Share

4. Keterlambatan Ashraff

"Ameena?"

Mata Masha membola. Melihat sosok wanita bergaun merah maroon sedang berjalan memasuki ballroom dengan langkah menggoda, Masha sungguh-sungguh tersentak. Malah, sekarang manusia dengan tubuh dibalut gamis berwarna krem tersebut sudah memanggil-manggil Eyla dengan sebelah tangan ikutan digerakkan secara aktif supaya Eyla bisa segera merespons.

"Eyla! Eyla!"

Di samping Masha, mustahil sekali apabila kedua telinga Eyla tidak dapat menyerap seruan dari mulut Masha. Menilai bahwa setiap keributan Masha terbilang mengesalkan, Eyla sampai tidak bisa mengabaikan semata. Jadi, Eyla memaksakan untuk menyahut dengan tidak ikhlas, "Kenapa, Mash?"

"Aku salah lihat atau ngga, sih?"

Pandangan Masha masih belum dilepaskan dari Ameena. Tiap detik bertambah, Masha malah terus-menerus menolak untuk berkedip. "Yang masuk bareng Ashraff beneran Ameena?"

Mengikuti ke mana arah dari tatapan Masha, kedua netra Eyla lantas menemukan Ameena dan Ashraff sedang melangkah bersama. Meski sekilas kelihatan berjarak, interaksi antara mereka berdua bukanlah suatu bentuk rekayasa.

"Loh? Kok Ameena bisa dateng ke sini?"

Atas keberadaan Ameena, Eyla tidak dapat mengelak dari keterguncangan. Lalu, Eyla beralih caper kepada Olyzia. "Astaga, Olyzia, kenapa kamu malah ngundang Ameena?" ucap Eyla seraya menyikut salah satu lengan Olyzia.

Mirip seperti Eyla, bisa dikatakan Olyzia tidak kalah terguncang. Mata Olyzia masih membesar secara otomatis selama menegaskan dengan mantap, "Aku berani sumpah, Girls. Aku ngga ngundang Ameena sama sekali."

"Astaghfirullah."

Memegang dada dengan mengandalkan sebelah telapak tangan, kepala Eyla digeleng-gelengkan. Masih mengamati Ameena dengan intens, wanita berbusana hijau army tersebut merasa miris dengan keliaran Ameena. "Jika dipikir-pikir, Ameena malah seperti orang ngga waras karena berani dateng ke sini dengan kostum khas wanita-wanita nakal."

Di mata setiap orang, Ameena sudah sangat layak untuk disebut urakan. Dulu, Ameena selalu menbentangkan kain-kain lebar untuk menutupi dada dan merahasiakan keelokan dari rambut indah Ameena. Tapi, sekarang?

"Entahlah. Aku sendiri ngga ngerti," ungkap Olyzia untuk berpendapat dengan sekalian mengembangkan bibit-bibit kesinisan. "Yang dilakukan Ameena sekarang bener-bener ngga cocok untuk disebut menghadiri acara reuni."

"Tapi?"

Menoleh untuk menatap Olyzia, Masha bertanya singkat dengan dibersamai kening berkerut samar. Pada awalnya, Olyzia sempat membuang napas sebelum menyambut tatapan dari Masha dan berucap dengan geregetan, "Ayolah. Masa kamu ngga bisa menilai sendiri?"

Meski tidak sampai dipastikan secara teoritis dengan melibatkan kelompok cendekiawan, style dari fashion Ameena memang memiliki kecenderungun khusus. Membuat siapa pun akan bertanya-tanya berkenaan dengan dilema serupa. Apakah Ameena sedang kesasar? Misalkan Ameena memang berkeinginan untuk berbuat maksiat, bukankah tempat tertepat untuk Ameena adalah kelab malam?

Di suatu sudut, selain mereka bertiga, seseorang tidak tahan untuk ikutan berkomentar mengenai Ameena. "Aku beneran ngga bisa bohong. Ameena memang semakin cantik. Tapi, sayang ... murahan," ucap Aldino. Teman SMA Ameena, tetapi tidak satu kelas dengan Ameena.

Mungkin, sekarang Ameena bisa cantik sekali karena Ameena terlalu rajin melakukan treatment-treatment mahal dari klinik kecantikan terpercaya. Di sisi lain, Ameena sendiri terlahir dengan darah campuran antara cina dan sunda. Jadi, Ameena bisa berparas menawan bukanlah suatu bentuk buatan tangan manusia semata, melainkan memang sudah ditakdirkan.

Di samping Alden, belasan detik sudah dihabiskan Mirza untuk ikutan memandang ke arah Ameena. Tapi, bukan untuk berkomentar? Yah. Begitulah.

