Share

Favor

Menu makan malam yang menggiurkan itu bahkan tak mampu menggugah selera Ruriko. Di meja makan, gadis itu hanya melamun sembari memegang sumpit dan mangkuk masing-masing di kedua tangannya. Gelagat Ruriko sontak menimbulkan tanda tanya bagi para penghuni meja makan, namun yang berani menegurnya terlebih dahulu adalah sang ibu.

“Kenapa, Ruri-chan?”

Gadis itu tersentak seolah suara ibunya berhasil mengembalikannya ke dunia nyata. Setelah itu, Ruriko hanya tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala. 

“Aku mau ke kamar ya” Meletakkan sumpit dan mangkuk di atas meja, Ruriko pun berdiri. Teguran sang ibu kembali menahannya.

“Tidak makan? Kau jadi jarang makan loh,” tukas wanita itu cemas. Ruriko kembali menggoreskan senyum. 

“Nanti saja. Sisakan ya, bu.” 

Ketika hendak menuju ke kamar, ia melihat sepasang mata Hana, adiknya, menyorot heran. Sang kakak yang biasanya terlihat ramah kini berubah menjadi pemurung. Hana masih terlalu kecil untuk mengerti penyebabnya. 

Ruriko meninggalkan ruang makan. Ia menaiki tangga yang membawanya ke kamar. Tiba di bilik privasinya itu, Ruriko pun langsung mengurung diri. Ia melompat ke atas ranjang lalu berbaring menelungkup. 

“Ah, rasanya sudah tak mungkin …” bisik Ruriko lirih. Setelah itu, ia berbalik badan. Dalam posisi terlentang, pandangan mata Ruriko mengarah ke langit-langit kamarnya. 

Kemunculan sebuah bulu sayap di udara langsung menyentakkan gadis itu. Ruriko sebenarnya tak terlalu terkejut melihat fenomena itu, karena ia sudah melihatnya berulang kali. Yang membuatnya kaget adalah lokasi kemunculannya berada di area privasi gadis itu. Kamarnya sendiri. 

Belum sampai lima detik, sosok makhluk bersayap putih berdiri tepat di samping ranjang Ruriko. Malaikat pelit itu lagi. Bola mata Ruriko menilik sang malaikat. Setelah itu, hanya suara ragu gadis itulah yang menyambut kehadirannya.

“Kau …?”

Malaikat itu menatapnya. Keduanya saling pandang sampai Ruriko merasa gerah sendiri. Muncul tiba-tiba lalu memperhatikan Ruriko seperti orang jahat. Rasanya tidak ada yang lebih kurang ajar dibandingkan dengan si malaikat. 

“Apa yang kau inginkan?” erang Ruriko karena kesal. “Untuk apa ke sini?”

“Jujur saja, ucapanmu tadi membuatku penasaran.” Si malaikat memandang langit-langit ruangan sambil mengelus dagunya. Alis Ruriko langsung mengernyit heran. Ia berusaha mengingat-ingat percakapan terakhirnya dengan makhluk itu. Soal Kasumi-kah?

“Kasumi!? Kau ingin menolongnya?” Ruriko bangkit karena antusias. Malaikat itu menghela nafas lalu geleng-geleng kepala. 

“Tidak. Mengenai ceritamu yang ditolong malaikat. Aku ingin mendengarnya.”

Tubuh Ruriko yang tadinya tegap, langsung melorot lemas. Kembali berada pada mode suramnya, Ruriko hanya memeluk sepasang lututnya. 

“Ayo. Ceritakan padaku,” desak malaikat itu. Ruriko tampak ragu, sehingga ia belum mau membuka suara. Sang malaikat pun menghela nafas lalu bersedekap.  

“Kau sangat menyayangi temanmu itu, ya.” ucapan si malaikat akhirnya membuat Ruriko berpaling lalu menatapnya. Untuk pertama kali, ia melihat makhluk galak itu tersenyum padanya.

“Aku yakin kalian sudah berteman cukup lama.” 

Ruriko masih menunduk. Ia memilih duduk di tepi ranjang. Sang malaikat ikut duduk di sampingnya. 

