All Chapters of PULANG KAMPUNG: Chapter 21 - Chapter 30
89 Chapters
19B - Tuyul
Para ibu itu hanya ada empat orang, duduk berjejeran. Saat kulirik ke belakang, mereka masih tetap asyik ngobrol soal tuyul sembari menikmati camilan yang terhidang.Beberapa hari terakhir, aku memang mendengar gosip pertuyulan itu. Sungguh tak menyangka jika yang dituduh piara tuyul adalah aku. Entah siapa pencetus gosip itu pertama kalinya. Heran. Tega sekali memfitnah keluargaku sedemikian rupa.Padahal di sini, aku tak pernah bermewah-mewahan. Mobil itu pun dibawa lagi ke Jakarta oleh Pak Joko. Di rumah ibu hanya si putih pick up dan motor pcx dan vespa Mas Huda saja. Soal emas yang dulu pernah menjadi hadiah spesialnya, tak pernah kupakai. Tersimpan rapi di kotak kayu dan kumasukkan ke dalam lemari. Beberapa hari terakhir, aku memang mendengar gosip pertuyulan itu. Sungguh tak menyangka jika yang dituduh piara tuyul adalah aku. Entah siapa pencetus gosip itu pertama kalinya. Heran. Tega sekali memfitnah keluargaku sedemikian rupa.Padahal di sini, aku tak pernah bermewah-mewaha
Read more
20A - Sidang Warga
Suasana kampung makin heboh. Desas-desus piara tuyul itu pun sudah melebar kemana-mana, bahkan orang-orang seolah percaya bahwa aku dan Mas Huda memang piara tuyul hanya karena tak terlihat kerja tapi bisa beli ini itu. Sudah berulang kali kujelaskan, aku memang piara satu tuyul yang doyan makan kebab sama steak. Tuyul sholeh bernama Gala, tapi mereka justru makin menuduhku ini dan itu. Menganggap guyonanku tak lucu. Memang iya sih, aku sebenarnya kan cuma ingin mencairkan suasana yang kaku.Demi kenyamanan kembali, akhirnya Pak RT mengumpulkan warga di rumahnya. Termasuk Mbak Sinta dan Mila karena mereka memang masih satu kampung denganku meski beda RT. Ibu mulai terlihat cemas. Berulang kali mengusap dada seraya mengucap istighfar. Mas Huda pun berusaha menenangkannya. Dia terus meyakinkan ibu kalau semua akan baik-baik saja. Tak perlu ada yang ditakutkan, karena kami memang tak bersalah dalam hal ini.Kami sangat yakin akan kuasa Allah. Meski beberapa minggu terakhir kembali bany
Read more
20B - Sidang Warga
"Jadi Mbak Sinta yang pertama kali lapor kehilangan uang itu?" tanyaku seketika."Apakah Mbak Sinta juga yang pertama kali menuduh kami piara tuyul?" Mas Huda pun ikut bertanya.Mendengar pertanyaan kami, spontan Ibu dan Mila melotot lebar ke arahku. Mereka saling pandang satu sama lain. Seolah tak percaya dan tak menyangka jika kemungkinan besar Mbak Sintalah yang lapor soal tuyul itu untuk pertama kalinya. Namun Mbak Sinta mengelak pertanyaan kami."Iya, aku memang kehilangan uang lima ratus ribu. Uang yang akan kupakai membayar kredit motor malah hilang entah ke mana. Akhirnya aku lapor Pak RT. Ternyata beberapa hari kemudian, banyak warga mengalami hal yang sama. Mereka juga kehilangan uang, makanya semua dicatat Pak RT sesuai tanggal dan nominal kehilangannya supaya tak dituduh sebar fitnah," pungkas Mbak Sinta lagi.Dia tak menatap manik mataku, entah mengapa sengaja menatap ke arah depan, padahal aku berada di samping kirinya."Kenapa Mbak Sinta nggak cerita soal itu padaku ata
Read more
21 - Ternyata
