Share

Bab 05 - Menemukan Benda Asing

Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.

Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.

Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.

Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat di pandangannya, si kecil memang cenderung anteng dan tidak rewel. Lalu setelah selesai, aku akan menuju laundry room, kebetulan Bi Ratih sudah tiba sejak tadi dan juga sudah selesai membersihkan setiap sudut rumah.

"Aku periksa cucian bentar, ya, Bi. Titip Binar dulu!" pintaku pada Bi Ratih yang muncul dari ruang tengah.

"Baik, Neng Gita." Tak ada yang berbeda dari Bi Ratih, dia masih selalu baik sama seperti dulu ketika aku masih berstatuskan ipar. Bahkan daripada dengan ibu mertuaku, aku lebih dekat dengan wanita berusia sekitar 50 tahunan ini.

"Main sama Bibi sebentar, ya, Nak! Mama akan selesaikan semuanya dengan cepat," ucapku lembut pada si buah hati. Aku merasa gemas melihat Binar yang tersenyum lebar menampilkan dua buah gigi susunya di bagian bawah.

Hatiku yang sejak semalam bergemuruh hebat perlahan melunak setiap kali melihat senyum hangat Binar. Mungkinkah ini memang sudah jadi takdirku? Menerima segala ujian hidup dan harus terus bergelung dengan rasa pedih.

Melihat Binar yang nampak anteng bermain dengan Bi Ratih, segera aku memasuki ruang cuci dan mengecek helai per helai pakaian yang akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Guna meminimalisir benda asing yang berpotensi mengganggu kinerja mesin.

Sebetulnya, ini termasuk bagian pekerjaan Bi Ratih, tetapi akulah yang meminta mengerjakannya dengan tanganku sendiri. Entah mengapa selalu ada perasaaan puas karena bisa mengurus langsung pakaian keluarga kecilku.

Kuperiksa setiap kantong baju dan celana, merogohnya dengan satu tangan. Beberapa helai pakaian yang sudah lolos dari pemeriksaanku, kini giliran celana navy milik Mas Haikal sekaligus pakaian kotor terakhir yang belum kuperiksa.

Keningku tiba-tiba mengkerut, saat tanganku merasakan sebuah benda aneh di dalamnya.

"Apa ini ...?" monologku dalam hati, "teksturnya seperti ... karet."

*

*

"Lho, lho, lho .... Ini kenapa mukanya ditekuk gini atuh, Neng?" Bi Ratih bertanya sambil berjalan perlahan ke arahku.

Tanpa menjawab, lekas aku mengeluarkan sesuatu dari kantong baju yang kukenakan. "Aku nemuin benda ini di kantong celananya Mas Haikal, Bi."

"Apa ini ...?" tanya heran Bi Ratih, dengan kening mengkerut diraihnya benda berbentuk melingkar dari tanganku. "Ini ikat rambut, Neng."

kuanggukkan kepala sebagai bentuk jawaban dengan mulut yang sedikit mengerucut, hal itu malah memancing seyum tertahan Bi Ratih yang penuh makna.

"Iiih, bibi kok malah senyam-senyum." Bi Ratih tak menghiraukan rengekanku, senyumnya malah semakin lebar entah apa yang dianggapnya lucu. Padahal otakku sudah dipenuhi berbagai spekulasi aneh terhadap suamiku itu.

Mengapa bisa ada ikat rambut perempuan di kantong celananya?

Milik siapa itu?

Aku tidak memiliki ikat rambut semacam itu, mungkinkah itu milik perempuan seling ....

Ah, tidak. Stop, Gita! Berhenti berasumsi sendiri dan lupakan semuanya. Lantaran jujur saja, semenjak malam ketika aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka, aku tak lagi berani menyapa suamiku. Takut hanya akan memancing emosinya kembali mencuat. Lagipula, Mas Haikal memang jarang menemuiku, apalagi menyentuhku.

Ya, begitulah. Hubungan rumah tangga kami memang tidak seperti rumah tangga pada umumnya.

"Maaf, Neng," ucap Bi Ratih dengan senyum hangat yang tak memudar . "Habis Neng Gita lucu banget kalau lagi cemburu."

