Share

Bab 02 - Iming-Iming Semata

Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.

Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku.

"Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku.

"Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.

Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya terpatri nama Kak Anita seorang.

Kupejamkan mata ini erat-erat, merasakan sesak di dada kala hembusan napas kelelahan Mas Haikal begitu hangat di leherku.

Mas Haikal menarik diri dari atas tubuhku yang polos tanpa sehelai benang ini, kemudian duduk di tepi ranjang dan memunguti pakaiannya yang teronggok di bawah dekat ranjang. Tidak ada kalimat manis, atau ciuman di kening sebagai apresiasi atas nikmat yang telah kuberi. Laki-laki itu pergi begitu saja keluar kamar setelah kembali mengenakan pakaian tanpa mengatakan apa-apa.

Lagi dan lagi aku mulai terisak, tak pernah dihargai sebagai seorang istri sudah biasa bagiku. Namun, tetap saja rasanya sakit hingga tubuh ini remuk redam.

Kutatap nanar pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat, dengan bodohnya aku kadang berharap Mas Haikal akan kembali ke kamar dan melanjutkan tidur di sampingku hingga pagi menjelang. Namun, harapan tinggalah harapan. Setelah selesai melakukan kewajibannya Mas Haikal selalu meinggalkanku sendiri dan memilih untuk tidur di kamarnya yang berbeda.

Hubunganku dan Mas Haikal yang sejak semula memang tidak dilandaskan cinta menjadi alasan di balik dinginnya sikap laki-laki itu dan mengakibatkan rumah tangga kami terasa tidak memiliki jiwa, kosong, dan cenderung penuh tekanan. Terutama bagiku. Sebab, Mas Haikal mau menerima kehadiran diri ini dengan penuh keterpaksaan semata.

Akan tetapi, jika dipikir ulang situasi ini bukan hanya Mas Haikal saja yang merasakan keterpaksaan. Aku sendiri pun mengalami hal serupa.

Kaki jenjangku melangkah lemah setelah turun dari atas ranjang. Aku menyeret selimut berbulu halus ini untuk menutupi sebagian tubuh polosku.

Berdiri di depan cermin, kutatap lekat pantulan diriku yang kini nampak teramat kacau. Rambutku acak-acakan, pipiku tirus dengan lingkaran hitam yang menggelantung di sekitar mata. Tubuhku kurus kering disertai bintik-bintik hitam di beberapa bagian.

Menyadari hal itu, isakan kecil lolos dari mulutku, berbarengan dengan selimut yang luruh ke lantai menyusuri kaki.

Tak ada lagi yang menarik dari diriku. Padahal, dulu aku tidak seperti ini. Aku adalah gadis yang rajin merawat diri hingga kecantikanku terpancar dari dalam hati.

Akan tetapi, setelah aku mendadak jadi seorang istri sekaligus ibu, pancaran itu perlahan meredup diiringi tekanan batin yang selalu menderaku setiap hari.

Bagaimana tidak, setelah menikah Sampai saat ini apa yang keluarga Mas Haikal ucapkan sebelumnya tidak ada satu pun yang terealisasi.

Jangankan melanjutkan kuliah, merawat diri sendiri saja bisa dikatakan aku tidak sempat. Hari demi hari kuhabiskan untuk mengurus Binar tanpa sedikit pun bantuan langsung dari Bu Sukma, ibu mertuaku. Merawat rumah, memasak menu-menu kesukaan kedua mertuaku dan tentunya melayani suamiku. Semua waktu kuhabiskan hanya untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

Tak ada lagi pembahasan yang menyangkut akan diriku, kuliahku, atau bahkan sekadar dimintai pendapat mengenai apa yang kuinginkan.

"Seorang istri itu kodratnya di rumah, Nak Gita. Ngurusin anak, rumah, sama ngurusin suami. Itu pahalanya besar, lho!" ujar Bu Sukma saat itu ketika aku menyinggung perihal pendidikanku.

Akhirnya, sejak saat itu aku sadar. Apa yang disampaikan keluarga Mas Haikal pada saat memintaku untuk menikahi putra mereka tak lain hanyalah iming-iming semata.

*

*

"Sebentar, Sayang. Susunya lagi dibikin. Binar uduk dulu, ya!"

"Tutu, awu tutu!"

"Iyaaa." Kucubit gemas pipi gembul gadis kecil yang kini menginjak usia satu tahun lebih ini.

Pagi-pagi begini aku memang sudah terbiasa disibukkan oleh segudang aktivitas rumah tangga. Dari sejak bangun pagi aku akan langsung memasuki laundry room, mengecek satu per satu kantong baju maupun celana yang akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Setelah itu lanjut ke bagian dapur, membuat sarapan untuk semua orang, serta mengurus si kecil Binar.

