Share

Farewell

Ruriko yang tengah terlelap itu merasa sedikit terusik ketika sebuah benda lembut menyentuh bagian pipinya. Tanpa membuka mata, tangan Ruriko merenggut benda itu lalu membuangnya begitu saja. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali bisa menikmati alam mimpi.

Kini, ia tertidur dengan posisi terlentang. Wajah gadis itu kembali berubah gelisah ketika merasakan sebuah benda lembut bermain-main di sekitar hidungnya.

Ruriko mengerang. Ia menangkap benda itu lalu membuka matanya. Dengan kesal, ia membuka kepalan tangannya untuk mencari tahu benda apa yang sudah dua kali mengusik tidur damainya. Ekspresi gadis itu seketika berubah heran saat menemukan sehelai bulu sayap berwarna putih pada telapak tangannya.

Apakah ia tengah bermimpi? Kenapa ada bulu sayap malaikat di dalam tangkuban tangannya?

"Maaf, aku membangunkanmu..."

Ruriko tersentak kaget. Langsung saja bola mata gadis itu mengitari isi ruangan. Ia menemukan si malaikat pelit kembali menyambangi kamarnya. Apa yang terjadi? Padahal baru beberapa jam yang lalu mereka sempat berdebat. Sang malaikat-lah yang terlihat gusar lalu memilih kabur. Kenapa sekarang malah ia sendiri yang memunculkan diri?

“Ada apa?” tanya Ruriko dengan nada dingin. 

“Temui dia.” Permintaan makhluk itu langsung mengundang reaksi heran. 

“Temanmu itu,” terang malaikat itu. Dahi Ruriko berkerut. 

“Memang, apa yang terjadi?” suara Ruriko lirih. “Kasumi …  kenapa?” 

“Dia akan pergi.” ucapnya gamblang. Hati Ruriko langsung tercabik-cabik mendengarnya. Tanpa menunggu waktu lama, isakan tangis gadis itu terdengar. 

“Jadi, kalian tak ingin menolongnya-kah? Kalian ingin mengambilnya?’

“Tak ada waktu. Cepat!” perintah malaikat itu tegas. Ruriko menutup mukanya sambil menggeleng cepat. 

“Tidak! Aku tak bisa menerimanya! Kenapa dia harus mati secepat itu! Kalian tak punya perasaan!” rengeknya lalu lanjut menangis. Sang malaikat hanya mengurut kening, berusaha mencari cara untuk menyadarkan gadis keras kepala di hadapannya. 

“Katakan! Kau ingin menolong Kasumi!” Ruriko bangun, mensejajarkan matanya dengan si malaikat. Di balik sepasang mata yang dipenuhi riak, terdapat pancaran keinginan yang kuat agar permohonannya dikabulkan. 

“Tolong Kasumi! Ku mohon!” Kalau bisa, Ruriko pasti sudah mengguncang kuat tubuhnya. Tapi yang bisa ia lakukan hanya mengepal-ngepal udara kosong. 

“Hei.” Sorot mata malaikat itu tegas, namun lembut. “Kau harus mengerti, kematian adalah bagian dari kehidupan.” Seperti dugaannya, sang gadis langsung menggeleng kuat-kuat,  memungkiri penjelasan itu. 

“Kau tahu siklus kehidupan? Tiap makhluk hidup mengalaminya. Lahir, hidup, lalu di suatu titik mereka akan mati. Tetapi, ketika satu makhluk hidup mati, ada makhluk hidup lain yang lahir, menggantikan yang mati.” 

Sampai di sini, tangisan Ruriko berhenti. Ia bergeming menelaah ucapan malaikat itu. Sosok di hadapannya pun menyunggingkan senyuman. 

“Karena itu, buatlah hidupmu berkesan. Jalanilah dengan penuh kebahagiaan. Kelak, kau bisa meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan.”

“T-tapi, bagaimana dengan Kasumi? Dia masih muda. Dia baru memiliki anak. Apakah itu adil?” tanya Ruriko sambil terisak. Malaikat itu menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. 

“Apa pandanganmu tentang keadilan? Ketika seseorang yang hidup sudah terlampau lama, tetapi maut tak juga menjemputnya. Apakah bagimu itu adil?” Iris coklat malaikat itu membiaskan perubahan ekspresi wajah Ruriko. Ia tercekat oleh ucapan sang malaikat. 

“Aku memang masih tak mengerti. Tapi, itulah takdir.” Malaikat itu kini tertunduk sedih. “Maaf jika kau masih tidak bisa menerimanya.” 

Baik Ruriko maupun si malaikat akhirnya membisu. Mereka sama-sama tertunduk, bergelut dengan pemikiran masing-masing. Penjelasan makhluk itu memang belum sepenuhnya menjawab misteri kehidupan. Mungkin ia hanya menjalankan tugasnya di dunia. Tapi, apakah Ruriko akan terus bersikeras menolak takdir kematian Kasumi? Pasti, Kasumi juga tak menginginkan itu terjadi. 

Ruriko pun bergerak. Ia turun dari tempat tidurnya lalu mengambil jaket. Sang malaikat heran memperhatikan sosok yang sibuk bersiap-siap. Ruriko bercermin, menyisiri rambutnya lalu mengikatnya. Setelah itu, ia pun menghadapi makhluk yang tampak tercenung seperti orang bodoh. 

“Ayo.”  Ruriko mengulurkan tangannya sambil tersenyum tipis. Mata malaikat itu mengerjap-ngerjap heran.

“Antarkan aku ke rumah sakit.”

Di luar dugaan, makhluk itu hanya bergeming sampai-sampai Ruriko mulai kehilangan kesabaran. 

“Ayo! Tunggu apa lagi!”

“Siapa yang bilang kita akan ke rumah sakit?” Reaksi enteng si malaikat terdengar menyebalkan. Seketika Ruriko salah tingkah. Wajah gadis itu langsung merah padam: setengah malu, setengah kesal.

“L-lalu?”

“Kau ingin bicara langsung dengannya, bukan?” tawaran si malaikat langsung direspon oleh Ruriko dengan anggukan cepat. 

“Pejamkan matamu.”

Tanpa harus mengomando dua kali, gadis polos itu pun memejamkan matanya. Setelah itu, ia tak tahu apa yang si malaikat lakukan. Tubuh Ruriko terasa amat ringan sampai-sampai ia seperti melayang. Tapi, di saat yang bersamaan, ia malah kehilangan kesadarannya. Gadis itu pun limbung lalu jatuh tepat di atas kasur. 

“Oyasumi.” Si malaikat tersenyum usil sambil memperhatikan sosok yang tengah berada dalam perjalanan menuju ke alam mimpi. 

Oyasumi : Selamat tidur.

***

“Mati saja kau!” Wanita itu mendorong Kasumi kuat-kuat sampai terjatuh dari lantai dua. Tak sampai sedetik, tubuhnya menghantam halaman apartemen. Kepalanya teramat pusing. Pandangannya memburam. Yang terakhir dilihat hanyalah kubangan darahnya sendiri.

Kicau burung mengembalikan kesadarannya. Kasumi menemukan dirinya berada di sebuah taman. Sekitarnya ditumbuhi berbagai jenis tanaman bunga serta pepohonan rindang. Cuaca amat cerah dengan semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi. Suasana terasa nyaman dan tentram sehingga siapapun pasti betah berlama-lama di sini. 

Tapi, tidak dengan Kasumi. Ia justru gelisah karena berada di tempat yang asing baginya. Ia pun mencoba menelusuri taman ini, setidaknya untuk mencari jalan keluar. Tapi, sepertinya ukuran tempat ini amat luas sehingga Kasumi tak bisa mencapai ujungnya. 

“Mau ke mana nona manis? Apa yang kau cari?” Sebuah suara asing menegurnya. Lembut dan ramah di satu sisi, tapi misterius dan menyeramkan di sisi lain. Kasumi langsung berpaling, menemukan sosok asing yang berdiri di bawah sebuah pohon. Entah sejak kapan dia muncul. Tapi, karena ia ingin mencari tahu soal tempat ini, Kasumi pun langsung saja menghampirinya.

