Share

Mother

“Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan.” 

Ruriko menghembuskan nafas lega setelah mendengar ucapan dari sang dokter klinik. Hanya ia yang duduk berhadapan dengan sang dokter di ruang konsultasi. Kasumi masih berbaring di ruang rawat, meski ia sudah siuman. Kondisinya masih lemah sehingga wanita itu perlu beristirahat sebentar. 

“Selama hamil, sebaiknya jangan bekerja terlalu berat. Mungkin temanmu terlalu memporsirnya sehingga ia kelelahan.” Pria paruh baya itu menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Mungkin saja resep obat. Setelah itu, ia pun menyerahkannya pada Ruriko. 

“Anda bisa menebusnya di bagian farmasi.”

“Terima kasih, Dok.” Menerimanya, Ruriko membungkuk sopan. Setelah mohon diri, ia pun melangkah ke luar ruangan. 

Sembari menelusuri koridor menuju ke bagian farmasi, pandangan mata Ruriko tertuju pada secarik kertas dalam pegangannya. Pikirannya melayang pada momen satu jam lalu, ketika menyaksikan Kasumi kehilangan kesadaran. Ruriko amat panik sehingga ia hanya menangis sambil memanggil-manggil nama sahabatnya itu. Beruntung, ada seorang pria melintas lalu membantu Ruriko membopong Kasumi ke klinik terdekat. Tak lama dibaringkan di kamar rawat, Kasumi pun akhirnya siuman. 

Ruriko mencapai bagian farmasi lalu menyerahkan kertas resep itu. Ia pun duduk di kursi ruang tunggu. Saat melihat jam, ternyata sudah tengah malam. Bus kota yang membawa Ruriko ke rumahnya pasti sudah berhenti beroperasi sehingga mau tak mau ia harus naik taksi.

Tapi …. Ruriko memikirkan lagi keputusannya. Rasanya ia tak tega meninggalkan Kasumi sendirian, apalagi dalam kondisi pemulihan pasca siuman. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada wanita itu di apartemennya? Pasti tak akan ada yang bisa menolongnya karena Kasumi tinggal sendirian. 

Sudah diputuskan! Ruriko akan menginap semalam di apartemen wanita itu. Sekedar untuk menjaganya sampai kondisinya membaik. 

“Pasien atas nama Shiraishi Kasumi!” Terdengar suara dari apoteker. Ruriko langsung datang lalu mengambil obat yang disiapkan. Setelah itu, ia menuju ke ruang rawat. Sambil melangkah, Ruriko mengetik pesan untuk ibunya, mengabari kalau malam ini ia tak pulang ke rumah karena ada urusan pekerjaan. 

Ya, urusan pekerjaan saja. Ia tak mau wanita itu ikut cemas dan berpikiran macam-macam. Padahal Ruriko sudah dewasa sehingga bisa menjaga diri.. 

Kasumi masih berbaring sambil memandangi langit-langit ruang rawat ketika Ruriko masuk. Panggilan gadis itu menyentakkannya. Kasumi langsung berpaling lalu tersenyum lemah. Ia memperhatikan sosok penuh semangat yang melangkah agak tergesa sambil membawa bungkusan plastik berisi obat. 

“Ruriko, maaf ya merepotkanmu,” tukas Kasumi lemah. Ruriko tersenyum sambil menggeleng pelan. Ia menduduki kursi yang berada di samping ranjang pasien. 

“Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, aku akan menginap di apartemen-mu ya. Aku cemas kau kenapa-kenapa.” 

“Ah, tidak perlu!” respon Kasumi sungkan. Wanita itu yang malah mencemaskan Ruriko. “Keluargamu bagaimana? Lagipula, besok kau harus bekerja, bukan?”

“Tak masalah. Besok pagi aku akan pulang.” Ruriko menjelaskan sambil tersenyum lebar. “Setelah itu, kau hubungi saja kedua orang tuamu. Biar mereka yang menjagamu di apartemen.” Ruriko mencerocos lagi, tanpa menyadari perubahan ekspresi muka sahabatnya. Kesuraman kembali terlukis di wajahnya. Sepasang mata Kasumi menerawang sendu. 