Mataku melotot kaget. "Ihhh. Enggak, ya, Bi. Mana ada aku cemburu. Cuma penasaran aja."

"Iya deeeh, Bibi percaya." Kedua tangan Bi Ratih menarik pelan lenganku untuk duduk. "Palingan juga itu ikat rambut milik Non Rania. Ini juga, kan, bukan pertama kalinya Neng Gita nemuin sesuatu di sakunya Pak Haikal. kemarin-kemarin ada bungkus permen karet, struk belanjaan, samaaa satu lagi Bibi lupa."

"Voucher hotel!"

"Nah, iya, itu."

Kuhembuskan napas pelan, lalu mengalihkan pandanganku pada Binar yang sedang mengunyah biskuitnya hingga belepotan.

"Iya, Bi. Mas Haikal, kan, manager hotel. Mungkin gak sengaja kebawa sama dia." Kuseka lembut sisa-sisa biskuit di mulut Binar menggunakan tissue yang kuambil di atas meja. "Tapi kayaknya kejadian begini udah keseringan, deh. Benda-benda milik Rania dering banget ketinggalan."

"Ya ... namanya juga anak gadis, Neng. Apalagi Non Rania yang ceroboh dan pelupa. Kita juga tahu tabiatnya dia semanja apa sama Pak Haikal. Dari dulu malah."

"Agak aneh aja, sih, Bi. Biasanya yang tertinggal itu pasti di dalam mobil. Seperti minggu lalu, laptopnya Rania yang ketinggalan. Terus minggu lalunya lagi, jaketnya Rania yang banyak bulu-bulunya itu. Tapi ini ... ikat rambut, dikantongi pula sama Mas Haikal," ujarku panjang lebar.

"Udah, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Coba nanti Neng Gita tanyain aja langsung sama Bapak. Lagipula palingan bentar lagi yang punya ikat rambut datang ke sini buat ngambil."

Memang sudah tak aneh lagi bagi kami semua, Rania adalah putri satu-satunya dari saudara Bu Sukma. Gadis yang baru memulai kuliahnya itu memang terbilang sangat manja pada suamiku. Ia seolah menemukan sosok Kakak yang diinginkannya pada diri Mas Haikal.

Aku tak keberatan. Bagiku Rania anak baik dan cerdas, hanya saja sikap manjanya itu terkadang cukup menyebalkan jika sedang kumat. Terlepas dari itu semua, dia adalah orang kedua yang menerimaku setelah Bi Ratih di rumah ini.

Pagi itu, aku dan Bi Ratih lanjut berbincang sebentar. Kedua mertuaku datang saat jam menunjukkan pukul 9 lewat 30 menit, sementara suamiku baru keluar dari kamarnya saat waktu dzuhur hampir tiba. Sudah biasa aku mendapati Mas Haikal bangun siang seperti itu setiap akhir pekan, dia akan langsung bermain dengan putrinya setelah selesai dengan urusan perut.

Pemandangan semacam itu selalu berhasil membuat hatiku menghangat, jalinan kasih seorang ayah dan putri kecilnya yang mampu menenangkanku, serta menguarkan efek bahagia bagi siapa saja yang menyaksikannya.

Seperti saat ini, aku berdiri di dekat sofa, memandang ke arah Binar dan papanya yang sedang asyik bercanda. Sementara Bu Sukma datang dari arah luar sembari menenteng kantong belanja. Dengan senyum lebar dan wajahnya yang cerah, ibu mertuaku itu duduk di sofa, tak jauh dari posisiku.

Tak lama, tawa renyah si kecil menggema ke setiap penjuru ruangan. Inilah yang membuatku masih memiliki keyakinan bahwa mungkin saja Mas Haikal sebenarnya laki-laki yang baik dan juga Ayah yang baik. Dan sisi baik sebagai suami hanya ditujukannya untuk Kak Anita seorang, bukan untukku.

Akan tetapi, senyum yang sedang mengembang indah di bibirku ini perlahan surut tatkala suara hentakan sepatu hak tinggi seseorang mengambil alih atensi semua penghuni rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status