"Lucu sekali!"
Ruriko menatap gemas pada benda dalam genggamannya. Sebuah boneka mungil berbentuk malaikat menjadi incarannya. Awalnya ia hanya sekedar jalan-jalan di perkotaan selepas pulang kerja. Saat melihat-lihat kaca pajangan toko, sebuah gantungan kunci malaikat langsung menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang, Ruriko memasuki toko pernak-pernik untuk mencari gantungan itu. Tak lama kemudian, ia sudah berhasil mendapatkannya.
Seperti mendapat harta karun, Ruriko pun membawa boneka itu ke kasir lalu membayarnya. Setelah itu, senyum puasnya tak henti merekah. Sambil memandangi gantungan kunci itu, Ruriko meneruskan perjalanannya menuju ke rumah.
Malaikat selalu menjadi sosok yang Ruriko puja. Ia langsung menyukai hal-hal yang berhubungan dengan makhluk bersayap putih itu, mulai dari lukisan, pajangan, dekorasi, sampai pernak-perniknya. Kalau bisa, ia pasti akan langsung membelinya untuk dijadikan koleksi.
Makhluk itulah yang sudah menyelamatkan hidup Ruriko, mungkin juga hidup banyak orang. Meskipun keberadaan mereka tak terlihat, Ruriko percaya kalau mereka benar-benar ada. Apalagi, ia sudah pernah bertemu dengan salah satu di antaranya, malaikat maut itu.
Helaan nafas Ruriko terdengar. Sudah enam tahun berlalu. Ruriko kini menjalani hidup sebagai manusia biasa. Tetapi, keinginannya untuk bertemu dengan malaikat maut itu masih kuat. Andai saja malaikat bisa terdeteksi oleh pandangannya, ia pasti akan berusaha mencari keberadaan si malaikat maut.
Andai saja.
Ketika Ruriko hendak menyimpan gantungan itu di dalam tas, ia tertegun melihat sebuah bulu sayap ikut tertadah di situ. Langsung saja, diambilnya bulu sayap itu lalu diterawang nya dengan penuh keterkejutan.
Di udara, helai demi helai bulu sayap berjatuhan. Ruriko terpana menyaksikan fenomena yang terjadi tepat di depan matanya. Semakin banyak bulu sayap putih berjatuhan lalu terbang memutar. Setelah itu, penglihatan lainnya semakin sulit untuk dipercaya.
Pertama kali, muncul sepasang sayap putih seperti merpati yang membentang dengan indah. Lalu, sosok makhluk berpenampilan serba putih pun berdiri tepat di depan Ruriko. Wujudnya adalah seorang pemuda dengan rambut berwarna coklat. Ruriko ingin menganggap kalau sosok itu adalah manusia, tetapi sepasang sayap di punggungnya menampilkan perbedaan tersendiri. Ditambah lagi, kehadirannya tidak disadari oleh orang-orang di sekitarnya, terkecuali Ruriko.
Gadis itu membekap mulutnya, terkesiap. Ia mencubit pipinya lalu merasa kesakitan. Dari situ ia yakin kalau fenomena ini bukanlah mimpi atau imajinasinya.
Itu malaikat! Tidak salah lagi! Akhirnya Ruriko berhasil menemukan salah satu dari mereka. Jantungnya berdegup kencang karena antusias. Ia ingin langsung mendatangi malaikat itu, tetapi takut membuat makhluk itu terkejut. Lagipula ia tak mau ulahnya menarik perhatian para pejalan kaki. .
Gerak-geriknya seperti manusia, mengulet sambil mengerang pelan. Setelah itu makhluk itu berkacak pinggang. Kepalanya celingak-celinguk seperti tengah mencari-cari sesuatu. Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi tepat di belakangnya.
Malaikat itu membuat pergerakan. Tubuhnya menembus kerumunan manusia. Ruriko berupaya mengekori pergerakan malaikat itu. Helai demi helai bulu yang luruh dari sayapnya menciptakan jejak tersendiri. Meskipun wujudnya tersamar di antara manusia lain, Ruriko tetap bisa mendeteksi keberadaannya lewat bulu-bulu itu.