“Kasumi.” Ruriko menyesal karena lagi-lagi ia sudah mengatakan sesuatu yang membuat sahabatnya murung. 

“Ah, tidak. Tidak apa-apa.” Kasumi menggeleng. “Aku masih kuat kok.”

“Jangan memaksakan dirimu! Sebentar lagi kau melahirkan, sehingga harus menjaga diri dan bayimu juga,” omel Ruriko. Kasumi langsung terkikih karena ekspresi marah Ruriko malah terlihat lucu. 

“Apanya yang lucu? Aku serius loh!” Ruriko berang. Tawa Kasumi pun berganti dengan senyum manisnya.

“Ya, suster.” Kasumi menarik nafas. “Ayo pulang. Aku mau istirahat di rumah saja,” pinta Kasumi sambil menatap mata Ruriko. Ruriko sedikit keberatan, tetapi sorot mata Kasumi seolah memaksanya. Ruriko akhirnya mendesah pasrah.

“Baiklah. Tapi jalan pelan-pelan, ya.”

Kasumi hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia pun bangun dari pembaringannya. Ruriko dengan sigap menopang tubuh lemah Kasumi sampai wanita itu menuruni ranjang. 

Dengan langkah pelan, mereka keluar dari ruang rawat lalu menelusuri koridor klinik. Setelah sampai di lobi, Ruriko membawa Kasumi untuk duduk di kursi tunggu, sementara ia mencari taksi. Kasumi hanya geleng-geleng kepala dengan sikap gadis itu. Ia sudah seperti sosok suami saja.

“Suami-kah?” ucap Kasumi lirih sambil mengelus perut besarnya. Bayi dalam kandungannya seolah merespon ungkapan batin sang ibu. Senyum hangat Kasumi pun tersungging.

“Maaf ya.”

***

Kasumi menekan saklar saat masuk ke apartemennya. Dalam sekejap, lampu menyala, mengekspos isi ruangan yang tersamar dalam kegelapan. 

“Maaf ya agak berantakan.” Kasumi mendahului Ruriko memasuki apartemen lalu langsung menuju ke kamar, mungkin untuk berganti pakaian. Ruriko sendiri tertahan di ruang tengah. Di situ, ia pun hanya berdiri terpaku sambil melihat-lihat isi apartemen Kasumi. 

Saat Kasumi keluar kamar, ia heran mendapati Ruriko yang hanya berdiri canggung. Langsung saja wanita itu mempersilahkannya duduk. Ruriko pun hanya mengangguk cepat lalu menduduki bantal kursi, menghadapi sebuah meja kayu kecil. 

“Mau makan sesuatu? Aku buatkan ya?” Kasumi melangkah ke dapur. Ruriko seketika bangun untuk menahannya. Ia tidak lapar, lagi pula wanita itu seharusnya beristirahat. 

“Eh, tak usah! Kau istirahat saja!”

“Tapi, kau belum makan sejak tadi.” Kasumi menatap cemas. Ruriko menghela nafas lalu menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

“Tak perlu cemas. Aku masih kenyang.” 

“Tapi ….”

“Tenang saja. Kalau lapar, aku tinggal memasak makanan instan. Kau punya, kan? Kau sendiri istirahat saja.” Setelah mengucapkan itu, Ruriko berdiri di belakang Kasumi lalu mendorong wanita itu pelan untuk membawanya ke kamar. Kasumi hanya pasrah menghadapi tingkah gadis itu. 

Kasumi berbaring di atas tempat tidur. Ruriko hendak meninggalkannya agar Kasumi bisa beristirahat tanpa terganggu. Tetapi, Kasumi malah menahan pergelangan tangan Ruriko. Gadis itu pun berpaling, mendapati sepasang mata Kasumi bersorot sedih. 

“Bisa tinggal di sini? Temani aku, Ruri-chan?” pinta Kasumi sungguh-sungguh. Ruriko terdiam sejenak, akhirnya mengiyakan permohonan itu. Firasatnya mengatakan kalau Kasumi ingin berbagi cerita dengannya. 

Ruriko pun duduk di pinggir ranjang. Kasumi masih diam sambil berbaring terlentang. Tangannya tak henti mengelus perut, seolah memberikan buaian pada sosok yang ada di dalam rahimnya. Memperhatikannya, Ruriko pun tersenyum hangat.