"Aku masih inget, loh. Dulu, Ameena sampai dikeluarin dari sekolah karena udah nggodain kamu."

Mengamati Ameena dengan tatapan sukar didefinisikan, celetukan dari Alden menuntut Mirza untuk beralih menatap laki-laki dengan badan dibalut kemeja bermotif kotak-kotak tersebut. Pada waktu bersamaan, Alden tahu-tahu sudah menambahkan, "Lalu, denger-denger, selama empat tahun terakhir, Ameena sering sekali dipelihara sama laki-laki berduit."

Menghela napas dengan tidak berminat, kemalasan Mirza untuk meladeni Alden memang tidak dapat disembunyikan. Lalu, tidak sampai berselisih lama, Mirza memilih untuk mengalihkan tatapan ke sembarang arah, memikirkan sesuatu dengan kedua mata separuh menyipit.

Ketika sudah beres mencari tempat duduk bersama Ashraff, Ameena tidak sungkan untuk bertanya, "Kita akan duduk di sini?"

Di samping Ashraff, memang sudah risiko Ameena untuk kelihatan mungil. Yah, bagaimana tidak? 177 cm dibandingkan dengan 157 cm. Membuat Ameena bergegas menerima usulan Ashraff untuk menempati sebuah meja terasing—disebut Ameena demikian karena cenderung memisah dari kerumunan. Di daerah tersudut.

"Iya. Aku ngga mau menyulitkanmu," ucap Ashraff. Dia merasa terbebani dengan ketegangan Ameena dan menghindari keramaian merupakan bentuk usaha Ashraff untuk tidak memperparah kebobrokan dari mental Ameena.

Pada momen dimana mereka sudah duduk bersebelahan, Ameena malah menggandeng kebisuan selama menggerutu dengan memanfaatkan suara hati, "Jika malah berakhir menyendiri begini, kenapa harus datang ke acara reuni?"

Melihat fokus Ameena sudah berubah melayang ke mana-mana, inisiatif Ashraff untuk menyelimuti badan Ameena dengan jaket milik Ashraff sendiri sampai tidak dapat dipasung. Agar kedua bahu Ameena tidak terus terekspos dan dijadikan tontonan gratis, Ashraff memang tidak diperbolehkan untuk sekadar berdiam.

"Heh? Mau ngapain?"

Pergerakan Ashraff membuat tingkat kewaspadaan Ameena meningkat dengan kecepatan menyerupai halilintar. "Aku ngga bakalan macem-macem sama kamu, Am. Aku sedang berusaha untuk menjagamu. Jika kamu sampai jatuh sakit gara-gara kedinginan, aku akan merasa sangat bersalah kepada ibumu."

Ameena sudah berpikir terlalu banyak apabila tetap menyangka bahwa Ashraff hendak berbuat aneh-aneh. Ayolah, bukankah sekarang mereka sedang berada di tempat umum?

Menolak untuk menggunakan barang-barang milik Ashraff, Ameena sudah berniat mengembalikan benda dengan fungsi untuk menyimpan suhu tubuh tersebut. Akan tetapi, Ashraff selalu mencegah kekeraskepalaan Ameena untuk meraih kemenangan. Membuat Ameena capek sendiri. Pada akhirnya, Ameena dipaksa keadaan untuk berserah.

Meski tidak seberapa, selama acara sedang berlangsung Ameena sering diperhatikan Ashraff dengan sepenuh hati. Kepada Ameena, Ashraff sungguh dilimpahi kemudahan untuk menawari minuman dan makanan tanpa harus menunggu disuruh maupun diminta Ameena. Mungkinkah keaktifan Ashraff adalah faktor utama sehingga setiap menit dari momentum mereka dapat bergulir dengan cepat? Ada benarnya. Di lain sisi, terus terang Ameena sengaja disibukkan Ashraff semata-mata supaya Ameena tidak mendengarkan omongan nyelekit dari beberapa teman lama mereka.

Memasuki akhir acara, salah satu master of ceremony meminta kepada beberapa audien untuk membagikan sedikit kesan mereka terhadap acara reuni mereka atau mungkin sebatas mengenang masa-masa SMA mereka terdahulu dan kesempatan tersebut segera diambil Ashraff.

"Aku yakin sekali. Meski ngga aku ingetin, sampai sekarang kalian masih belum bisa ngelupain kasus lima tahun silam. Aku tahu benar bahwa sekarang udah sangat terlambat untukku berbicara mengenai kasus tersebut."

Mirza memotong kalimat Ashraff dengan suara berirama memprotes, "Aduh, Shraff. Mau kamu tuh apa, sih? Masa masalah basi masih kamu bahas?"