Hendak ke mana dia? Ruriko terus bertanya-tanya di tengah penguntitan nya. Meninggalkan keramaian, Ruriko kini mencapai kawasan rumah penduduk. Sekitarnya berderet apartemen-apartemen dengan kelas standar. Satu gedung hanya terdiri dari dua sampai tiga lantai.
Suasana di sekitarnya sepi, jadi tak ada yang bisa memergokinya bicara dengan makhluk tak kasat mata. Ruriko tersenyum puas. Ia langsung mempercepat langkahnya lalu mencegat makhluk itu.
“Kau malaikat, bukan?” Suara Ruriko berhasil menghentikan langkah makhluk itu. Si malaikat tertegun sambil memperhatikan seorang gadis yang menatap lekat-lekat matanya. Apakah manusia itu bisa melihat wujudnya?
“Kau bisa melihatku?” Telunjuknya mengarah pada gadis itu. Anggukan Ruriko membuat makhluk di hadapannya terkejut. Tentu saja, belum ada manusia yang pernah melihat wujud malaikat itu sebelumnya.
"Bagaimana bisa?"
“Aku juga tidak tahu. Hanya melihat bulu sayapmu lalu kau muncul.” Ruriko menjelaskan sambil maju selangkah agar jarak keduanya lebih dekat. Tetapi, makhluk itu sepertinya masih terkejut dan takut, sehingga ia langsung mundur.
“Tidak mungkin! Manusia seharusnya tak bisa melihat kami.” Malaikat itu gelisah.
“Sudahlah. Aku tak berniat jahat! Aku hanya ingin bertanya padamu. Ada malaikat yang sedang aku cari.” Tanpa menggubris reaksi makhluk itu, Ruriko mencerocos. Malaikat itu hanya tertegun sambil mengerjapkan mata.
“Malaikat maut. Rambutnya pirang. Sayapnya warna abu-abu. Kau lihat tidak?”
"Malaikat maut? Kau punya urusan apa dengan malaikat itu?" Malaikat bersurai coklat itu nampak bingung.
"A-aku ….." Ruriko tercekat. Ia berpikir lagi, haruskah menceritakan pengalamannya enam tahun silam? Kalau ia membeberkan semuanya, beserta aksi nekat malaikat itu membebaskannya dari takdir kematian, bagaimana reaksi malaikat ini? Mungkinkah akan terjadi kekacauan yang menyebabkan malaikat penolongnya dihukum?
Kejadian itu sebaiknya ia rahasiakan saja. Cari alasan lain yang tak membuat malaikat di hadapannya curiga.
"Aku ... hanya sedang mencarinya....." Ruriko gugup, terlebih jawabannya malah terdengar aneh.
"Jangan bilang kau ingin mati." Mata malaikat itu memicing curiga. Ruriko langsung gelagapan.
"T-tentu saja bukan!" Bantah gadis itu "Aku….." Ia sudah kehabisan kata-kata. Sosok di hadapannya menghela nafas.
"Kau tahu, malaikat maut itu banyak!" tegasnya pada Ruriko "Begini! Aku tak tahu bagaimana kau bisa melihat kami, atau apa tujuanmu mencari malaikat itu. Yang jelas nona, sebaiknya kau jangan berhubungan dengan kami karena dunia kita ini berbeda."
"Tapi ...." Ruriko seketika kecewa. Raut wajahnya dibuat memelas agar makhluk yang terkenal penuh belas kasih itu menaruh iba padanya. "Aku tetap ingin bertemu dengannya."
Sayangnya, sikap Ruriko tak bisa meluluhkan hatinya sedikitpun. Dengan raut tegas dan galaknya, si malaikat berkacak pinggang. "Tidak bisa!" tolaknya. "Sudah kubilang, kita sebenarnya tak bisa saling berhubungan, jadi sebaiknya kau urungkan saja niatmu itu!"
Setelah memarahi gadis itu, sang malaikat pun beranjak pergi. Tanpa pikir panjang, Ruriko kembali membuntutinya. Sang malaikat berpaling lalu melotot sambil berkacak pinggang.
