Share

3. Langkah Awal Ashraff

BU LAYLA memang sungguh bermurah hati kepada Ashraff. Jika tidak dibantu wanita tersebut, Ashraff belum tentu bisa memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Ameena. Ketika sedang duduk berhadapan dengan Ameena, Ashraff mengaku kurang nyaman. Dulu, Ameena selalu berpakaian tertutup. Tapi, sekarang? Ya, Tuhan. Ashraff malah bisa bebas menyaksikan sebagian dari aurat Ameena! Mata Ashraff benar-benar sudah ternoda.

Melihat rambut Ameena diatur bergelombang dan diberikan sentuhan warna caramel ombre brown, bisa dipastikan susah sekali untuk Ashraff dapat mengatakan bahwa mahkota milik Ameena tersebut tidaklah indah. Memaksa Ashraff untuk sering-sering menunduk. Yang lebih mengkhawatirkan, kedua lengan dan kedua betis Ameena entah mengapa seperti sedang menantang Ashraff. Jika tingkat keimanan Ashraff terlalu lemah, kemungkinan Ashraff sudah berbuat macam-macam kepada Ameena.

Maksud Ashraff untuk mengajak Ameena mengikuti reuni khusus alumni dari SMA Islam Al-Mustaqim angkatan 2016 sudah tersampaikan kepada Ameena. Mulut Ameena sampai ternganga. "Apakah aku ngga salah denger? Jadi, kamu repot-repot dateng ke sini untuk ngajak aku ikutan reuni?"

Ketika Ameena sedang tertawa tidak percaya, bibir Ashraff sudah setengah terbuka. Tapi? Merasa bahwa sekarang bukan waktu tertepat untuk bersuara, rencana Ashraff untuk berbicara langsung dibatalkan.

"Aku 'kan belum sempet lulus dari sana karena udah keburu dikeluarin secara ngga terhormat. Masa kamu bisa lupa, sih? Yang udah bikin aku dikeluarin, bukankah kamu sendiri?"

Memang benar bahwa susunan dari kalimat Ameena dimaksudkan untuk menyudutkan Ashraff. Akan tetapi, Ameena tidak bisa menyabet keberhasilan untuk membuat mental Ashraff bobrok karena Ashraff sudah mempersiapkan argumen mumpuni. "Tapi, ibumu udah ngizinin aku untuk bawa kamu ke sana dan ... kalau kamu masih ngga percaya sama omongan aku, kamu bisa bertanya kepada ibumu."

Mata Ameena berubah menusuk. "Meski ibuku udah ngizinin kamu, bukan berarti aku akan ikut kamu. Jika kamu kepengen dateng, ngga usah ajak-ajak aku, deh. Aku ngga tertarik untuk ketemuan sama orang-orang sekelas malaikat seperti kalian. Aku 'kan cuma sampah masyarakat. Jadi, aku ngga selevel dengan kalian."

Mendapati karakter Ameena ternyata sudah berubah drastis sesudah dibandingkan dengan karakter Ameena semasa mereka masih SMA, Ashraff memiliki alasan ampuh untuk terdiam. Di mata Ashraff sekarang, Ameena sungguh teramat asing dengan dunia kelembutan, tidak memiliki banyak kesabaran, serta cenderung suka nyolot dan ketus.

Mendadak, Ameena berdiri dan menghampiri Ashraff. Meraih salah satu lengan laki-laki tersebut untuk kemudian ditarik dengan bersusah payah. "Mending kamu cepetan pergi dari rumahku karena aku ngga bakalan menghadiri acara reuni bersamamu," kata Ameena selama sedang menyeret Ashraff ke arah akses utama untuk keluar dari rumah.

Mendengar keributan, Bu Layla meninggalkan dapur untuk menuju ruang tamu. Melihat Ameena tengah mendorong-dorong Ashraff supaya laki-laki tersebut segera meninggalkan kediaman mereka, bisa dibilang Bu Layla teramat tertegun.

