Share

Bab 07 - Curiga

Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti.

Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan.

"Ma ..., huwaaaa!"

"Huwaaa!"

Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis.

Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi.

"Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami.

Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai merasa tidak enak hati. Dia pasti terganggu dengan situasi ini, bukan? Maka aku kian berusaha keras meredakan pekikan Binar yang melengking dengan tubuh mungilnya terus memberontak.

"Mau menepi sebentar, Bu?" tawar Pak Sopir dengan ujung mata yang melirik ke arahku melalui kaca sepion.

Aku sempat termenung sejenak mendengar usulannya. Semakin merasa tak enak hati karena laki-laki yang tak kukenal bersikap pengertian dengan keadaanku saat ini. Berbeda dengan Mas Haikal yang malah dengan teganya membiarkan anak dan istrinya malam-malam begini keluar kota hanya dengan menyewa kendaraan.

Kuhembuskan napas pelan, lalu beristighfar karena telah lancang membandingkan suamiku sendiri dengan laki-laki lain.

Mungkin karena didorong rasa prihatin, si Pak Sopir tadi segera menepikan mobilnya tanpa menunggu persetujuanku. Semilir angin malam dari hawa pegunungan di Puncak yang dingin seketika menusuk tulang ketika pintu dibuka. Kakiku melangkah sedikit terburu-buru karena melindungi tubuh si kecil yang hanya mengenakan pakaian berlengan pendek saja.

Ajaibnya, tangis Binar berangsur-angsur reda seiring ayunan kakiku menuju sebuah warung pinggir jalan yang menjual berbagai mie instant dan minuman hangat.

"Ibu gak bawa selimut?" tegur Pak Sopir menghampiri kami berdua. "Maksud saya ..., selimutnya si Adek Bayi." Aku menggeleng pelan dengan posisi duduk di atas kursi kayu yang tersedia, mengarah ke hamparan perkebunan teh diwarnai kelap-kelip lampu jalan di ujung sana, serta dari kendaraan yang berlalu lalang.

"Ah, benar ..., saya lupa bawa, Pak." Lantaran dikuasai rasa panik, aku melupakan hal penting yang seharusnya kubawa. Sesal kini menyerang dadaku, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Sebab, tiba-tiba saja Pak Sopir tadi menawarkan jaketnya untuk menutupi tubuh mungil Binar.

"Tidak usah, Pak, terima kasih," tolakku halus karena merasa tak enak hati. Namun, dengan suaranya yang lembut dan sopan, laki-laki yang usianya nampak seusiaku itu bersikukuh menyerahkan jaketnya padaku. Akhirnya, mau tak mau aku pun menerima niat baiknya.

"Terima kasih banyak, Pak. Nanti kalau sudah sampai akan saya kembalikan." Dia tak menjawab, hanya tersenyum kemudian berjalan memasuki warung. Mungkin ia hendak memesan sesuatu. Di tengah usahaku menidurkan kembali Binar, sejenak aku coba menikmati suasana malam yang terasa menenangkan hatiku. Seiring angin malam yang menerpa, kegundahan yang semula memenuhi dada ini pun berangsur-angsur mereda.

Untung saja, aku tetap memutuskan pulang ke Bandung meski sebelumnya Ibu kembali mengabari bahwa Ayah sudah sadar dan dalam kondisi yang cukup baik. Namun, aku tak cukup tenang hanya sekadar mengetahui melalui saluran telepon setelah dikagetkan oleh kondisi Ayah yang sempat drop. Aku ingin memastikannya langsung. Biarlah, kuanggap ini kesempatanku untuk mengobati kerinduan setelah setahun penuh tak bertemu dengan mereka.

Mas Haikal selalu beralasan sibuk ketika aku memintanya untuk menemaniku menjenguk Ayah dan Ibu, termasuk ketika tadi dalam keadaan darurat sekalipun, ia tetap menolak dan malah memilih menemani Rania.

"Rania masih kecil, dia butuh pengawasan lebih dan gak boleh dibiarkan pergi gitu aja." Begitu katanya. Aku tak bisa membalas perkataannya karena rasanya percuma. Maka di sinilah aku berada, memilih pergi menggunakan travel dan menikmati kesendirian. Di tengah lamunanku, sesaat kuedarkan pandangan ke sebarang jalan yang bercabang, di atasnya terdapat sebuah bangunan megah yang dipenuhi lampu gantung. Aku sempat tertegun, menikmati indahnya bangunan megah tersebut.

"Hotel Kanyaah." Aku membaca pelan nama hotel yang terpampang di atas sana dengan tulisan cukup besar. Tepat di saat itu, sebuah mobil berwarna silver memasuki kawasan hotel dengan flat nomor polisi yang rasanya tak asing bagiku.

"Itu ..., bukankah itu mobilnya Mas Haikal?" tanyaku pada diri sendiri. Lantaran sempat terbawa suasana, aku bahkan tanpa sadar sudah maju beberapa langkah sebelum akhirnya sebuah suara menghentikan pergerakanku.

"Awas, Mbak, hati-hati." Sepasang tangan menahan kedua bahuku. "Maaf, barusan Mbak jalan sambil bengong. Saya khawatir Mbak tiba-tiba nyeberang dan ...."