Di sini, Ashraff mengerti sekali mengapa Mirza bisa kalang kabut. Karena Mirza terlibat? Jelas.

Mau Mirza merasa tidak aman dengan suasana terkini, Ashraff tidak akan mengasihani Mirza hingga berpikiran untuk mundur. Menurut ingatan Ashraff terdahulu, Mirza sama seperti Ameena. Yaitu tidak mengikuti acara reuni. Tapi, kenapa sekarang Mirza malah hadir di sini?

"Astaga, Shraff. Jika mau bertanya-tanya, lakukanlah setelah kamu selesai meluruskan kesalahpahaman antara teman-teman SMA-mu terhadap Ameena."

"Maaf, Mirza. Mungkin, aku akan bikin namamu tercoreng. Tapi, aku harus tetep ngakuin kekhilafan terbesarku kepada Ameena," ucap Ashraff tanpa berencana untuk memprovokasi Mirza. Yang merupakan kepastian, Ashraff sudah tidak bisa dihentikan.

"Di hadapan kalian sekarang, aku berani bersumpah bahwa Ameena ngga bersalah. Dia ngga pernah merayu Mirza untuk berbuat ngga senonoh. Yang benar, Ameena malah dilecehkan Mirza. Tapi, sebagai satu-satunya saksi atas kebejatan Mirza, aku malah memilih untuk memfitnah Ameena supaya aku bisa mendapatkan beasiswa kuliah dari Yayasan Pendidikan Al-Mustaqim mengingat Ameena adalah saingan terberatku."

Mirza adalah aktor utama dari kasus asusila Ameena. Meski sudah dikasih tahu, orang-orang tidak terlalu bernyali untuk menghakimi Mirza. Apakah karena mereka tidak memiliki cukup kesiapan untuk menghadapi kebrutalan Mirza? Memang. Jika mereka sampai membuat Mirza merasa terusik, bisa-bisa mereka malah berujung dengan digebuki. Dulu, Mirza memang terkenal menyukai kerusuhan.

"Mulai sekarang, aku mohon kepada kalian untuk berhenti mengklaim bahwa Ameena adalah wanita murahan."

Akankah Ameena bisa terkesima kepada Ashraff karena habis diberikan kejutan spesial?

Tidak.

Yang bersangkutan lebih tertarik untuk mendengus dan tersenyum miring. Lalu, singkat cerita, benda beraroma maskulin milik Ashraff segera disingkirkan dari tubuh Ameena. Mengapa harus dilakukan? Ameena sudah memutuskan untuk berdiri. Alunan merdu dari suara hentakan sepatu tinggi Ameena setiap menghantam lantai keramik merupakan isyarat nyata bahwa Ameena sedang berusaha mendekat ke tempat Ashraff.

Di area terdepan dari ballroom, Ameena dan Ashraff lantas berhadap-hadapan dengan mata saling terikat satu sama lain. Menatap Ameena lekat-lekat dengan kornea menghangat, kalimat mengandung ketulusan terucap dengan perlahan dari bibir kering Ashraff. "Aku minta maaf, Am. Aku bener-bener nyesel."

Mata Ashraff memancarkan kesungguhan. Yang menjadi bencana untuk Ashraff, Ameena memiliki sebuah tameng tidak kasat mata untuk menangkal semua mantra dari kedua mata laki-laki tersebut.

"Maaf katamu? Apakah kamu pikir ucapan maafmu bisa ngembaliin hidupku seperti semula, Shraff?"

Ameena sudah berseru lantang dengan kedua lubang hidung sampai mengembang dan mengempis secara ringkas. Adakah ampunan untuk manusia berwatak egois seperti Achmad Ashraff? Tidak.

Plak!

Di depan Ameena, laki-laki beralis tebal tersebut memang lazim untuk dihadiahi dengan tamparan keras. Muka Ashraff sampai terputar ke arah samping berkat totalitas Ameena. Yang beruntung, kacamata Ashraff tidak sampai terlepas.

"Permintaan maafmu ngga akan ngubah apa pun, Shraff!"

Perkataan Ameena sungguh menusuk dan Ashraff tidak sempat melontarkan sepatah kata apa pun karena Ameena keburu keluar dari ballroom duluan. Melangkah dengan cepat sekali untuk meninggalkan Ashraff. Meski sudah berusaha untuk mengejar, Ameena tetap tidak dapat dicapai. Kenapa? Karena Ashraff harus memungut sesuatu terlebih dahulu. Jika tidak diambil, motor Ashraff tidak bisa dikendarai mengingat kunci motor Ashraff harus dirogoh dari salah satu saku busana berbahan taslan tersebut.

Tapi, apakah nanti Ashraff masih bisa menyusul Ameena dan mengemis belas kasihan Ameena?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status