"Loh? Ameena?"

"Kok Nak Ashraff malah kamu usir?"

"Aku capek, Bu. Mau istirahat," ucap Ameena tanpa merasa berdosa. Membuat Bu Layla sampai menggelengkan kepala secara berulang-ulang.

"Tapi, bukankah kamu akan menghadiri acara reuni bersama Nak Ashraff?"

"Ameena bersikeras untuk menolak ajakan saya, Bu."

Yang angkat suara duluan adalah Ashraff. Kenapa? Karena Ashraff mengharapkan dukungan dari Bu Layla.

"Astaga, Ameena. Maksud Nak Ashraff tuh beneran baik, loh."

Perhatian Bu Layla dipusatkan ke arah Ameena. "Ibu seneng banget kalau kamu bisa memperbaiki hubunganmu dengan teman-teman SMA-Mu."

"Ada bagusnya, kamu lebih sering berbaur sama anak-anak sebayamu daripada sama ... kekasih atau suami orang," ucap Bu Layla dengan menyertakan nuansa menuntut.

"Iiiiih, Ibu mah. Aku tuh ngga mau, Bu."

"Mereka udah nyakitin aku dengan mulut dan tangan mereka. Maksain untuk dateng sama artinya dengan membuka luka lamaku."

Melipat kedua tangan di depan dada, Ameena sudah selesai berucap tidak terima dengan sangat lancar. Menghadapi manusia berkepala batu, Bu Layla sudah membuat keputusan bagus dengan langsung mengusik kartu AS Ameena. "Baiklah. Ibu ngga akan maksa kamu. Tapi, kamu harus menanggung risiko untuk nikah sama Pak Karso."

"Ibu ngancem aku?"

Menatap Bu Layla, kedua netra Ameena lantas membesar secara serentak. Bu Layla mengerti benar tentang Ameena. Di mata anak semata wayang dari wanita berusia 52 tahun tersebut, Pak Karso merupakan sosok laki-laki menjijikkan. Kenapa? Karena Pak Karso sudah memiliki tiga istri. Masa masih mau ditambah? Di lain sisi, umur dari Pak Karso sudah mendekati angka kepala lima. Artinya, Pak Karso malah lebih sesuai untuk dijadikan ayah Ameena daripada suami Ameena.

"Ibu ngga ngancem kamu, Ameena. Yang benar, sebatas meminta kamu untuk memilih," kata Bu Layla karena tidak berkenan untuk disalahkan.

"Iya, deh. Iya."

"Aku akan siap-siap sekarang."

Alergi dengan kepribadian dari makhluk menggelikan semacam Pak Karso, suka tidak suka Ameena memang harus menuruti kemauan Bu Layla. Ketika Ameena bertolak ke kamar untuk bersiap, Ashraff diminta Bu Layla untuk bersantai seperti menit-menit sebelum Ameena membuat keributan.

"Nak Ashraff duduk lagi saja."

"Iya, Bu, terima kasih, ya," ucap Ashraff terutama karena merasa terbantu sekali dengan ancaman Bu Layla kepada Ameena. Pada selang waktu singkat, intruksi dari Bu Layla sudah diindahkan Ashraff hingga membuat Ashraff bisa berakhir dengan ditinggal sendirian karena ibunda dari Ameena tersebut masih harus berkutat dengan urusan dapur.

Menanti Ameena selama sepuluh menitan, Ashraff malah sukses dibuat meradang dengan penampilan Ameena sekarang. Mata Ashraff sampai melotot. Yah, bagaimana tidak? Ameena sedang mengenakan dress selutut dengan model tanpa lengan dan sebagian dada beserta daerah tulang belikat dibiarkan terbuka.

"A- Ameena, kamu ...?"

Masih syok dengan busana Ameena, alunan napas Ashraff tahu-tahu sudah berubah memburu.

Astaghfirullah.