"Nona! Jangan ikuti aku!"
"Aku tak akan mengganggumu kalau kau mau memberikan sebuah informasi untukku. Selama kau masih bungkam, aku akan mengikutimu terus!" tekad Ruriko. Makhluk di hadapannya berjengit sebal.
“Tidak ada yang perlu kau ketahui!” Malaikat itu berpaling. Ia meneruskan langkahnya, kali ini setengah berlari untuk menghindari gadis itu. Ruriko ikut mempercepat langkahnya untuk menyusul si malaikat. Adegan kejar-kejaran pun tak bisa dihindari. Malaikat itu membawanya mengitari area rumah penduduk sampai mengembalikannya ke pusat keramaian. Ruriko mulai kesulitan saat menyusul sang malaikat di antara kerumunan manusia. Untung saja, bulu-bulu sayap malaikat yang berjatuhan bisa membantu Ruriko untuk mendeteksi keberadaannya.
“Tunggu!” Ruriko tak peduli lagi dengan orang-orang yang memandangnya heran. Memang, dalam sudut pandang manusia biasa, Ruriko seperti berlari sendirian.
“Hei!” Ruriko berseru saat sang malaikat masuk ke salah satu pertokoan. Tapi, bukannya melewati pintu. Malaikat itu menembus dinding lalu menghilang, dengan meninggalkan jejak bulu sayap yang ikut lenyap saat menyentuh tanah. Ruriko yang sadar kalau tubuh padatnya akan menabrak dinding itu pun seketika mengerem paksa langkahnya. Namun terlambat. Kepala Ruriko membentur permukaan dinding sehingga gadis itu jatuh terduduk.
“Sakit.” Ruriko mengusap keningnya.Aksinya menarik perhatian orang-orang, termasuk para pegawai toko. Salah satu pegawai membantu Ruriko berdiri. Gadis itu meringis canggung.
“Anda tidak apa-apa, nona?” tanya pegawai itu heran. Ruriko menggeleng cepat.
“Maaf. Aku sedang melamun.” Ruriko membuat alasan yang tak masuk akal. Ia pun langsung meninggalkan lokasi dengan muka yang terus menunduk karena malu. Pasti mereka menganggap Ruriko aneh. Semua itu karena ia harus mengejar sosok tak kasat mata.
Sekarang, ia kehilangan jejak malaikat itu. Ruriko tak tahu lagi harus mencarinya ke mana. Ia pun mendesah pasrah. Mungkin saja ia harus memulai pencariannya dari nol. Atau bahkan harus kembali menyerah.
Ruriko menghadapi jalan buntu. Erangan kesal lepas dari mulutnya, tetapi tak berlangsung lama. Panggilan dari seseorang mengembalikannya ke dunia nyata.
"Ruriko ... kau Ruriko, kan?"
Ruriko berpaling. Kedua mata gadis itu membulat. Telunjuknya mengarah pada sosok gadis berambut hitam panjang yang tengah membawa kantong belanja di kedua tangannya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan teman lamanya.
"Kasumi!" Ruriko terkejut, bukan saja karena pertemuan mereka yang tidak disengaja itu, melainkan juga adanya perbedaan yang mencolok di tubuhnya. Perut Kasumi terlihat besar dan bulat. Ciri-ciri itu jelas sebagai tanda kalau ia tengah mengandung.
"Ruriko, lama tak jumpa!" Kasumi tersenyum sambil mendekatinya. Kedua mata Ruriko masih terbelalak. Mulutnya menganga, tak lama ikut menyunggingkan senyum.
"Kasumi, kau…."
Kasumi hanya mengangguk-angguk masih dengan senyum di wajahnya. Ruriko langsung heboh. Dengan antusias ia pun meraih lengan gadis itu.
"Selamat ya!" Mata Ruriko berbinar. Ikut senang rasanya melihat sahabatnya sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Kasumi masih mengangguk dengan senyum di wajahnya.
