Share

Aku Bukan Istri Bayangan
Aku Bukan Istri Bayangan
Author: AnnaHN

Bab 01 - Menikahlah!

"Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai.

"Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan.

"Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.

Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.

Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.

Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.

Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah mengalami kontraksi hebat. Ya, kakakku itu tengah berjuang melahirkan buah cintanya ke dunia. Aku sendiri tidak bisa ikut, sebab kesibukanku yang merupakan mahasiswi tingkat akhir jurusan kebidanan ini penuh dengan berbagai kegiatan.

Ayah dan ibuku berangkat sejak tadi siang, perjalanan dari Bandung ke Jakarta hanya memakan waktu sekitar tiga sampai empat jam. Harusnya sekarang mereka sudah sampai di rumah kakakku, bukan?

Kututup pintu utama, lalu menguncinya sesuai permintaan Mas Azzam tadi. Bertahun-tahun bersama, sudah banyak hal yang kami cita-citakan. Mulai dari lulus kuliah bersama, bekerja di satu daerah yang sama dan tentunya menikah menjadi tujuan utama.

Bisa dibilang, kisah cintaku ini cukup beruntung. Sebab, tak ada halangan berarti selama aku dan Mas Azzam menjalaninya. Kedua keluarga sudah saling mengenal dan pastinya restu pun sudah kami kantongi.

Aku berjalan melewati ruang tamu, bermaksud untuk kembali ke kamarku. Namun, sebelum itu aku teringat pada ponselku yang tergeletak di dekat televisi di ruang keluarga. Lekas aku berjalan untuk mengambilnya.

Tepat ketika benda canggih itu hendak kuraih, dering suara nyaring menggema memecahkan keheningan. Bibirku tersenyum saat mengetahui nama kontak yang muncul di layar.

Ibu menelepon, pasti mau mengabari kalau bayi Kak Anita sudah lahir. Pikirku begitu. Ah, hanya sekadar membayangkannya saja aku ikut bahagia.

"Hal ...." Aku urung menyapa setelah samar-samar mendengar tangisan dari seberang sana, berpadu dengan suara riuh dan jeritan.

"Bu, ada apa? Gimana Kak An ...."

"Ini Bibi, Neng."

Sontak aku tertegun, merasa heran mengapa ponsel Ibu ada pada asisten rumah tangganya Kak Anita? Aku hendak membuka mulut niat bertanya, tetapi terlambat karena Bi Ratih kembali bersuara.

"Neng Gita siap-siap, ya! Sekarang Mang Jajang udah di jalan menuju Bandung buat jemput Neng Gita. Jadi, pas nyampe bisa langsung berangkat." Setelah mengatakan hal itu, sambungan telepon pun diputus secara sepihak.

Bukannya paham, aku malah semakin kebingungan. Keningku mengkerut mendengar apa yang Bi Ratih sampaikan.

Mengapa malam-malam seperti ini aku diminta menyusul ke Jakarta?

Jujur saja, hati yang semula tenang perlahan berdebar kencang. Pikiranku menjadi kacau mengingat adanya isak tangis yang mengiringi ucapan Bi Ratih tadi.

Seiring jarum jam yang terus berdetak, aku tak hentinya memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat aku larut dalam lamunan, mobil yang dikendarai Mang Jajang telah tiba di depan rumah.

Tanpa banyak bicara, aku langsung berangkat ke Jakarta dengan bekal seadanya. Di tengah pikiran yang berkecamuk, aku semakin terjebak dalam lamunan sepanjang perjalanan. Hingga tanpa sadar mobil yang dikendarai Mang Jajang pun telah memasuki kawasan elit yang ditinggali kakakku.

Hatiku mendadak waswas saat melihat kerumunan orang-orang di depan rumah kakakku dari jarak sekitar 10 meter. Mobil terus melaju pelan, disertai air mataku yang perlahan luruh ketika mendapati bendera kuning bertengger di pojok atas pagar.

"Sudah sampai, Neng." Aku sedikit terperanjat, melirik ke samping kanan yang ternyata pintu mobil telah dibuka lebar oleh Mang Jajang.

"Astaghfirullah! Siapa yang meninggal?" Aku terus beristighfar dan berdoa di dalam hati.

Secara perlahan tubuhku melemas, rasanya berat sekali menggerakkan kaki ini hingga aku hanya bisa berjalan gontai menyeruak kerumunan orang-orang.

Dadaku kian sesak dibuatnya. Apalagi saat netraku menangkap kekacauan di dalam rumah. Ibu tengah menangis histeris di pelukan Ayah, begitu pula dengan kedua mertua kakakku, mereka saling memeluk dan menenangkan satu sama lain. Sementara seseorang tengah terbujur kaku di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya.

"Kak ..., Kak Anita," ucapku tercekat bertepatan dengan kain yang menutupi wajah jenazah tersingkap diterpa angin.

Air mataku mengucur deras, menangis tanpa suara membuat kepala ini pening bukan main. Di saat kekalutan kian mendera, sepasang tangan merangkulku dari arah samping.