Yang harus disyukuri dengan lurus, Ashraff masih diingatkan semesta untuk beristighfar. Membuat Ashraff diberikan kemudahan ekstra untuk memalingkan wajah dengan tangkas. Agar kesucian mata Ashraff tidak bertambah terkontaminasi.

"Kenapa?" tanya Ameena bertanya dengan heran.

Menatap Ameena dengan durasi ditetapkan sependek mungkin, mulut Ashraff tergerak untuk berseru cepat, "Apakah kamu ngga merasa salah kostum?"

Ketika Ashraff sudah balik membuang muka, Ameena mengamati kondisi badan sendiri dengan tampang bloon. "Aku merasa salah dengan kostumku?" tanya Ameena dengan bingung.

Mengaktifkan mode mencibir selama menatap kedua mata Ashraff, lidah Ameena entah mengapa bisa semakin licin hingga Ameena dapat berkata dengan lihai, "Shraff, Shraff, ngga usah ngadi-ngadi, deh. Aku tuh malah bangga banget karena bisa kelihatan modis begini."

Menatap Ameena, Ashraff sebatas berbekal keberanian dengan volume tidak seberapa serta sebatas difokuskan ke kedua kornea mata Ameena. "Yakin, Am? Yang akan kita temui adalah temen-temen satu SMA kita, loh. Masa kamu bisa berani sekali untuk berpenampilan terbuka?"

Ameena membalas dengan enteng, "Yakinlah, Shraff. Jika ngga, sekarang aku ngga akan berdiri di sini."

"Tapi, temen-temen kita 'kan ...."

Muka Ashraff sudah mengukir kerutan halus. Menjawab kerisauan Ashraff, Ameena malah berdesis dengan telunjuk tangan kanan ditaruh di depan bibir sebelum berujar, "Aku ngga suka ribet-ribet, loh, Shraff."

Apakah Ameena sudah menggila? Ayolah. Baik Ameena dan Ashraff sudah sama-sama memahami tentang satu kebiasaan terhebat dari seluruh teman SMA mereka: mampu menutup aurat dengan benar. Jika Ameena datang ke acara reuni dengan busana Ameena sekarang, maka Ameena akan berbeda sendiri dan bisa-bisa malah mengundang syahwat.

Masih dihadapkan dengan kebungkaman Ashraff, Ameena bertolak pinggang dengan kedua mata sempat diputar. Menatap laki-laki dengan badan dibalut kemeja bercorak kelabu tersebut, Ameena beralih meminta kepastian dengan bertanya, "Jadi ngga, nih?"

"Ya, udah. Yok!"

Alis nyaris bertautan, Ashraff harus bisa menerima keadaan Ameena karena Ashraff tidak bisa memaksa Ameena. Meski dengan hati berduri? Yah. Begitulah.

Akan segera bertolak ke lokasi acara reuni, Ameena dan Ashraff tidak kelupaan untuk berpamitan kepada Bu Layla sebentar. Lalu, selama sedang menaiki sepeda motor dengan memboncengkan Ameena, terus terang Ashraff sering tidak fokus karena kemulusan betis Ameena terus terpantulkan lewat kaca spion. Membuat Ashraff menegang hingga tidak tahan untuk berkali-kali menelan ludah.

Pikiran Ashraff memang harus dialihkan. Jadi, Ashraff berinisiatif untuk memecahkan keheningan. "Aku ngga pernah boncengin wanita selain kerabat dekatku, loh, Am."

Mendengus singkat dengan sudut bibir sebelah kanan ditarik cepat, Ameena baru berkata dengan nada sinis, "Aku ngga nanya tuh."

"Aku ngasih tahu," balas Ashraff tanpa mempermasalahkan ketidakramahan Ameena.

"Tapi, aku ngga butuh dikasih tahu kamu."

"Tapi, aku butuh."

Ameena mengernyitkan kening dengan kedua mata dipicingkan. "Loh? Kok?"