"Karena sudah lama tak bertemu, mau ngobrol-ngobrol dulu?" Ajakan Kasumi langsung disetujui Ruriko. Kedua gadis itu pun mampir ke kedai terdekat. Derai tawa terdengar saat keduanya tengah berbincang sambil berjalan.
Di seberang jalan, muncullah sehelai bulu sayap yang langsung berubah wujud menjadi sosok makhluk bersayap putih. Mata malaikat itu memperhatikan dua gadis yang kini sedang duduk berhadapan di salah satu meja yang terletak persis di samping kaca jendela kedai. Raut mukanya tampak serius. Sang malaikat bersedekap lalu menghela nafas.
“Kenapa dia mesti bersama wanita itu?” keluhnya.
Dua piring kue serta dua cangkir teh tersaji di atas meja. Ruriko dan Kasumi menikmati penganan bagian mereka. Setelah beberapa suap, barulah mereka menyesap secangkir teh hangat. Rasanya mereka merindukan momen ini: ketika keduanya makan bersama seraya berbincang hangat. Padahal dulu mereka adalah sahabat dekat. Setelah lulus, keduanya lalu sibuk meniti karir sampai akhirnya hilang kontak. Beruntung, mereka akhirnya bisa bertemu lagi sekedar untuk saling berbagi cerita. Pastinya banyak hal yang sudah terjadi.Kasumi meletakkan cangkir tehnya lalu mengarahkan pandangan pada gadis yang masih sibuk mengacak-acak kue red velvet. Senyum lembut wanita itu tersungging melihat tingkah temannya. “Bagaimana kabarmu Ruri-chan? Bekerja di mana sekarang?”Sosok itu tak bereaksi. Kasumi sedikit heran. Ia pun langsung menepuk punggung tangan R
Dengan semangat membara, Ruriko melewati kerumunan manusia yang berjejal di trotoar. Sore itu, Ruriko buru-buru pulang dari kantor menuju ke area apartemen di pinggir kota, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan sang malaikat.Sampai di area apartemen, Ruriko mulai memelankan langkahnya. Sambil terus mengedari pandangan, kaki Ruriko menapaki jalanan berpasir. Ia pun berhenti sejenak lalu celingak celinguk. Seperti kemarin, suasana di lokasi ini amat sepi, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ditambah dengan suasana sore. Langit menggelap. Kumpulan gagak berkoak.Ruriko mengusir rasa takutnya. Ia bertekad tak akan pulang sebelum bertemu dengan sang malaikat. Meski ia harus berada di sini sampai tengah malam.Malaikat, ayo tunjukkan dirimu! Sebagai sosok yang terkenal mem
“Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan.”Ruriko menghembuskan nafas lega setelah mendengar ucapan dari sang dokter klinik. Hanya ia yang duduk berhadapan dengan sang dokter di ruang konsultasi. Kasumi masih berbaring di ruang rawat, meski ia sudah siuman. Kondisinya masih lemah sehingga wanita itu perlu beristirahat sebentar.“Selama hamil, sebaiknya jangan bekerja terlalu berat. Mungkin temanmu terlalu memporsirnya sehingga ia kelelahan.” Pria paruh baya itu menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Mungkin saja resep obat. Setelah itu, ia pun menyerahkannya pada Ruriko.“Anda bisa menebusnya di bagian farmasi.”“Terima kasih, Dok.” Menerimanya, Ruriko membungkuk sopan. Setelah mohon diri, ia pun melangkah
Pelaku yang diduga wanita mendorong tubuh Kasumi sampai ia terjatuh dari balkon. Menurut keterangan saksi mata, sempat terdengar suara pertengkaran yang bersumber dari apartemen Kasumi. Sampai akhirnya, terlihat pelaku melesakkan tubuh Kasumi kuat-kuat ke balkon. Wanita itu pun langsung terjatuh dari lantai dua. Sementara itu si pelaku langsung kabur begitu saja. Saat ini, Polisi berusaha melacak keberadaannya.Kasumi sendiri langsung mendapat pertolongan intensif. Ia tengah berada di ruang operasi. Kondisinya cukup parah. Ia mengalami patah tulang dan luka berat di bagian kepala. Yang fatal memang luka di kepalanya, sehingga Kasumi belum juga siuman. Dengan kondisinya yang lemah, nyawa bayi yang dikandungnya juga ikut terancam.Mengurut keningnya, Ruriko berusaha menenangkan diri dari kekalutan. Tetapi, mengetahui kondisi Kasumi serta bayinya
