Dadaku bergemuruh kesal, sedih dan bingung. Antara percaya dan tak percaya. Aku benar-benar tak menyangka jika dia sebegitu tega padaku. Padahal selama ini aku sudah banyak berkorban dan mengalah, tapi tetap saja selalu salah di matanya."Apalagi bulan ini suamiku udah nggak kerja, Mir. Dia kena PHK massal, bangkrut kali itu pabrik tempatnya kerja. Makin pusinglah aku. Sekarang aku coba cari pekerjaan lain, kerja di laundry-an gitu. Sehari cuma lima puluh ribu. Masih mendinglah bisa buat bayar bank keliling tiap kamis sama sabtu. Kalau misal Ningrum sekeluarga balik ke Jakarta kan lumayan, dapet transferan tiap bulan. Nggak mungkin ibu ikut ke sana soalnya. Nggak akan mau," ucap Mbak Sinta panjang lebar.Ya Allah Mbak Sinta. Kenapa dia bisa begitu membenciku? Bahkan sampai tega memfitnahku begitu. Astaghfirullah. Ada lagi ujian hidup yang harus kujalani. Dibenci keluarga sendiri, meski kini kutahu jika mereka bukanlah keluarga kandungku, tapi bagiku hanya mereka keluargaku. Sejak aku
"Kenapa, Rum? Kamu mencurigai Pak Hasan?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan tajam.Aku diam saja tak menjawab pertanyaannya. Dia masih saja menatapku sinis seolah aku ini pesakitan yang wajib dibenci dan dibully. Memandangku remeh dan sadis."Iya, dia memang kubayar untuk memfitnahmu. Dia dan tujuh warga lainnya. Bukankah kamu sudah mendengar semua obrolanku dengan Mira? Jadi, sekalian kubeberkan di sini biar kamu tahu dan tak selalu merecoki hidupku," ucapnya lagi. Kalimat cukup aneh yang seharusnya justru kuucapkan padanya. "Terbalik. Justru kamu yang merecoki hidupku, Mbak," balasku tak mau kalah. "Kalau kamu nggak mau direcoki, silakan angkat kaki dari kampung ini. Lagipula kamu sudah tahu kalau kamu hanyalah anak angkat ibu, kan? Kamu nggak ada kewajiban untuk merawatnya! Belum puas dengan semua itu? Mau beralasan apalagi?" Kalimat yang diucapkannya kini semakin menghujam dada. Terlalu menyakitkan. Air mataku kembali luruh ke pipi. Tak perlu lagi berdebat dengannya. Percuma. Dia
Dua hari berada di klinik, aku diperbolehkan pulang. Memar masih cukup ketara di sana-sini. Tak apalah, yang penting aku sudah pulang. Aku cukup rindu dengan kamar sederhana ini.Kamar dengan dinding kayu mahoni dan dan lantai semen tanpa keramik. Rumah masa kecilku yang sarat kenangan ini tak mungkin bisa kulupakan.Aku hidup di sini hampir seperlima abad lamanya. Tak mungkin begitu mudah kulupakan meski sudah memiliki rumah yang mungkin jauh lebih nyaman.Mas Huda memapahku dari halaman menuju kamar, lalu merebahkannya di ranjang. Aroma ruangan ini masih sama. Jendela terbuka lebar, pohon mangga dengan buah yang hampir masak pun terlihat dari atas ranjang."Mas belum paham maksud ucapanmu kemarin loh, Sayang.""Soal apa, Mas?""Soal ucapanmu itu, yang bilang bukan terlahir dari rahim yang sama. Maksudnya apa? Kamu kan nggak jadi melanjutkan ceritanya gara-gara kemarin tiba-tiba Mila dan Andy datang. Sekarang Mas mau dengar, apa yang sebenarnya terjadi. Walau bagaimanapun Mas harus t
Semua heboh karena ibu kembali pingsan. Seperti biasa saat ada percekcokan, sakit ibu pasti kambuh lagi. "Kalau ibu sakit lagi, semua gara-gara kamu, Rum!" bentak Mbak Sinta dengan ketusnya. Dia berusaha merebut ibu dari pundakku. Minta tolong pada Mas Rudy dan Mas Angga agar membopong ibu ke kamar.Kini, hanya tersisa aku dan Mas Huda di sini. Sementara ketiga saudaraku yang lain sibuk mengerubuti ibu di kamar. Ada yang mengipasi, memijit, membawakan air putih dan ada pula yang hanya menangis saja. Siapa lagi yang nangis terus kalau bukan Mila.Dia menatapku dari sudut ranjang ibu. Aku yang kini hanya bisa tertunduk lesu. Tak bisa berpikir jernih untuk melerai masalah ini. Aku sendiri bingung, kenapa Mbak Sinta bisa sebenci itu padaku.Padahal jelas, selama ini aku cukup tahu diri. Tak ingin merepotkan siapa pun sejak dulu, berharap disayangi dan diperlakukan sama dengan yang lainnya.Namun ternyata usaha dan pengorbanan yang selama ini kulakukan hanya sia-sia belaka. Kebencian itu