Kuikat asal rambut panjangku setinggi mungkin, lalu mengocok-ngocok botol susu dan segera memberikannya pada Binar yang duduk di kursi khusus seusianya.

"Habiskan, ya, Sayang!" kataku lembut seraya mengusap pucuk kepala Binar.

Aku kembali menghadap kompor untuk mencicipi nasi goreng yang sudah kubuat beberapa saat lalu. Setelah dirasa pas, segera kumatikan kompor dan menyajikannya di atas meja. Kemudian berbalik ke wastafel untuk mengumpulkan perabotan dapur yang kotor.

Sebetulnya, rumah ini dilengkapi tiga pekerja. Satu laki-laki berusia 60 tahun yang dipekerjakan Mas Haikal untuk mengurus halaman, dan satunya lagi seorang wanita paruh baya kisaran usia 40 tahun ditugaskan untuk membersihkan rumah. Terakhir, ialah Mang Jajang bekerja sebagai sopir.

Meski rumah ini dilengkapi asisten rumah tangga, tetapi aku sendiri lebih memilih turun tangan langsung dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah ketimbang asistenku yang memang hanya dipekerjakan mulai dari jam delapan pagi, hingga waktu petang tiba. Entah apa alasannya, aku terbilang jarang diikutsertakan dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal berupa wewenang seperti itu.

"Waaah, cucu Oma udah minum susu aja."

Suara Bu Sukma, ibu mertuaku, terdengar memenuhi ruangan. Lantas aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku dan berniat meninggalkan dapur. Lantaran sudah ada Bu Sukma di sini menemani Binar, maka aku berniat akan memanfaatkan waktu singkat ini untuk naik ke lantai dua, guna menyiapkan setelan kerja suamiku.

"Lho, kamu mau ke mana?" tanya Bu Sukma padaku sebelum benar-benar pergi. Posisiku saat ini tepat di belakang kursi yang didudukinya.

"Aku permisi ke kamar dulu, ya, Bu. Mau nyiapin bajunya Mas Haikal. Titip Bin ...." Kuurungkan kalimatku setelah mendengar Bu Sukma membuang napasnya sedikit kasar.

Tak lama setelah itu, mataku menangkap gerakan pelan dari tangan Bu Sukma yang melambai memberikan isyarat agar aku mendekat padanya.

"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan sopan.

Kulihat Bu Sukma tersenyum kecut mendapat pertanyaan seperti itu, ia lantas menatap diri ini dengan tatapan dingin nan datar.

"Gita, udah berapa kali Ibu ingatkan sama kamu. Meninggalkan pekerjaan yang belum selesai itu gak baik. Ibu paling tidak suka melihat orang yang kerjanya setengah-setengah!"

"Maksud Ibu?" Aku bertanya balik setelah beberapa saat sempat terdiam, mencerna perkataan ibu mertuaku yang entah mengapa terdengar kesal.

"Gita ... Gita. Kamu itu memang sangat jauh berbeda dengan ibunya Binar. Anita itu selain cekatan, dia juga bisa diandalkan. Kamu itu harusnya layani ibu mertuamu dengan baik, masa Ibu datang makanannya belum ada di atas piring. Selesaikan dulu di satu tempat baru ke tempat lain."

Dada ini seketika serasa tercubit, sesak mulai menjalar dan memenuhi relung hati. Tak bisakah Bu Sukma meminta langsung saja kalau hanya sekadar minta dilayani? Mengapa harus pula membandingkan diriku dengan mendiang kakakku? Meski hal ini bukan pertama kalinya, tetapi tetap saja aku masih belum terbiasa.

Terlepas dari itu semua, aku tetap bergerak menuruti perkataan Bu Sukma. Memaksakan senyum yang kuukir di kedua belah bibir yang mengering. Jelas saja, aku baru ingat jika sejak bangun tadi sama sekali belum sempat mengisi perut dengan apa pun.

"Nah, gitu, dong!" kata wanita dengan rambut putih disanggul itu tersenyum sembari mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Jadi istri yang baik itu pahalanya banyak, lho, Git. Kamu masih harus banyak belajar lagi, ya. Jadi, lain kali Ibu tidak perlu tegur-tegur terus!" tutur Bu Sukma lagi. Kali ini intonasi bicaranya cukup ramah, namun tetap menyiratkan kritikan untukku.

"Iya, Bu." Aku menjawab pelan sembari menuangkan segelas air putih untuknya. Setelah itu, aku benar-benar meninggalkan ruang makan dan naik ke lantai dua, tepatnya ke kamar Mas Haikal. Lebih dari satu tahun hidup di bawah atap yang sama, tetapi aku dan Mas Haikal menempati kamar yang berbeda.

Sebegitu cintanya ia pada Kak Anita, sampai-sampai tak jua sudi menerima keberadaanku di sisinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status