"Mari masuk, Neng!" ajak Bi Ratih dengan suaranya yang parau.

Napasku mulai putus-putus. Ingin berteriak, tetapi rasanya mulut ini tak sanggup. Kedua kakiku benar-benar lemas dan tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhku sendiri. Bi Ratih pun semakin mengencangkan lingkaran tangannya di lenganku.

"Anitaaa, ya Allah, Nitaaa." Semua orang meratap.

Sambil bercucuran air mata, aku pun tak kuasa menahan keterkejutanku. Apa yang terjadi dengan Kak Anita? Bagaimana bisa semua ini terjadi? Semua orang sibuk mengendalikan kesedihannya, termasuk aku yang kini sudah menangis sejadi-jadinya.

Malam ini, aku dan keluarga dari kedua pihak secara bergantian berjaga untuk menemani jenazah Kak Anita sambil melantunkan ayat-ayat suci al-quran. Sebab, almarhumah akan dimakamkan keesokan paginya sesuai dengan permintaan Mas Haikal, kakak iparku.

Semua orang setuju, begitupun dengan Ibu yang tak ingin putrinya dikebumikan pada tengah malam seperti ini di situasi hujan deras. Sementara para pelayat sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

Kini, tinggalah keluarga inti kami saja.

Di tengah keheningangan malam yang berbalutkan duka mendalam. Di sisa isak tangis yang tertelan desiran angin dan kegelapan, aku duduk bersandar dengan tubuh yang tak lagi memiliki tenaga, memandang kosong kepada dua keluarga yang tengah berbincang begitu intim jauh di ujung sana.

Tak berselang lama, semua orang kembali berkumpul, berjalan beriringan menghampiriku. Meski sedikit merasa heran, tetapi aku tak begitu memikirkannya. Fokusku masih pada Kak Anita yang dengan setianya memejamkan mata dalam kedamaian tepat di hadapanku. Namun, suara parau ayahku tiba-tiba saja memecah keheningan malam ini dengan ucapannya yang seperti petir menyambar di siang bolong.

"Neng, menikahlah dengan masmu sekarang juga! Semua sudah setuju dan sekarang tinggal ijab qabul saja."

Aku tak lantas menjawab, lidahku terasa kelu, otakku belum mampu mencerna apa yang baru saja Ayah katakan.

"Iya, Neng. Sebelum meninggal ..., kakakmu sempat berpesan agar kamu mau menikah dengan Nak Haikal langsung di hadapannya, menggantikan posisinya sebagai istri sekaligus menjadi ibu dari Binar, keponakanmu," sambung Ibu menjelaskan.

"Tap-tapi ..., bagaimana dengan kuliahku, Bu? Tahun ini baru masuk semester empat, fokusku pasti terbagi." Aku menunduk dalam-dalam di hadapan kedua orang tuaku.

"Kamu tidak perlu khawatir soal itu, Bapak yakin Nak Haikal akan mengizinkan kamu lanjut kuliah setelah Binar sudah sedikit lebih besar. Setidaknya sampai bisa berjalan."

Ingin rasanya aku menolak, tetapi hatiku tak tega kala menangkap gurat kesedihan dan kehilangan akan kepergian Kak Anita masih tercetak jelas di wajah seluruh keluarga, termasuk kedua pasangan baya di hadapanku kini. Bu Sukma dan Pak Abigail, orang tua Mas Haikal.

"Itu benar, Nak Anggita. Kamu tidak perlu khawatir! Kita akan bergantian menjaga Binar. Jadi, kamu nanti masih bisa melanjutkan kuliahmu. Bahkan Ibu rasa kamu tidak harus ambil-ambil cuti lagi."

"Percayalah, Nak! Pernikahan ini tidak akan merenggut masa depanmu. Bapak mohon terimalah tawaran kami. Haikal juga sudah setuju," ujar Pak Abigail menambahkan.

Malam ini seakan menjadi titik-balik bagi hidupku, masa depanku ditentukan pada keputusan besar yang harus kuambil saat ini juga. Namun, jika aku menerimanya ... kemungkinan harus mengorbankan cita-cita setinggi langit yang sempat memenuhi dadaku, serta Mas Azzam yang sangat kucintai.

Seolah perasaanku tak ada artinya, mereka langsung mempersiapkan proses ijab qabul saat ini juga. Seorang penghulu yang kebetulan salah satu tamu pun segera dimintai tolong untuk menikahkanku dan Mas Haikal.

Di tengah kesedihan yang membelenggu, di ruangan yang hanya dipenuhi isak tangis, sebuah janji suci akan diikat. Suasana duka menggelayut di setiap sudut ruangan, tetapi di tengah itu semua, lantunan ijab qabul menggema memenuhi ruangan. Aku bahkan sempat menahan napas, berharap apa yang terjadi hari ini hanya mimpi belaka. Namun, sayangnya semua ini benar adanya. Aku dipersunting oleh kakak iparku sendiri, di hadapan jasad kakakku.

"Maafkan aku, Mas Azzam. Kuharap kamu mau memaafkanku," monologku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status