Dedaunan pohon menyembunyikan wajahnya. Tapi, Kasumi bisa melihat sepasang sayap terkembang indah di punggungnya. Berwarna hitam, seperti sayap burung gagak. 

“Aku mencari jalan keluar dari tempat ini,” jawab Kasumi polos. Ekspresi muka makhluk itu tak dapat terlihat jelas. Tapi suaranya terlampau manis. Mungkin dia bukanlah sosok jahat. 

Tangannya terulur, menunjukkan pada Kasumi jari-jari berkuku panjang. Wanita itu mundur selangkah.

“Mau kutunjukkan? Ikuti aku.” 

Kasumi hanya bergeming memperhatikan tangan itu. Ia tampak ragu untuk menuruti ajakannya. 

“Kalau kau keluar dari sini, kau bisa bertemu dengan anakmu.”

“Anakku?” Mendengarnya, Kasumi langsung terpancing. Ia hendak membalas uluran tangan sosok misterius itu, namun sebuah suara familiar menghentikannya. 

“Kasumi!”

Kasumi tersentak lalu berpaling. Dari kejauhan, ia melihat Ruriko lewat sambil terus memanggil namanya. Meninggalkan sosok itu, Kasumi berlari menghampiri sahabatnya.. 

“Ruriko!” 

“Kasumi!” Menemukan Kasumi, Ruriko tersenyum haru dan langsung mendekapnya. “Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu.”

Kasumi langsung melepas pelukannya lalu menatap Ruriko. “Aku ingin segera keluar dari sini, Ruriko. Aku harus bertemu dengan anakku. Sosok di sana akan menunjukkannya,” jelas Kasumi tergesa. Tanpa menunggu reaksi Ruriko, Kasumi langsung menarik tangannya lalu mengajaknya ke sebuah pohon rindang tempat makhluk misterius itu berdiam. Ruriko mengernyitkan dahi, menebak-nebak sosok yang dimaksud. Ia sendiri juga penasaran kenapa bisa ada sosok lain di mimpi Kasumi?

Sampai di pohon itu, makhluk misterius tersebut telah hilang. Kasumi yang tak percaya langsung mencari-cari keberadaannya di sekitar pohon itu. 

“Ia hilang! Bagaimana mungkin!?” tanya Kasumi di tengah-tengah pencariannya. Ruriko yang tadinya mematung di tempat kini menghampiri wanita itu. Genggaman tangan Ruriko pada lengan Kasumi seketika menghentikan kegiatannya. Ruriko menatap wanita itu lekat-lekat. Ia mencoba tersenyum, walau yang muncul adalah senyuman getir.

“Ayo, Kasumi.”

“Ke …mana?” tanya Kasumi ragu saat menemukan perubahan ekspresi Ruriko. 

Ruriko tak menjawab. Ia hanya menarik pergelangan tangan Kasumi lalu membawanya mengitari taman. Sampai di suatu tempat, mereka pun berhenti. Dihadapinya sosok Kasumi yang masih terlihat bingung. 

“Kasumi. Maafkan aku,” ungkap Ruriko menyesal. Ia tertunduk, sementara Kasumi masih heran dengan permintaan maaf yang tiba-tiba itu. 

“Maaf untuk apa?”

“Saat itu, aku tak bisa menolongmu,”

Kasumi terdiam menelaah ucapan Ruriko. Tak lama kemudian, ia pun akhirnya tersenyum mengerti. 

“Kalau saja aku datang lebih awal, semua itu pasti tak akan terjadi.” Ruriko terdiam sejenak, menelan salivanya “Kau pasti tidak akan celaka. Kau pasti-”

“Ah, kalau dilihat tempat ini sangat indah ya. Seperti berada di dunia mimpi.” Kasumi memotong ucapan Ruriko. Gadis itu tercekat. 

“Mimpi adalah dunia sempurna dalam alam bawah sadar manusia. Mungkin, inilah dunia yang sempurna menurut gambaranku.” Kasumi menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Dunia penuh kedamaian dan ketenangan.” Ia berpaling, menemukan sorot mata Ruriko menatapnya nanar.

