Share

Catatan Ketiga : Sebuah Teka-Teki

Tuan Putri Serenada adalah perempuan tipe pemaksa. Semua orang harus mau menuruti apa katanya. Apa boleh buat? Lebih baik ku ikuti saja dulu kemana dia mengarah nantinya.

"Yaa... baiklah!"

"Yeah! Itu baru Artemis, temanku! Aku mau melihat apa alat pemutar musik yang kita temukan tadi ada isi memorinya atau tidak?"

"Ini cuma alat kuno biasa. Tidak ada isinya!"

Serenada langsung merebutnya dariku. Tentu saja itu buatku terkejut. Dia melihat lebih teliti lagi benda itu.

"Kau kurang teliti. Bagaimana mungkin orang sepertimu bisa menjadi Arkeolog?"

Nah, mulai lagi dia meledekku. Serenada memaksa membuka pemutar musik itu dan tiba-tiba ada yang terjatuh saat alat itu terbelah menjadi dua.

"Hei, alatnya rusak! Kalau sudah begini jadi tidak berharga lagi."

Serenada tak menghiraukanku. Dia mengambil benda kecil tadi yang terjatuh. Lalu menunjukkannya padaku. Rupanya ada memori yang hampir sama bentuknya dengan yang tadi.

"Kita lihat apa isi memori ini."

Saat memori tadi dimasukkan ke dalam alat pembaca, tiba-tiba muncul gambar. Oh, hanya foto jaman dulu. Eh, tapi tunggu dulu! Ini foto-foto yang menunjukkan kondisi Bumi jaman dulu. Memang kuakui kondisi alamnya masih bagus dipenuhi dengan hijauan tanaman.

Tuan Putri Serenada asik melihat kumpulan foto dalam proyeksi. Tapi kurasa, ini sangat berbahaya! Bagaimana jika robot polisi tahu akan hal ini? Aku segera menjatuhkan alat itu. Jika ada file semacam ini di benda yang kami temui biasanya sudah dihancurkan.

"Kau gila ya! Aku baru saja mau melihat foto yang lain. Kenapa alatnya malah dijatuhkan?"

"Kumpulan foto tadi berbahaya! Sama saja dengan pelanggaran disini, bagaimana kalau robot polisi yang sedang patroli tahu akan hal ini?

Orang tidak boleh tahu, bahwa dulu Bumi punya aneka macam tanaman asli bukan hasil pengembangbiakan kultur sel dari tanaman aslinya. Sebab di masa sekarang, susah mengembangkan tanaman atau binatang yang ada di jaman dahulu. Semuanya sudah kami anggap musnah. Tanaman yang ada sekarang pun dikembangkan dalam laboratorium hanya untuk menghasilkan oksigen saja.

"Letakkan saja alatnya di bawah. Supaya sinarnya tidak terlalu nampak dari luar jendela."

"Lalu bagaimana kita melihatnya?"

"Seperti orang tiarap saja, Artemis."

Posisi ini kurang enak, tapi sejujurnya aku masih penasaran. Kami berdua melihat kembali isi memori itu, tapi tiba-tiba terdengar suara musik yang cukup kencang dari alat pembaca memori tadi.

"Matikan alat itu, Serenada!"

"Iya, sabar dikit! Mana tombol powernya ya? Nah, ini dia!"

Aku dan Serenada bernapas lega. Suara musik tadi nyaris membuatku ingin berlari dan loncat melalui balkon yang ada di luar kamarku ini.

"Maaf ini otomatis. Tapi foto-foto tadi membuatku takjub. Benar dulu Bumi sangat indah."

'Ya, itu Bumi yang dulu sebelum masa transisi. Mungkin kau belum lahir."

"Kita tidak akan menemukan tanaman dan makhluk lainnya lagi di luaran sini, Artemis. Semuanya sudah digantikan oleh buatan manusia. Seperti robot misalnya."

"Tapi tanaman masih ada di laboratorium. Berbeda dengan di foto tadi, tanaman tersebar luas. Andai itu semua masih ada."

"Atau mungkin itu masih ada...?"

"Hah? Ulangi lagi kata-katamu Serenada!"

"Eh, tidak jadi!"

Aku curiga Serenada sudah mengetahui sesuatu tentang dunia luar. Mungkin sudah banyak yang dia lihat dari benda elektronik kuno yang kami termukan. Beruntungnya dia anak Tuan Presiden. Masih bisa lolos dari hukuman yang ditetapkan ayahnya sendiri.