“Kalau kalian tahu, kenapa kalian tak peduli sedikitpun?” respon Ruriko kelam. “Kasumi. Ia sudah banyak menanggung masalah sendirian. Sebagai teman, aku ingin ia berbahagia. Bukankah ia memiliki bayi? Tetapi, ia malah mengalami kecelakaan sampai koma."

Sampai di sini, Ruriko tak melanjutkan keluhannya. Sang malaikat juga tidak langsung merespon. Keduanya saling diam, bergelut dengan pemikiran masing-masing.

“Sebenarnya semua itu juga salahku.” Ruriko kembali bersuara, kali ini dengan agak menggumam. “Jika aku tiba di lokasi lebih awal, Kasumi pasti bisa selamat.” Gadis itu menerawang ke lantai kamar dengan sorot mata sendu. 

“Siapapun pasti menolak musibah, ya.” Akhirnya makhluk itu merespon curahan hati Ruriko. “Kami bukannya tidak peduli. Tetapi manusia sudah memiliki alur kehidupannya sendiri.” jelas makhluk itu “Bahkan malaikat seperti kami pun tak bisa mengubahnya.”

Takdir? itukah yang dimaksud? Ruriko seketika teringat oleh kata-kata si malaikat maut enam tahun silam.

“Mengubah takdir ….” Gumaman Ruriko kembali menarik perhatian si malaikat. Makhluk itu memperhatikannya heran.

“Enam tahun silam, malaikat itulah yang mengatakannya padaku. Ia ingin mengubah takdirku.” Ruriko akhirnya menceritakan kejadian enam tahun silam pada makhluk itu. Ia rasa juga ia tak bisa selamanya menyembunyikannya. 

“Aku seharusnya meninggal karena kecelakaan.” Pernyataan Ruriko mengubah air muka sang malaikat. Sosok yang selalu tenang itu kini terlihat kaget. Ia bahkan menatap mata Ruriko lekat-lekat, seolah masih belum mempercayai ceritanya. Ruriko memilih tak peduli pada perubahan ekspresinya. Ia pun lanjut bercerita 

“Lalu, ia datang menjemputku. Sampai akhirnya, ia mengatakan sesuatu tentang keluargaku, terutama ayahku. Dia bilang, ayahku akan menderita sepeninggalku.” 

Suasana hening karena Ruriko menjeda ucapannya. Sang malaikat menggulirkan pandangan dari mata Ruriko ke lantai kamar. Tapi, sorot tegasnya tetap tak berubah. 

“Lalu …?” Suara berat sang malaikat terdengar, menyuruhnya untuk lanjut bercerita. Ruriko pun menghela nafas dalam-dalam.

“Akhirnya ia menanyakan hal itu, mengenai mengubah takdir. Aku sebenarnya tak terlalu mengerti, tetapi aku tetap mengiyakannya. Lalu, ia merobek salah satu halaman buku dan menyuruhku untuk hidup kembali.”

Ruriko mengakhiri kisahnya. Hembusan nafas beratnya terdengar. Setelah itu sang gadis menatap langit-langit ruangan. “Maka dari itu, selama enam tahun aku berusaha mencarinya, sekedar untuk bertemu lalu mengucapkan terima kasih, karena kebaikan hatinya itu.”

“Itu bukan kebaikan,” bantah malaikat itu seketika. Ruriko langsung menatap kedua matanya yang kini bersorot tegas. “Dia sudah melakukan kesalahan yang besar …dan tak termaafkan.”

Kini giliran Ruriko yang terkejut. Ia memang sudah menduga kalau sang malaikat telah melanggar sebuah aturan mengenai kehidupan dan kematian. Kata-kata tak termaafkanlah yang memancing respon gadis itu. 

“Aku tak terlalu paham soal tugas malaikat maut. Yang jelas ia sudah melanggar takdir kehidupan manusia. Bahkan merobek buku kematian itu adalah kesalahan yang fatal,” jelasnya serius “Tak ada yang boleh mengubah takdir manusia, bahkan malaikat sekalipun.”

