Share

Bab 06 - Pingsan

Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring.

Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda.

"Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar.

"Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku.

"Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar memeluk Mas Haikal.

"Dasar!" Mas Haikal mengacak-acak gemas pucuk kepala Rania. "Kamu mau ngapain ke sini?"

"Pasti mau nanyain ikat rambut," tebakku dalam hati. Akan tetapi, sayangnya dugaanku salah. Rania datang untuk meminta Mas Haikal menemaninya ke Puncak.

"Acara kampus, ya?" tanya Mas Haikal kepada Rania.

Gadis itu menggeleng. "Reouni SMA, Mas," sahutnya, kemudian mengangkat wajah dan melihat ke arahku dengan mata melebar seolah baru menyadari ada orang lain selain mereka berdua di sini.

"Hai, Kak Gita!" sapanya riang dan berjalan mendekat padaku sambil merentangkan tangan. Aku spontan menyambut kedatangannya, lalu melakukan pelukan singkat dengan senyumku yang ikut mengembang. Ekor mataku tak sengaja menangkap gerakan samar Mas Haikal tengah melirik sekaligus tersenyum kecil ke arah kami berdua.

Tetapi hal itu tak berlangsung lama, saat mataku dan matanya tak sengaja bertemu. Lantas ia pun megalihkan lagi pandangannya pada Binar.

"Hai, Ran. Kamu apa kabar?" tanyaku sambil memaksakan senyum. Berbeda dengan senyum Rania yang merekah indah di hadapanku saat ini. Tampak begitu lepas dan berseri.

"Seperti yang Kakak lihat ...," katanya sambil mengedikkan bahu dan merentangkan ujung dressnya, "aku sangat baik, sehat dan bugar!"

"Kok cuma Haikal dan Anggita aja yang dipeluk, Bude dilewatin gitu aja, nih?" Rania melerai diri, kemudian tersenyum tipis dan mendekati Bu Sukma.

"Idih, ceritanya Bude lagi cemburu, nih," balas Rania menimpali guyonan mertuaku. Keduanya tampak begitu dekat dan akrab. Seperti hubungan anak dan ibu.

Rasa iri di hatiku seketika timbul begitu saja. Namun, itu hanya sepintas saja tepat ketika Bu Sukma kembali bersuara dan ditujukan kepadaku.

"Kalau anak lagi ada yang jagain gini tuh mamanya harus sigap dan bisa manfaatin waktu dengan baik, Git. Ibu lihat baju kamu lusuh banget, emangnya gak ada baju lain apa?" kelakarnya sambil beranjak dari sofa dan bediri menghadap ke arahku.

"Ah, iya, Bu. Aku belum sempat, tadi baru selesai ...."

"Untung aja di sini cuma ada keluarga inti, kalau enggak ... pasti udah pada ngusir kamu. Mana mau sampai peluk-peluk seperti yang dilakukan Rania tadi. Lihat dia ...! Rapi, wangi, enak dilihat gitu, lho, Git. Lagian kamu, kan, masih muda. Belum tua-tua am ...."

"Mandi sana, Git!" pekik Mas Haikal memotong pembicaraan ibunya.

Jangan tanyakan keadaan perasaanku saat ini. Bagaimana bisa Bu Sukma membandingkanku dengan gadis belia seperti Rania? Jelas kami tak sama. Sehari-harinya aku hanya mengurus rumah dan cucu kesayangannya. Untuk sekadar minum air putih saja, terkadang aku lupa.

Sementara Rania, ia yang single dan banyak waktu untuk merawat dirinya sendiri tidak akan mengalami hal demikian. Aku yakin gadis itu bahkan bisa menghabiskan seluruh waktunya seharian hanya untuk memoles dan mempercantik diri di salon langganannya.

"Astaghfirullah!" Aku terus beristighfar di dalam hati. Kutundukkan kepala ini, memerhatikan selusuh apa baju yang kukenakan. Dan ... benar kata Bu Sukma, penampilanku begitu kuyu dan kumal. Kaos kebesaran milikku ini bahkan kondisi warnanya sudah memudar, dipadu dengan rok tutu di bawah lutut berwarna hitam yang sedikit basah akibat tadi aku selesai membantu Bi Ratih membersihkan perabotan kotor.

"Gita ..., sana!" Suara Mas Haikal menarik kesadaranku. Namun, aku bahkan tak berani mengangkat wajah dan menatap orang-orang. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berbalik badan dan pergi dari sana.

Kutekan dada ini kuat-kuat, menahan sesak yang terus menyebar memenuhinya. Mataku terasa panas, tetapi sekuat hati aku menahannya. Hal seperti ini tak patut aku tangisi, aku harus tegar dan kuat supaya menjadi pribadi yang tak mudah ditindas. Namun, tentu itu tidaklah mudah. Semua hanya di mulut saja. Nyatanya aku tidak sanggup jika terus-menerus diperlakukan seperti ini.

Kutenangkan diri ini sejenak, duduk di tepian tempat tidur memandang ke arah jendela kamar yang terbuka. Semilir angin berembus lembut menyapaku, menyapu pelan bulu mata dan wajahku, seolah ada sepasang tangan halus yang berusaha membelainya. Sontak aku terpejam dan menikmatinya.

"Tak apa, Gita, tak apa. Semua akan baik-baik saja." Mulutku terus bergumam, sambil menyilangkan kedua tangan seakan sedang memeluk diriku sendiri. Ujung jemariku menepuk pelan, berharap bisa mengalirkan ketenangan dan melupakan apa yang baru saja terjadi.

Beberapa menit berlalu, perasaanku telah kembali membaik. Kubuka perlahan kelopak mataku seraya bibir yang membentuk senyuman. Aku terbiasa melakukan hal ini ketika emosiku sedang memuncak, coba mengendalikan diri dengan bermeditasi beberapa saat. Harus kuakui, cara ini cukup ampuh bagiku yang kesehariannya sering mendapat tekanan.

"Aku harus segera mandi," ucapku, baru teringat pada tujuanku ke kamar. Lekas aku menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar, lalu setengah berlari memasuki kamar mandi.

Sebetylnya, tak jauh berbeda dengan penampilanku sebelumnya. Setelah berias diri seadanya di cermin, aku sadar betul sekeras apa pun berusaha, aku tetaplah Anggita yang lusuh dan jauh dari kata menarik.

"Setidaknya aku jadi jauh lebih segar dan wangi," ucapku menghibur diri. Selesai berbenah diri, aku bergegas meninggalkan kamar. Bersamaan dengan itu, ponsel di saku celana panjang yang kukenakan ini berdering kencang dan menghentikan langkahku, tepat ketika aku kembali menutup pintu.

"Halo, Bu," jawabku cepat. Entah kenapa aku selalu panik jika menerima telepon darinya. Mungkin karena kondisi Ayah yang kian sakit-sakitan, kekhawatiranku pada mereka pun bertambah berkali-kali lipat.

"Neng, kamu bisa pulang sekarang, nggak?"

"Memangnya, ada apa, Bu?" tanyaku cemas.

"Ayah ..., Ayah tadi pingsan."

Tanganku seketika gemetar, seiring ponselku yang terlepas dari tangannya. Beruntung, dengan cepat seseorang menangkapnya.

"Ceroboh!" kata Mas Haikal sambil meletakkan ponsel ke tanganku.

"Mas, tadi Ibu telepon, katanya ...."

"Nanti aja ceritanya, Mas Harus segera berangkat ke Puncak."

Apa lagi ini? Aku bahkan belum selesai menjelaskan, tetapi Mas Haikal langsung pergi begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status