"Jadi, bagaimana Artemis? Masih kau tidak percaya tentang dunia di luar Dome?"

"Itu dulu, Serenada! Kita tidak tahu kondisi sekarang seperti apa?"

"Novan tahu, Artemis. Dia sudah pernah melihatnya dari...."

"Ah, sudahlah! Aku mau tidur, Serenada. Besok kita lanjutkan lagi. Apa perlu aku antar kau sampai rumah? Ini sudah malam."

"Eeh... tidak usah! Aku bisa pulang sendiri. Tapi janji ya, kita akan bicarakan lagi soal ini."

"Iya, ya! W115, kemarilah!"

"Anda memanggil saya, Tuan?"

"Ya, tolong antarkan Tuan Putri Serenada sampai ke pintu."

"Baik, Tuan Artemis. Lewat sini, Tuan Putri."

"Iya, aku sudah tahu jalannya!"

Aku tidak ikut turun mengantar Serenada. Dia nampak kesal karena aku mengusirnya. Hanya kulihat saja dari lantai dua sampai dia benar-benar menghilang dari pintu utama rumah ini. Baru aku masuk ke kamar lagi.

"Baiklah, sekarang saatnya tidur."

"Janji ya, Artemis! Kita akan bicara lagi soal ini."

Jantungku rasanya mau copot melihat Serenada terbang mendekati balkon kamarku. Usai berkata begitu, dia langsung terbang dengan Flying Skate miliknya. Aku hanya berkacak pinggang melihatnya pergi menjauh. Sepertinya dia sempat tersenyum jahil sebelum pergi tadi.

***

Didalam Dome memang keamanan lebih terjaga. Kami bisa tidur tenang setiap hari, tanpa harus memikirkan kasus kriminal yang ada. Sebab peraturan disini membuat siapapun takut untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Tapi rasanya setelah malam ini, setiap hari semuanya akan berubah. Aku sudah tahu sesuatu hal yang tak boleh kuketahui. Apakah itu sebuah pelanggaran?

"Eh, alat pembaca memori? Kenapa masih ada disini?"

Serenada lupa membawanya, lebih baik ini disimpan saja. Besok akan aku kembalikan diam-diam ke laboratorium.

***

Hari ini tidak ada laporan penemuan benda. Aku dan Serenada berada di laboratorium bersama Dova. Diam-diam ku kembalikan alat itu ke raknya.

"Aku sejak kemarin mencari pembaca memori. Kemana benda itu ya?"

Serenada yang tahu nampak tak peduli. Wajah Dova sudah berkerut dan sesekali mendengus kesal. Seingatnya dia menaruh di tempat yang sama di atas rak.

"Nah, kok ada lagi di rak ini. Aneh, kemarin tidak ada sama sekali!"

"Mungkin kau lupa, Dova."

"Tidak, Tuan Putri Serenada. Aku selalu meletakkan alat kembali ke asalnya atau...."

"Jangan berpikir kalau ada penyusup disini. Untuk masuk saja susah butuh ID. Selama ini hanya kita bertiga bukan?"

"Benar, itu artinya ada yang mengambilnya diantara kita bertiga."

Suasana sesaat hening. Aku dan Tuan Putri Serenada merasakan sesuatu hal yang tak biasa. Kami berdua tak berani menengok ke wajah Dova. Apalagi aku yang diam-diam mengembalikannya ke tempatnya semula.

"Hei, bukan aku pelakunya!"

"Aku untuk apa mengambilnya? Cara memakainya saja tidak tahu!"

Dova masih saja diam. Firasatku tidak enak! Suasana disini rasanya berubah total. Pundakku dan Serenada tiba-tiba dipegangnya.

"Lepaskan, Dova! Jangan menakutiku seperti itu!"

"Maaf, Tuan Putri Serenada dan Artemis. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda pada kalian berdua."

Apakah Dova tahu apa yang aku dan Serenada lakukan tadi malam? Meminjam alat itu tanpa izin? Ah, lagipula itu kerjaan Serenada. Bukan aku!

"Kalian ikutlah bersamaku...."

Dova benar-benar nampak berbeda. Aku dan Serenada hanya mampu saling memandang. Tanda tanya besar bagi kami berdua tentang apa yang akan dilakukannya pada kami. Hanya bisa mengikutinya dalam diam.

Saat Dova meraba bagian tertentu pada dinding laboratorium, tiba-tiba bergeser dan terbuka layaknya pintu rahasia. Ukurannya tidak terlalu besar dan untuk memasukinya, kami harus menunduk sambil terus berjalan. Sampai akhirnya kami ada di sebuah ruangan yang hanya ada meja bundar satu dan dua tempat duduk.