“Aku ingin sekali melihat bayi ini lahir,” ungkap Ruriko lembut. Tangannya agak ragu untuk ikut mengelus perut Kasumi, tetapi wanita itu mengijinkannya.

“Tak apa Ruriko. Kau bisa menyentuhnya.”

Meski gugup, Ruriko mengelus perut sahabatnya. Pertama kali memberikan sentuhan, Ruriko merasakan sebuah kehangatan menjalar. Di dalam perut Kasumi terkandung darah daging wanita itu, makhluk hidup yang ternyata bisa merespon reaksi dari luar, seperti sentuhan, buaian, bahkan kata-kata. Mungkin, sebagai ibu, Kasumi lebih peka, terlebih perasaannya dan perasaan calon bayi itu sudah menyatu. 

“Ruri-chan.” Panggilan Kasumi terdengar berat. “Anak ini …” Kasumi menjeda sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan ucapannya. “ … bukan hasil dari pernikahan sah.”

Sepasang mata Ruriko membulat sempurna. Kasumi menggunakan istilah halus, tetapi Ruriko mengerti maksudnya, sehingga ia amat terkejut. 

“Hasil hubunganku dengan seorang aktor,” beber Kasumi. Kali ini ia memalingkan muka agar tidak bertatapan langsung dengan Ruriko. “Ia sudah berkeluarga, sehingga menolak bertanggung jawab.”

Kedua mata Ruriko masih membesar. Fakta demi fakta yang terkuak Ruriko kaget sekaligus sedih. Ternyata selama ini Kasumi menanggung sebuah masalah besar. Jangan-jangan, hanya Ruriko saja yang mengetahuinya. 

“Mou ….” Tangan Kasumi menyentuh keningnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman getir. “Aku bodoh ya. Orang tuaku saja sampai bilang begitu loh,” Kekehnya. “Mereka bilang sambil mengusirku dari rumah.”

“Kasumi.” Tangan Ruriko menyentuh lengan Kasumi untuk memberinya penghiburan. Ia tak mampu berkomentar lagi setelah mendengar cerita itu. Jadi, Kasumi harus melahirkan, merawat, bahkan membesarkan buah hatinya sendirian. Pastinya terlampau berat bagi wanita itu, bahkan jika itu adalah ganjaran yang harus ia terima akibat dari perbuatannya. 

“Awalnya aku disuruh menggugurkan. Ia bahkan menyerahkan sejumlah uang padaku. Tapi, aku tidak mau. Aku hanya ingin dia bertanggung jawab sebagai ayahnya. Ia tetap menolak bahkan menyalahkanku. Bajingan itu,” desis Kasumi. “Aku bertekad akan melahirkan anak ini, dan terus meminta pertanggung-jawabannya.” Kasumi menghela nafas. Kali ini ia berpaling lalu mengarahkan pandangannya pada Ruriko. 

“Terima kasih ya, Ruri-chan sudah mendengarkanku bercerita,” ungkap Kasumi sambil tersenyum lirih. “Kalau Mirai-chan lahir, aku akan mengabarimu, ya.”

Kata-kata Kasumi membuat Ruriko ikut tersenyum. Ia mengangguk mantap. Dalam hati, Ruriko bertekad untuk mendampingi wanita itu, bahkan membantunya merawat anak yang sebentar lagi akan lahir ini. Ia tak ingin Kasumi menanggung bebannya sendirian. 

“Kau harus semangat, Kasumi-chan,” bisik Ruriko. “Jaga kesehatan demi anakmu yang sebentar lagi akan bertemu denganmu itu,”  

Kasumi seketika tertawa pelan. “Baik, baik, suster.” Menghembuskan nafas, tatapan mata Kasumi terarah ke bagian perutnya. Ia mengelusnya lagi.

"Mengenai nama bayi ini, aku sudah memutuskannya …." Sunggingan senyum lembut menghiasi wajahnya. Mendengar itu, sontak saja Ruriko langsung penasaran. 

"Eh, benarkah!?" Ruriko mencondongkan mukanya, menatap Kasumi antusias. "Siapa namanya?"

"Namanya …."

