Share

Bab 04 - Milik Anita

"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar.

Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar.

Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya.

"Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi.

"Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Binar dan menghampiri suamiku.

"Kamu itu ngapain aja, sih, Git? Binar tadi sempat nangis karena susunya habis, untung ada Bi Ratih yang sigap bikinin."

Langkahku sempat terhenti, lalu berbalik badan dan meminta maaf berulang kali pada ibu mertuaku. Aku tidak ingin berlarut-larut berdebat dengan Bu Sukma yang sudah pasti tidak akan ada ujungnya. Apa pun alasannya, aku akan tetap disalahkan. Padahal, aku hanya menitipkan Binar sebentar padanya selama aku mengurus keperluan Mas Haikal tadi. Ah, sudahlah.

"Papa berangkat kerja, ya, Sayang!" Mas Haikal mencubit-cubit gemas pipi putrinya yang kini tengah kugendong. Kami bertiga berada di teras rumah, Binar sering kali merengek setiap kali melihat papanya sudah rapi hendak berangkat seperti ini.

Seperti saat ini, ia mulai menangis dan menggerak-gerakan tubuhnya minta digendong papanya. Mau tidak mau akhirnya Mas Haikal pun mengambil Binar dari dekapanku yang sedang kualahan menahan tubuh si kecil tengah berontak.

Tepat di saat tangan Mas Haikal menyusup di antara tubuh mungil Binar dan tubuhku, punggung tangannya tak sengaja menyentuh dada ini hingga diriku sempat terkejut dan terdiam sejenak. Namun, tidak dengan Mas Haikal. Kulirik tipis ia yang tetap acuh seolah tidak terganggu sama sekali.

*

*

Sesuai dengan permintaan suamiku, beberapa hari ini aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti perkataannya. Tak lagi berani menyiapkan setelan kerjanya di pagi hari. Meski berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut pada diriku sendiri karena kurasa ini terlalu berlebihan.

Isi otakku terus dipenuhi dugaan-dugaan aneh mengenai Mas Haikal, apa mungkin ada alasan lain?

Kutepis cepat pikiran buruk yang terus mengganggu, lalu lanjut menepuk-nepuk lembut dada Binar agar semakin terlelap dalam tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, harusnya sebentar lagi Mas Haikal sudah tiba di rumah dan akan langsung menghampiri putrinya.

"Ayo bobo yang nyenyak, Nak! Papamu sebentar lagi ke sini." Aku berbicara dalam hati sembari terus melirik jam dinding dari atas ranjang dalam posisi tidur menyamping mendekap tubuh mungil Binar.

Meski Binar sudah belajar tidur terpisah, tetapi ruangan yang tak terlalu besar dengan nuansa pink pastel ini bersisian dengan kamarku, dan dilengkapi pula pintu penghubung. Jadi, jika Binar menangis di malam hari, aku bisa langsung menghampirinya tanpa harus membuka pintu utama.

"Haaah, akhirnya," ucapku berbisik. Lega rasanya karena sudah berhasil menidurkan si kecil. Aku pun tersenyum tenang sambil menatap wajah damai Binar lekat-lekat.

"Kamu semakin mirip dengan Kak Anita, Nak, ... cantik!" Kukecup lembut kening si kecil, lalu secara perlahan menarik tubuh ini agar menjauh dari sisi Binar, namun tetap dengan mata yang terus memandangnya.

Mas Haikal selalu mengatakan bahwa dia masih belum menerima kepergian Kak Anita. Dia seolah lupa, sebagai adik aku juga masih tidak percaya kalau kakakku satu-satunya yang teramat kusayangi telah tiada. Lalu kedua orangtuaku, bahkan sampai detik ini Ibu sering menangis ketika menghubungiku melalui telepon setiap kali menyinggung soal Kak Anita. Tak jauh berbeda dengan Ibu, di usianya yang menuju senja, Ayah pun masih bergelung duka hingga kondisinya kini sering sait-sakitan.

"Lantas aku ..., aku terpaksa harus menerima takdir ini, Mas. Hidup bersama kamu yang sama sekali gak cinta sama aku, dan ... mau tak mau merelakan impianku bersama laki-laki yang ...." Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Mas Haikal muncul membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati.

"Astaghfirullah ...," ucapku dalam hati, "apa yang sedang kupikirkan? Gak seharusnya aku memikirkan laki-laki lain dan menyesali ketentuan yang sudah Allah beri untukku."