“Terkadang aku merasa sangat kelelahan hidup di dunia. Tapi, saat tahu aku hamil, aku memutuskan untuk tetap hidup,” ungkap Kasumi sambil melihat bagian perutnya. Sudah kempis. Kasumi tersenyum geli lalu mengusapnya lembut. 

“Ia sudah lahir kah?” Sepasang mata Kasumi menatap Ruriko lembut. Ruriko bergeming sejenak, kemudian mengangguk pelan. Raut wajahnya masih terlihat iba. 

Kasumi manggut-manggut. Senyumnya kini berubah lirih. “Aku ingin sekali melihatnya.”

Yang terdengar hanyalah suara tiupan angin. Ruriko sendiri tidak kuasa merespon permohonan wanita itu. Kasumi mungkin sudah merasakan kalau saat-saat terakhirnya semakin dekat. Tapi, tetap saja sebagai manusia, ia masih berusaha memungkirinya. 

“Aku ingin mendengar suaranya. Seperti apa ya kalau ia memanggil-manggilku mama? Aku juga ingin merawatnya sampai ia tumbuh besar.” Kata-kata Kasumi semakin membuat Ruriko bersedih. Ia hanya tertunduk sambil mengepal jarinya. Lagi-lagi, Ruriko tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong sahabatnya. 

“Kasumi, maaf ….” Hanya itulah yang bisa Ruriko sampaikan. 

“Ruri-chan, ku mohon jaga bayi itu.” Tangan Kasumi meraih jari-jari Ruriko. Sepasang matanya menatap penuh harap. Tentu saja permintaan sahabatnya akan Ruriko penuhi. Meski Kasumi tak mengungkapkannya secara langsung pun, Ruriko sudah berjanji untuk menjaga buah hati Kasumi. 

“Aku akan menjaganya. Aku akan melindunginya,” janji Ruriko. Kasumi pun tersenyum lega. Setelah itu, ia melihat kedua tangannya mulai transparan. Ternyata waktunya semakin dekat. 

“Ruriko. Jangan terus merasa bersalah, ya. Aku sendiri tak pernah menyalahkanmu atas semua kejadian ini,” ungkap Kasumi lembut. “Selama ini, kau sudah banyak membantuku. Terima kasih.” 

Ruriko hanya diam. Ia mulai tersedu-sedu karena momen perpisahan yang semakin dekat. Gadis itu pun menunduk dalam. Melihat Ruriko yang menangis seperti anak kecil malah membuat Kasumi tertawa. 

“Sudahlah. Aku justru senang bisa bertemu denganmu di saat-saat terakhir. Dengan begitu, aku akan meminta banyak hal.” Ia terdiam sejenak, kembali menatap Ruriko dengan lembut. “Banyak yang pergi tanpa bisa mengucapkan kata-kata perpisahan. Mungkin aku salah satu yang beruntung.”

Tubuh Kasumi semakin transparan. Ruriko berusaha menggenggam tangannya serta menyentuh bagian tubuh lain untuk menahan gadis itu. Tetapi, usahanya sia-sia. Tubuh wanita itu diliputi oleh cahaya yang amat menyilaukan, sampai-sampai Ruriko melindungi matanya dari sinar itu. 

“Sayonara, Ruriko.”

Kata-kata terakhir Kasumi terdengar sebelum tubuh Ruriko terhempas. Ruriko merasa seperti jatuh ke sebuah jurang tanpa dasar. Sampai akhirnya ia pun tersadar di atas tempat tidurnya. Ruriko tersentak, membuka matanya dengan nafas memburu. 

“Sudah bertemu dengannya?” Mata Ruriko melirik sosok malaikat yang mendekatinya ragu. Ia tak langsung menjawab saat merasakan himpitan di dadanya. Momen perpisahan itu sungguh memilukan sampai-sampai butiran cairan bening kembali melesak lalu siap terjun bebas.

Dimulai dari isakan, sampai berubah menjadi raungan pelan. Belakangan ini, Ruriko terus saja menumpahkan air matanya. Tapi, ia berjanji, ini akan menjadi yang terakhir. Sehingga, izinkan ia menangis sampai puas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status