"Rumah ibu memang nggak ada kamar khusus, tapi rumah kalian di Jakarta. Mana kami tahu."Sebuah pernyataan yang membuatku menoleh seketika. Mbak Sinta. Ternyata dia justru masih menaruh curiga pada adik dan iparnya sendiri. Astaghfirullah."Mbak Sinta masih nggak percaya juga? Siapa lagi yang nggak percaya coba saya pengin lihat. Tunjuk tangan aja deh," ucap Mas Huda sudah mulai memanas. Dia yang tadi cukup santai, mulai keluar keringat dingin. Aku memberinya tissu untuk mengelapnya."Cuma sembilan orang? Bukannya yang kehilangan uang ada 20 orang? Yang 11 orang sudah percaya penjelasan saya tadi atau masih ragu?" tanya Mas Huda lagi. Dia menatap satu persatu sembilan orang yang berjejer di belakang Mbak Sinta."Saya percaya, Mas. Saya yang harusnya minta maaf sudah ikut melapor segala. Gara-gara di sini ramai, suami saya jadi ngaku kalau uang yang saya simpan di bawah bantal dia yang ambil. Bukan tuyul," ucap seorang ibu dengan wajah memerah karena malu. Dia pun kembali minta maaf la
Read more
22 - Rahasia
"Rum ... antar ini ke rumah kakakmu. Kalau tanya dari siapa. Bilang aja dari ibu karena dapat rezeki lebih, jadi masak banyak sekalian buat dibagi-bagi ke tetangga. Jangan bilang dari kamu, nanti dia nggak mau terima," perintah ibu dengan rantang susun tiganya. Rantang jadul bermotif bunga yang paling ibu suka. Termasuk rantang favoritnya. "Baik, Bu. Ngomong-ngomong isinya apa aja sih, Bu? Berat banget kayanya ini," tanyaku kemudian. Ibu pun tersenyum tipis lalu menepuk lenganku pelan saat aku menerima rantang itu darinya."Kesukaan kakakmu. Rendang jengkol paling bawah, atasnya opor ayam buat anak-anaknya sama tempe tahu bacem yang paling atas," jawab ibu dengan senyum tulusnya.Begitulah seorang ibu. Sebanyak apapun kesalahan anak-anaknya, selalu berusaha melupakan dan menaafkan. Tetap mencurahkan kasih sayang seperti biasanya, meski dalam hati masih ada luka. Pantas jika ada pepatah kasih sayang ibu sepanjang jalan dan sepanjang masa. Ibu memanglah orang pertama dan satu-satunya
Read more
23 - Ketahuan
Dadaku bergemuruh kesal, sedih dan bingung. Antara percaya dan tak percaya. Aku benar-benar tak menyangka jika dia sebegitu tega padaku. Padahal selama ini aku sudah banyak berkorban dan mengalah, tapi tetap saja selalu salah di matanya."Apalagi bulan ini suamiku udah nggak kerja, Mir. Dia kena PHK massal, bangkrut kali itu pabrik tempatnya kerja. Makin pusinglah aku. Sekarang aku coba cari pekerjaan lain, kerja di laundry-an gitu. Sehari cuma lima puluh ribu. Masih mendinglah bisa buat bayar bank keliling tiap kamis sama sabtu. Kalau misal Ningrum sekeluarga balik ke Jakarta kan lumayan, dapet transferan tiap bulan. Nggak mungkin ibu ikut ke sana soalnya. Nggak akan mau," ucap Mbak Sinta panjang lebar.Ya Allah Mbak Sinta. Kenapa dia bisa begitu membenciku? Bahkan sampai tega memfitnahku begitu. Astaghfirullah. Ada lagi ujian hidup yang harus kujalani. Dibenci keluarga sendiri, meski kini kutahu jika mereka bukanlah keluarga kandungku, tapi bagiku hanya mereka keluargaku. Sejak aku
Read more
24 - Kecelakaan
"Kenapa, Rum? Kamu mencurigai Pak Hasan?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan tajam.Aku diam saja tak menjawab pertanyaannya. Dia masih saja menatapku sinis seolah aku ini pesakitan yang wajib dibenci dan dibully. Memandangku remeh dan sadis."Iya, dia memang kubayar untuk memfitnahmu. Dia dan tujuh warga lainnya. Bukankah kamu sudah mendengar semua obrolanku dengan Mira? Jadi, sekalian kubeberkan di sini biar kamu tahu dan tak selalu merecoki hidupku," ucapnya lagi. Kalimat cukup aneh yang seharusnya justru kuucapkan padanya. "Terbalik. Justru kamu yang merecoki hidupku, Mbak," balasku tak mau kalah. "Kalau kamu nggak mau direcoki, silakan angkat kaki dari kampung ini. Lagipula kamu sudah tahu kalau kamu hanyalah anak angkat ibu, kan? Kamu nggak ada kewajiban untuk merawatnya! Belum puas dengan semua itu? Mau beralasan apalagi?" Kalimat yang diucapkannya kini semakin menghujam dada. Terlalu menyakitkan. Air mataku kembali luruh ke pipi. Tak perlu lagi berdebat dengannya. Percuma. Dia