Meski tidak untuk disaksikan Ameena, Ashraff tetap bersikukuh untuk memamerkan senyuman tipis. "Aku adalah laki-laki berprinsip, Am," beber Ashraff dengan bibir masih melengkung dengan elok.

Masih mengerutkan dahi, Ameena benar-benar diterpa kebingungan karena ucapan setengah-setengah dari Ashraff. Apakah laki-laki berjaket hitam di depan Ameena tersebut memang hobi bertele-tele?

"Aku ngga akan membonceng siapa pun selain mahramku dan istriku," kata Ashraff dengan diiringi senyuman penuh makna hingga mampu memperdalam kerutan dari kening berkulit licin milik Ameena.

Atas kalimat ambigu dari bibir Ashraff, Ameena masih mengedepankan kesinisan selama bertutur, "Aku bukan mahrammu maupun istrimu."

"Memang."

Di sini, Ashraff tidak berkelit. Malah langsung membenarkan. Menjadikan Ameena terheran-heran karenanya.

"Lalu?"

Yang ditanya tidak lantas menyahut dengan kecepatan ekspres. Melirik ke arah salah satu spion untuk mengecek bagaimana mimik muka terbaru Ameena, diam-diam sebaris seruan sudah dikibarkan, tetapi tanpa dinyaringkan. "Artinya, kamu harus menjadi istriku, Am."

Mulai berhenti tersenyum simpul, Ashraff baru dapat menyampaikan, "Aku yakin sekali. Pasti kamu bisa nyimpulin sendiri."

Ameena tidak membalas. Asyik bergulat dengan batin sendiri menggunakan irama sewot. "Masa cuma gara-gara boncengin aku, kamu harus sampai nikahin aku segala?"

Di depan akses masuk ke sebuah ballroom dengan kategori termasuk mewah, langkah Ameena terhenti. Mendadak, tubuh ramping wanita tersebut menegang dengan hebat. Di tengah kekakuan dari setiap tulang-tulang Ameena, bisa dipastikan Ameena sedang gemetaran. Melihat kedua tangan Ameena sampai dikepalkan di samping badan, bagaimana Ashraff bisa tidak khawatir?

Menoleh dan menatap Ameena, Ashraff mencoba berseru dengan tenang, "Yuk, Am. Kita masuk sekarang."

Mendapati Ameena menarik napas dalam-dalam dengan kedua mata dikatupkan sekilas, Ashraff mengaku tidak sampai hati. Kasihan Ameena. Pasti Ameena sedang ditimpa kesulitan. Apakah benar berupa tekanan?

"Jika kamu merasa ketakutan karena harus menghadapi mereka, kamu boleh memegang bajuku," kata Ashraff dengan suara berhawa sejuk layaknya angin sepoi-sepoi.

Memutar kepala ke samping untuk menatap Ashraff, kondisi Ameena sekarang sungguh cocok apabila disebut dengan setengah tercengang. "Ha? Aku memegang bajumu?"

Meski Ameena masih tersentak, agenda Ashraff untuk bergumam dengan santai tidak lantas diurungkan. "Yah. Mau gimana lagi? Aku 'kan emang belum halal untuk dipegang-pegang sama kamu."

"Iiissh!"

Ameena mendesis dengan keki. Agak bersungut-sungut sebelum seluruh kalimat dari lubuk hati Ameena dikobarkan dengan beringas. "Aku ngga akan pernah kepikiran untuk megang-megang kamu."

Tiap inci dari badan Ashraff malah dianggap Ameena seperti kuman. Alasan mengapa Ameena memilih untuk memasuki ruangan duluan. Ketika Ameena sudah dibiarkan mengibrit sendirian, langkah Ashraff harus tertahan sementara karena Ashraff tiba-tiba sudah dihantam suatu beban. Di dalam hati dan semasa masih bergeming, lantunan harapan disemarakkan kemudian.

"Bismillah."

"Mudah-mudahan langkah awalku bisa berdampak baik untuk kehidupan keduamu, Am."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status