***

Langkah Ruriko tergesa, melewati kerumunan manusia yang berjejal di trotoar. Sambil setengah berlari, gadis itu melirik arloji. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sudah sangat terlambat datang ke kediaman Kasumi. Padahal, mereka janjian akan bertemu pukul enam sore. Tapi, siapa sangka pada detik-detik menjelang berakhirnya jam kantor, atasan Ruriko langsung muncul dan memberinya setumpuk pekerjaan. Dengan ‘deadline’ sebagai satu kata sakti, mampu menahan para bawahannya untuk menambah jam kerja demi menyelesaikan pekerjaan itu. 

Dengan mengebut, Ruriko pun bisa selesai sekitar pukul setengah delapan malam. Setelah mengirimkan data hasil pekerjaannya, Ruriko langsung meninggalkan kantor begitu saja. Atasannya sendiri belum mengecek. Kemungkinan besar, besok ia akan kena marah. Tapi, biarlah itu ia tanggung besok.

Gadis itu mengeluarkan ponsel. Pesan yang dikirimkan ke Kasumi kalau ia akan datang terlambat belum mendapat jawaban. Apa Kasumi juga sibuk? Pikir Ruriko sambil terus melangkah. Ia pun memutuskan untuk menghubunginya. 

Nada sambung terdengar cukup lama. Sampai akhirnya, Ruriko memutus sambungan karena tak mendapat jawaban. Ia pun menyimpan ponsel. Langkah gadis itu kini terhenti. Ia mulai bimbang, haruskah ia tetap datang? Jangan-jangan Kasumi tengah beristirahat. Atau ia juga sibuk. Mungkin ia bisa datang lain waktu. Tinggal membuat janji lagi dengan wanita itu. 

Bunyi sirine ambulans menyentakkannya. Pandangan mata Ruriko mengikuti laju kendaraan putih itu. Arahnya menuju ke apartemen Kasumi. Mungkin Ruriko terlalu berlebihan, tetapi perasaannya mulai tak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada wanita itu. Tapi, Ruriko seharusnya tidak terjebak dalam pemikiran negatif. Kalau dipikir-pikir, momen itu mungkin hanya kebetulan semata. Bisa jadi, ambulans itu bukan menuju ke apartemen Kasumi. 

Tapi …. 

Kaki gadis itu menapak lagi. Kali ini, Ruriko mulai menambah kecepatan, sampai akhirnya ia berlari untuk tiba di kediaman Kasumi. Entah kenapa, Ruriko lebih memilih untuk mengikuti intuisinya. Ia takut terjadi sesuatu pada Kasumi, sehingga Ruriko pun menuju ke sana untuk memastikannya sendiri. Kalau sudah melihat kondisi Kasumi secara langsung, barulah ia bisa merasa lega.

Sirine ambulans kembali terdengar saat ia mulai mendekati kediaman Kasumi. Semakin mendekat, bunyinya semakin keras. Jantung Ruriko berdegup kencang saat melihat mobil itu terparkir di halaman apartemen Kasumi. Orang-orang terlihat mengerubungi sesuatu di halaman. Ruriko pun langsung menuju ke kerumunan. Ia menyingkirkan orang-orang agar bisa berdiri di baris terdepan. Setelah itu, kedua mata Ruriko membelalak. 

Tubuh yang terkapar bermandikan darah adalah milik Kasumi Shiraishi. Wajahnya pucat dengan mata terpejam. Melihat sosoknya yang tak berdaya, Ruriko seketika panik. Ia berusaha menghampiri sahabatnya yang tengah diangkat ke atas ranjang ambulans. 

“Kasumi! Kasumi!”

“Nona tenang dulu.” Beberapa petugas dengan sigap menahan pergerakan Ruriko.Dalam kukungan petugas, Ruriko hanya mampu mengulurkan tangannya, berusaha menggapai sosok yang kini sudah dibawa ke mobil ambulans. 

Air mata Ruriko mengalir deras. Ia jatuh terduduk lalu menangis tersedu-sedu. Penghuni apartemen lain mencoba menghibur gadis itu. Tapi, semua ucapan mereka tak berpengaruh sedikitpun. Ruriko amat menyesal. Kenapa ia harus datang terlambat? Andaikan ia datang lebih awal, pasti semua ini tak akan terjadi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status