Read more
25 - Ancaman
Dua hari berada di klinik, aku diperbolehkan pulang. Memar masih cukup ketara di sana-sini. Tak apalah, yang penting aku sudah pulang. Aku cukup rindu dengan kamar sederhana ini.Kamar dengan dinding kayu mahoni dan dan lantai semen tanpa keramik. Rumah masa kecilku yang sarat kenangan ini tak mungkin bisa kulupakan.Aku hidup di sini hampir seperlima abad lamanya. Tak mungkin begitu mudah kulupakan meski sudah memiliki rumah yang mungkin jauh lebih nyaman.Mas Huda memapahku dari halaman menuju kamar, lalu merebahkannya di ranjang. Aroma ruangan ini masih sama. Jendela terbuka lebar, pohon mangga dengan buah yang hampir masak pun terlihat dari atas ranjang."Mas belum paham maksud ucapanmu kemarin loh, Sayang.""Soal apa, Mas?""Soal ucapanmu itu, yang bilang bukan terlahir dari rahim yang sama. Maksudnya apa? Kamu kan nggak jadi melanjutkan ceritanya gara-gara kemarin tiba-tiba Mila dan Andy datang. Sekarang Mas mau dengar, apa yang sebenarnya terjadi. Walau bagaimanapun Mas harus t
Read more
26 - Tangis Ibu
Semua heboh karena ibu kembali pingsan. Seperti biasa saat ada percekcokan, sakit ibu pasti kambuh lagi. "Kalau ibu sakit lagi, semua gara-gara kamu, Rum!" bentak Mbak Sinta dengan ketusnya. Dia berusaha merebut ibu dari pundakku. Minta tolong pada Mas Rudy dan Mas Angga agar membopong ibu ke kamar.Kini, hanya tersisa aku dan Mas Huda di sini. Sementara ketiga saudaraku yang lain sibuk mengerubuti ibu di kamar. Ada yang mengipasi, memijit, membawakan air putih dan ada pula yang hanya menangis saja. Siapa lagi yang nangis terus kalau bukan Mila.Dia menatapku dari sudut ranjang ibu. Aku yang kini hanya bisa tertunduk lesu. Tak bisa berpikir jernih untuk melerai masalah ini. Aku sendiri bingung, kenapa Mbak Sinta bisa sebenci itu padaku.Padahal jelas, selama ini aku cukup tahu diri. Tak ingin merepotkan siapa pun sejak dulu, berharap disayangi dan diperlakukan sama dengan yang lainnya.Namun ternyata usaha dan pengorbanan yang selama ini kulakukan hanya sia-sia belaka. Kebencian itu
Read more
27 - Kepergok
Sepuluh hari ibu dalam keadaan tak baik-baik saja. Sejak divonis hipertensi ibu memang selalu minum obat. Takut jika tiba-tiba kambuh seperti waktu itu, terpleset saja membuatnya lumpuh sebagian.Hari ini kulihat ibu sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Kubiarkan ibu menyapu halaman, sekalian olah raga supaya tak suntuk karena akhir-akhir ini hanya berdiam diri di kamar.Aku nggak mau ibu kenapa-kenapa, karena itulah tak aku izinkan ke sana-sini sendirian kecuali ada aku di rumah atau pakai kursi roda. Hanya saja sepertinya ibu malas pakai kursi itu, dia bilang masih bisa banyak gerak jadi nggak perlu kursi itu. Aku pun mengiyakan saja. "Mas, kita ajak jalan-jalan ibu yuk, biar nggak suntuk.""Kemana? Nanti ibu kecapekan. Takut tensi ibu naik lagi, Sayang.""Makan aja, Mas. Yang suasana ndeso gitu biasanya yang disukai ibu. Pecel ayam atau lele goreng gitu aja," balasku lagi.Kebetulan mobil box putih itu sudah ditukar dengan si putih alphird yang cantik kemarin. Bukan karena m
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status