"Dova, ruangan apa ini? Aku tidak pernah tahu sebelumnya."

"Bahkan ayahmu pun tidak akan pernah tahu, Tuan Putri."

Mata Serenada langsung membelalak. Sebab yang ia tahu, ayahnya selalu paham setiap ruang yang ada di gedung penting sekelas Laboratorium Utama ini. Bagaimana bisa ruang rahasia ini terbentuk?

"Ini adalah ruang paling aman. Tidak ada kamera pengawas, kedap suara, dan hanya dua orang yang tahu. Kini jadi bertambah dan aku berharap kalian bisa menjaga rahasia ini."

"Dova, apa maksudmu?"

"Aku sudah tahu diantara kalian berdua yang mengambil alat pembaca memori. Tapi tidak masalah! Ayo duduk dulu dan kita bicarakan disini."

Dova bercerita jauh sebelum adanya kami, dia dan Profesor Sanders yang bekerja disini. Mereka terus mengembangkan alat untuk bisa mempermudah pekerjaannya, meneliti alat-alat kuno buatan manusia dulu. Apakah berbahaya dan bisa mempengaruhi pikiran orang agar membelot atau tidak?

Benar, Dome jadi aman karena mereka berdua. Tidak ada manusia disini yang tahu akan kondisi di luar sana. Namun, ada rasa bersalah dari Profesor Sanders. Hingga ia memberitahu Dova bahwa ada misi lain dibalik ia membuat alat itu. Ia ingin Dova juga tahu seperti apa indahnya Bumi yang sebenarnya.

"Sayangnya sekarang aku tidak tahu, Profesor Sanders ada dimana. Mungkin saat mencoba menembus perbatasan Dome, dia dihapus datanya oleh robot atau Cyborg yang menjaga disana."

"Bisa jadi masih hidup di luaran sana. Dia profesor, bukan orang bodoh! Pasti dia sudah mempelajari kelemahan para penjaga perbatasan."

"Hah? Benar juga apa katamu, Artemis!"

Dova memegang kepalanya sesaat. Dia merasa bodoh karena tidak berpikir sampai kesana. Baru kembali melanjutkan tentang apa yang selama ini disembunyikannya.

"Tuan Qin selaku Pemimpin Divisi Keamanan Dome sempat mencurigaiku juga. Tapi dia tidak menemukan apapun yang bisa menjadi bukti untuk dibawa kehadapan ayahmu, Tuan Putri."

Serenada hanya tersenyum kecil. Ternyata tidak hanya dia yang sudah mengetahui tentang dunia luar, tapi juga Dova.

"Profesor sempat menitipkan pesan terakhirnya padaku, sebelum akhirnya dia menghilang. Aku diminta untuk tetap berada disini sampai akhirnya bisa keluar dari Dome."

"Dova, tapi itu sebuah pelanggaran! Kita tahu resikonya."

"Ya, tapi masihkah kau mau hidup di dalam sebuah kubah kaca bernama Dome ini selamanya Artemis?"

Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan Dova. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Sebab yang ada dipikiranku masih saja tentang bahayanya dunia di luar Dome.

"Kalau tidak pernah dicoba, mana bisa tahu? Soal dunia luar, aku sempat tahu dari ibuku."

"Dan ibumu itu lari dari sini juga, Tuan Putri. Profesor Sanders yang pernah memberitahukannya padaku."

"Kau tidak berbohong bukan?"

"Untuk apalagi aku berbohong? Dengan masuknya Tuan Putri dan Artemis kemari, artinya aku sudah percaya pada kalian berdua."

"Baiklah, kita tidak perlu berbasa-basi lagi! Apa yang ingin kau cari selama ini, Dova?"

Dova menyibak rambut poni yang menutupi kacamatanya. Senyumnya nampak berbeda kali ini. Dia sedikit membenarkan letak posisi kacamata berteknologi tinggi buatannya sendiri.

"Sayangnya, kalian berdua sudah tahu. Jadi harus ikut rencana yang sudah ku buat ini."

"Mau mencari tahu tentang dunia luar? Tentu saja kami mau!"

Serenada akhirnya angkat bicara. Ia tak lagi ragu, tapi justru aku yang meragukan Dova. Soal Profesor Sanders tentu aku tahu, tapi yang tidak kuketahui selama ini adalah rencana dibalik semua ini.

Apakah aku harus mempercayai Dova kali ini? Bagaimana jika ternyata dia berbohong?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status