kata Yemima tanpa ekspresi. Di mana seharusnya rahasia ini tidak boleh didengar Arthur sampai kapanpun.

"Jadi, kertas ini bukan omong kosong?" Arthur menunjuk kertas di tangannya.

"Entahlah," sahut Yemima membuat rasa penasaran Arthur berada pada puncaknya.

"Entahlah? Jadi maksudmu, orang-orang di kertas ini cuma karangan omong kosong? Dan aku adalah putra seorang raja? Maksudmu aku pangeran? Raja mana yang kau maksud?"

"Sudah kubilang, aku sudah memberitahumu segalanya. Jangan beri aku pertanyaan lagi. Pergilah dari sini!" Yemima mengusir Arthur keluar dari kedainya membuat Arthur menatap tak percaya. Tetapi Arthur tidak kembali ke dalam kedai. Setidaknya, dia tau satu hal. Dia adalah seorang pangeran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status