Menu makan malam yang menggiurkan itu bahkan tak mampu menggugah selera Ruriko. Di meja makan, gadis itu hanya melamun sembari memegang sumpit dan mangkuk masing-masing di kedua tangannya. Gelagat Ruriko sontak menimbulkan tanda tanya bagi para penghuni meja makan, namun yang berani menegurnya terlebih dahulu adalah sang ibu.“Kenapa, Ruri-chan?”Gadis itu tersentak seolah suara ibunya berhasil mengembalikannya ke dunia nyata. Setelah itu, Ruriko hanya tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala.“Aku mau ke kamar ya” Meletakkan sumpit dan mangkuk di atas meja, Ruriko pun berdiri. Teguran sang ibu kembali menahannya.“Tidak makan? Kau jadi jarang makan loh,” tukas wanita itu cemas. Ruriko kembali menggoreskan senyum.
Ruriko yang tengah terlelap itu merasa sedikit terusik ketika sebuah benda lembut menyentuh bagian pipinya. Tanpa membuka mata, tangan Ruriko merenggut benda itu lalu membuangnya begitu saja. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali bisa menikmati alam mimpi.Kini, ia tertidur dengan posisi terlentang. Wajah gadis itu kembali berubah gelisah ketika merasakan sebuah benda lembut bermain-main di sekitar hidungnya.Ruriko mengerang. Ia menangkap benda itu lalu membuka matanya. Dengan kesal, ia membuka kepalan tangannya untuk mencari tahu benda apa yang sudah dua kali mengusik tidur damainya. Ekspresi gadis itu seketika berubah heran saat menemukan sehelai bulu sayap berwarna putih pada telapak tangannya.Apakah ia tengah bermimpi? Kenapa ada bulu sayap malaikat di dalam tangkuban tangannya?
Rapalan doa dibacakan oleh pendeta kuil sebagai pengantar bagi jiwa yang telah berpisah dengan raganya, agar bisa meninggalkan dunia dengan tenang.Suasana khidmat terasa kental dalam upacara pemakaman Kasumi Shiraishi. Setelah dinyatakan meninggal dunia, jenazahnya langsung disemayamkan di kuil pada keesokan harinya. Semua kerabat, rekan kerja, bahkan sosok-sosok yang mengenal wanita itu turut hadir untuk memberikan ungkapan bela sungkawa.Ruriko hanyalah segelintir dari puluhan orang yang mengikuti upacara pemakaman. Ia sendiri memilih duduk di barisan paling belakang, seolah menyembunyikan diri entah dari siapa. Mungkin dari sosok Kasumi yang membayanginya lewat foto di altar.Selama upacara berlangsung, tangis dari anggota keluarga memenuhi ruangan. Beberapa orang yang terbawa oleh suasana duka itu j
“Saya mohon untuk mempertimbangkannya lagi.” Ruriko membungkuk formal pada sepasang suami istri berusia tua di hadapannya. Kakek dan nenek itu saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.“Ruriko-san. Aku mengerti perasaanmu sebagai teman dekat. Tapi, bagaimanapun ini masalah keluarga kami. Dan keputusan kami sudah bulat untuk tidak mengurusnya,” ucap pria tua itu.“Tapi, siapa yang akan mengurusnya? Kasihan kalau bayi itu dibiarkan sendirian.” Ruriko menunduk sedih “Ia berhak memiliki keluarga, bukan?” Ucapannya dibuat menggumam.“Untuk masalah ini, kau tak perlu cemas. Kami sudah mempertimbangkan untuk membawanya ke panti asuhan.” Kali ini sosok wanita tua yang mengenakan yukata angkat bicara. Ruriko kaget mendengarny