“Tapi … dia hanya menolongku!” bantah Ruriko “Menolong manusia bukan suatu kesalahan, kan?”

“Bukan dengan cara itu!” Nada bicara si malaikat ikut meninggi “Malaikat punya aturan sendiri. Kalau mereka melanggar, mereka akan menerima hukuman. Terlebih, pelanggaran yang dia buat amat besar. Mungkin, kau tak akan bertemu dengannya lagi.” 

Kata-kata si malaikat membuat Ruriko tercekat. Ia masih belum terima sehingga berniat protes. Tetapi, makhluk itu justru memilih untuk pergi. 

“Hei!” seru Ruriko. Yang ia lihat kini hanya hujan bulu sayap putih, tepat setelah sang malaikat melenyapkan dirinya. “Aku masih tak mengerti! Tapi perbuatannya tidak jahat! Dia menolongku! Kenapa harus dianggap sebagai pelanggaran besar?” 

Tak ada reaksi. Pandangan Ruriko masih mengedari sekitar kamar, mencari-cari keberadaan malaikat yang mungkin masih berada di sini. 

“Dengar malaikat. Beritahu aku bagaimana cara mengembalikannya? Ia sudah menyelamatkanku! Kali ini giliran aku yang menyelamatkannya!”

Hanya kesunyian yang menjawabnya. Ruriko menghembuskan nafas lelah lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Setelah kondisi Kasumi, beban pikiran Ruriko kembali bertambah dengan ucapan si malaikat. Kepalanya seakan mau meledak. 

Bahkan malaikat sekalipun tak bisa diandalkan untuk menolongnya. Begitu pikir Ruriko seraya memejamkan kedua matanya. 

***

“Sudah saatnya.” Dua makhluk bersayap putih itu menghadapi kamar salah seorang pasien. Salah satu sosok membawa sebuah buku yang tengah terbuka lebar. 

“Malam ini dia akan ku bawa.”

Sosok yang lain hanya membisu. Dengan wajah sendu, ia melirik nama yang tertera dalam buku yang dipegang oleh rekannya sesama malaikat. Kasumi Shiraishi. Ia mengenal nama itu. Bukan. Bukan karena ia adalah nama ibu dari bayi yang akan ia lindungi. Si malaikat lebih mengenalnya sebagai nama sahabat dekat dari sosok gadis keras kepala yang bisa melihat wujudnya. 

“Bisakah diundur dua jam lagi?” pinta makhluk itu pada si pemilik buku. Yang bersangkutan berpaling heran. Pertama kali ia mendengar ada malaikat yang membuat sebuah permohonan untuk manusia. 

“Tapi ….” Sosok itu terlihat ragu “Ini sudah waktunya.”

“Dua jam kemudian juga masih malam, bukan? Jadi tidak dihitung sebagai pelanggaran tugas.” bujuk si malaikat bersurai coklat itu. Malaikat bersurai hitam langsung terdiam sesaat. 

“Memang apa maumu?”

“Tidak. Mungkin akan ada orang tua atau kerabatnya yang datang pada jam itu. Dengan begitu, mereka tak akan terlalu bersedih.” jelasnya serius sambil mengendik. Lawan bicaranya tertawa singkat mendengarnya. Ia pun geleng-geleng kepala. Malaikat penjaga bayi memang berbeda, ya. Lebih berperasaan dibanding malaikat maut seperti dirinya. Tapi, permohonan tersebut bukan hal yang berat sehingga ia akhirnya setuju.

“Baiklah. Aku akan mengulur dua jam. Lagipula aku sedang ingin jalan-jalan di sekitar sini.” Malaikat pemegang buku itu pun beranjak pergi. Kini yang berada di depan kamar Kasumi tinggallah si malaikat bersurai coklat. Sorot matanya masih penuh rasa iba saat memandang kamar itu. Roh wanita di dalam sana sebentar lagi akan dibawa ke dunia lain, meninggalkan bayinya, keluarganya, serta sosok sahabat yang amat menyayanginya. 

“Ah, gadis merepotkan!” keluh si malaikat sebelum akhirnya ia menghilang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status