Segera aku bergerak turun dengan tetap hati-hati supaya tidak menimbulkan gerakan berlebih dan mengganggu Binar. Memberi ruang pada Mas Haikal yang semakin mendekat.

Entah apa yang dia bisikkan pada putrinya, tetapi ujung mataku sempat menangkap gerakan bibir Mas Haikal hingga membentuk senyum tipis nan singkat namun hangat. Senyum yang tak pernah kudapatkan darinya selama kami menjadi suami-istri.

Aku keluar dari kamar Binar, membiarkan Mas Haikal berlama-lama di sana tanpa kehadiranku yang pasti mengganggunya. Kulangkahkan kaki ini menuju dapur untuk menyiapkan minuman hangat yang nanti akan kuantarkan ke kamar suamiku. Walaupun hati ini masih menyimpan rasa pedih atas kata-katanya bak duri yang menusuk tajam, tetapi sebagai seorang istri aku tak tega setelah tadi sempat memberanikan diri untuk menatap wajah suamiku. Gurat kelelahan sehabis pulang kerja terpatri di sana.

"Tidak ada seorang Kakak yang meniduri adiknya, Mas. Aku istrimu, tak masalah jika kamu melampiaskan hasratmu padaku karena itu sudah menjadi kewajibanku melayanimu. Tetapi ...."

Ah, sudahlah, lupakan! Terus-menerus memikirkannya pun tak ada gunanya. Hanya akan mengurangi kewarasanku dan aku tak ingin berujung gila. Meski kenyataannya aku sudah di tahap stress berat.

"Gak apa-apa kalau nanti kamu menolak lagi, Mas. Aku akan tetap mencoba menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri." Kutuang pelan satu sendok gula pasir ke dalam teh hangat yang sedang mengepul, kemudian mengaduknya. Bersamaan dengan itu, kuedarkan pandangan ke sekitar ruangan. Sejenak gerakan tanganku terhenti, mendapati pintu belakang yang terbuat dari full kaca itu terbuka lebar.

"Apa Bu Sukma ke sini, ya?" tebakku bergumam kecil. Kami memang tidak tinggal satu rumah, tetapi kedua mertuaku itu menempati paviliun berukuran sedang yang berjarak 5 langkah di belakang rumah utama. Maka baik kedua orangtuanya maupun Mas Haikal, bebas keluar-masuk hingga pintu belakang pun terbilang jarang dikunci.

Selesai membuat minuman hangat, lantas aku berjalan menuju lantai dua dengan nampan di tanganku berisikan teh hangat tadi. Aku yakin Mas Haikal sudah kembali ke kamarnya.

Semakin dekat aku menuju kamar Mas Haikal, semakin jelas pula suara dua orang yang tengah berbincang. Hal itu dikarenakan pintu ruangan yang tidak tertutup sepenuhnya hingga menyisakan celah kecil di sana. Sontak kupelankan langkah ini saat mendengar namaku dan Kak Anita disebut. Kuurungkan niatku yang akan membuka pintu, dan kini hanya berdiri terpaku di depan pintu.

"Ibu kira kalian berdua berantem, Kal."

"Enggak, Bu, kami baik-baik aja."

"Bukan apa-apa, Ibu perhatikan akhir-akhir ini muka Anggita ditekuk terus, Ibu jadi malas lihatnya. Bikin mood turun, Kal!"

"Mungkin karena aku ngelarang dia nyiapin baju gantiku, lebih tepatnya ... aku gak suka dia masuk ke kamar ini."

"Lho, kenapa?"

"Ibu, kan, tahu sendiri kamar ini milik Anita, aku gak mau ada orang lain yang lancang masuk ke sini."

"Tapi Ibu bukan orang lain, lho, Kal. Ya ... harusnya, sih, Anggita paham posisimu. Gak maksain diri supaya diterima sama kamu."

"Udahlah, Bu, gak usah bahas dia lagi. Aku capek mau istirahat, malah mumet nanti."

Kugenggam erat nampan di tanganku, lantaran tiba-tiba bergetar diiringi dada ini yang kembali terasa sesak dan penuh. Tega sekali mereka membicarakanku di belakang seperti itu. Apa ini bukan pertama kalinya aku dijadikan topik obrolan?

Mataku sontak memanas, kemudian meletakan nampan berisi teh hangat tadi di atas nakas yang berada di depan kamar Mas Haikal, lalu kutinggalkan begitu saja di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status