Sepuluh hari ibu dalam keadaan tak baik-baik saja. Sejak divonis hipertensi ibu memang selalu minum obat. Takut jika tiba-tiba kambuh seperti waktu itu, terpleset saja membuatnya lumpuh sebagian.Hari ini kulihat ibu sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Kubiarkan ibu menyapu halaman, sekalian olah raga supaya tak suntuk karena akhir-akhir ini hanya berdiam diri di kamar.Aku nggak mau ibu kenapa-kenapa, karena itulah tak aku izinkan ke sana-sini sendirian kecuali ada aku di rumah atau pakai kursi roda. Hanya saja sepertinya ibu malas pakai kursi itu, dia bilang masih bisa banyak gerak jadi nggak perlu kursi itu. Aku pun mengiyakan saja. "Mas, kita ajak jalan-jalan ibu yuk, biar nggak suntuk.""Kemana? Nanti ibu kecapekan. Takut tensi ibu naik lagi, Sayang.""Makan aja, Mas. Yang suasana ndeso gitu biasanya yang disukai ibu. Pecel ayam atau lele goreng gitu aja," balasku lagi.Kebetulan mobil box putih itu sudah ditukar dengan si putih alphird yang cantik kemarin. Bukan karena m
Kisah Mas Rudy, kututup rapat. Aku dan Mas Huda tak ingin ikut campur, karena memang bukan ranah kami. Biarlah itu menjadi urusan Mbak Sinta dan suaminya sendiri.Tak ingin ibu melihat kejadian itu, aku dan Mas Huda mengajak ibu dan anak-anak makan di tempat lain. Sebuah restoran sederhana yang tak jauh dari Anggrek Mall."Kenapa nggak jadi makan di sana, Da?" tanya ibu tiba-tiba saat menyelesaikan makannya. Ibu hanya minta ayam goreng dan pecel saja dengan air mineral. Sementara yang lain ayam bakar dan aneka sambal."Penuh, Bu. Mungkin karena restoran baru dan ada spot foto yang cantik jadi laris. Biasalah anak muda 'kan demen foto-foto begitu," jawab Mas Huda dengan santainya. Dia melirikku sekilas lalu mengajak pulang. Mas Huda beranjak ke kasir, sedangkan aku dan yang lain langsung menuju mobil.Hampir jam lima sore kami sampai di rumah. Beberapa tetangga sudah nongkrong di rumah Budhe Narni. Seperti biasa, saling bisik dan lirik."Budhe Wahyuni habis jalan-jalan darimana nih?" t
Aku meminta ibu untuk tetap tenang dan istirahat di kamar. Sementara aku gegas ke teras. Seorang ibu dengan penampilan modis sudah berdiri di depan pintu sembari melipat tangan ke dada.Ibu setengah baya itu memakai gelang beberapa biji di tangan kanan dan kirinya, kalungnya menjuntai ke depan dada padahal rambutnya tertutup kerudung. Alis cetar membahana dengan bibir merah merona."Maaf, Bu. Kok bisa tahu nama saya?" tanyaku gugup."Tahulah. Saya tahu kamu dan suamimu karena saya juga punya kartu nama suamimu. Huda, kan?"Aku sedikit terkejut saat ibu modis itu tahu namaku dan Mas Huda, bahkan punya kartu nama Mas Huda segala. Kok bisa? Darimana dia mendapatkan kartu nama itu, sementara Mas Huda aja nggak pernah ngasih identitasnya pada siapa pun di sini."Nggak usah bengong. Saya ada perlu sama kamu atau suamimu," ucap ibu itu lagi dengan ketusnya. Aku makin bingung dan kaget. Kenal nggak, kok ada perlu?"Yasudah, silakan masuk, Bu. Tapi tolong, jangan bentak-bentak saya. Kita kenal
"Kemarin terakhir kalinya aku dan Mas Huda membantumu, Mila, Andy. Untuk ke depannya, aku dan Ningrum nggak mau berurusan dengan masalah utangmu lagi," ucap Mas Huda tenang dan tegas."Aku minta maaf, Mas, Mbak. Untuk utang kali ini aku bayar kalau mobilku laku ya, Mas. Aku dan Mas Andy sudah putuskan untuk menjual mobil itu. Uangnya kami gunakan buat bayar hutang dan kredit motor. Aku pusing kalau selalu dicari-cari debt collector. Berasa hidupku nggak tenang karena selalu dikejar-kejar hutang," ucap Mila dengan mimik serius."Begitu kan enak, Mil. Hidup ini harus kita sesuaikan dengan kantong, biar apa? Biar nggak pusing dan menikmati takdirNya dengan indah," ucap Mas Huda kemudian."Iya, Mas. Dulu aku selalu menuruti gengsi dan harus kekinian, tenyata semua itu nggak akan ada habisnya. Kalau kita ikut begitu terus-terusan, yang ada kita hanya akan jatuh bangun mengikuti trend, mengesampingkan ketenangan dan kenyamanan keluarga. Sekarang, biarlah hidup sederhana. Tak ada mobil, moto