"Oh, iya. Terima kasih, Pak. Saya tadi memang agak bengong. Soalnya tadi ada lihat mobil suami say ...." Hilang, mobil berwarna silver yang kuduga milik Mas Haikal sudah tidak ada di sana.

"Mobil? ..., mobil siapa, Mbak?" tanya Pak Sopir dengan nada heran.

"Ah, tidak, Pak. Mungkin saya salah lihat." Iya, bisa saja tadi aku salah lihat, bukan? Mana mungkin Mas Haikal jauh-jauh mendatangi hotel tanpa tujuan yang jelas. Malam-malam pula. Sepertinya ini semua karena aku terlalu banyak memikirkan suamiku, sehingga aku pun berhalusinasi.

"Ya sudah, kalau begitu mari kita lanjutkan, Mbak, sebelum malam semakin larut." Pak Sopir berjalan lebih dulu, kemudian membukakan pintu untukku.

Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Jika dulu aku memiliki kebiasaan tertidur sepanjang perjalanan. Kali ini aku benar-benar tak bisa memejamkan mata barang sekejap saja. Bayang-bayang mobil berwarna silver memasuki hotel tadi terus berputar di kepalaku. Kalaupun benar Mas Haikal mendatangi hotel tadi, apakah itu berarti di sanalah tempat Rania dan teman-temannya mengadakan acara?

Ya Tuhan, mengapa perasaanku tidak menentu seperti ini? Meski suamiku belum bisa membuka hatinya untukku, tetapi aku sangat berharap ia tetap dapat menjaga dirinya dari segala sesuatu yang Engkau larang.

Sesampainya di rumah, aku dan Binar langsung mendapat sambutan hangat dari Ibu. Wajah teduhnya yang bercampur letih mewarnai pemandanganmu saat pertama kali aku turun dari mobil. Air mataku mengalir tanpa bisa dicegah. Sungguh, aku sangat merindukan pelukan hangat Ibu, juga tepukan menenangkan yang telah lama tak kudapatkan.

"Sini, biar Binar Ibu yang gendong," katanya dengan suara yang bergetar. Ah, rupanya Ibu sedang menahan tangis harunya.

"Kamu sehat, kan, Neng? Kok rasanya kurusan begini. Pasti sering begadang, ya, ngurusin Binar." Ibu terus berbicara, menebak setiap kesibukan yang kukerjakan sehari-hari sambil mengayun-ayunkan cucunya.

Aku biarkan Ibu mengutarkaan semua yang ingin disampaikannya tanpa sekalipun kusela, tetapi aku tetap mendengarkan sembari memasukkan beberapa tas yang kubawa dari Jakarta. Pak Sopir tadi lantas berpamitan tanpa suara, laki-laki itu seolah mengerti akan situasi yang ada.

Lekas aku berjalan memasuki rumah lebih dalam. Bau khas yang sejak dulu terbiasa kucium seketika memasuki indera penciumanku, perasaan tenang, bahagia dan haru bercampur jadi satu. Namun, kesedihan lebih mendominasi saat mataku menangkap keberadaan Ayah tengah berbaring lemah di atas kasur kapuk zaman dulu di ruang tengah.

"Dokter bilang tensi darah Ayah lagi tinggi, karena Ayah gak kuat makanya sampe pingsan," ujar Ibu menjelaskan.

Seiring sesak yang menghimpit dada, aku menghampiri Ayah dan menggenggam tangannya.

"Ayah gak apa-apa, Neng. Kamu jangan khawatir!" Meski cara berbicara belum busa normal, tetapi aku cukup memahami maksudnya. Ia mengatakannya dengan sangat pelan sambil tersenyum kepadaku. Aku berusaha membalas senyum Ayah, berharap bisa memberi kekuatan dan semangat untuknya.

"Sudah sana istirahat, Neng, Ngobrolnya besok lagi aja! Binar udah Ibu antar ke kamarmu. Dia kayaknya juga kecapean."

Sebetulnya, aku masih rindu, kegiatan mengobrol sebelum tidur seperti ini merupakan kebiasaan kami dahulu. Namun, aku mengerti bahwa Ibu juga pasti letih setelah seharian merawat Ayah.

Lekas aku masuk ke kamarku dan mebaringkan diri, meluruskan otot-otot punggungku yang sempat menegang lantaran duduk berjam-jam di mobil sambil memangku Binar.

Baru saja mataku hendak terpejam, bunyi notifikasi pesan masuk berdenting memenuhi ruangan yang senyap. Kuraih cepat ponselku, menebak siapa gerangan yang menghubungiku. Mungkinkah Mas Haikal?

Meski harapannya tipis, tetapi senyum di bibirku muncul begitu saja. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Senyumku seketika sirna sesaat setelah netraku melihat isi pesan yang ternyata dari Rania.

Potret kebersamaan antara dirinya dan suamiku tengah saling memeluk dalam balutan senyum lebar yang terpancar dari satu sama lain terpampang jelas di sana. Tanganku gemetar, mataku tiba-tiba memanas melihat hal tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status