Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai."Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan."Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah men
Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku."Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku."Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya
Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat