Semuanya bermula saat suatu malam Alex tiba-tiba datang ke rumahku dengan raut muka yang terlihat syok dan panik.
Karena khawatir, aku berusaha menenangkannya seraya berkata,"Tidak biasanya kamu datang jam segini, lex? Ada apa?"Alex tak menjawab.Dia hanya mengangkat wajahnya lalu memandangiku dengan mata yang berkaca-kaca dan raut wajah yang di penuhi kesedihan mendalam.Seketika itu juga aku mengerti...Hanya satu orang saja yang bisa membuatnya bertingkah seperti ini."Ada apa dengan Erna, Lex?" tanyaku sambil mendekatinya perlahan."Dia... mutusin aku, An." Mata Alex tampak berkaca-kaca dan tangannya yang bergerak terus, menampakkan betapa gelisahnya dia.Kontan saja setelah mendengar itu, aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa??? Sepulang sekolah, Erna dan Alex masih terlihat sangaaat... mesra. Mana mungkin dalam waktu beberapa jam saja tiba-tiba putus?Daripada menghabiskan waktu menduga-duga, aku memutuskan menelepon Erna. Tapi sampai beberapa kali pun aku telepon, yang terdengar hanyalah nada sibuk.Keesokan harinya, aku yang penasaran, segera mendatangi kelas Erna, tapi ternyata dia tidak masuk sekolah. Hal tersebut berlanjut sampai tiga hari setelahnya. Aku yang tidak sabaran menunggu lagi, akhirnya memutuskan menyeret Alex, yang saat itu kelihatan stress berat, kerumah Erna. Aku kuatir jangan-jangan dia sakit atau ada hal yang buruk terjadi padanya.Namun betapa kagetnya kami sesampainya di sana.Rumah Erna yang biasanya megah dan indah, saat itu terlihat kotor dan tak berpenghuni. Dan yang paling mengagetkan adalah tulisan besar yang terpampang di depan rumah Erna.RUMAH INI DI SITA DAN SUDAH MENJADI MILIK BANKAneh! Nggak mungkin! Ini pasti halusinasiku saja.Semenit...Sepuluh menit...Hingga lima belas menit berlalu...Tetap saja tak ada yang berubah. Tulisan besar itu masih saja ada di sana.Kepanikan dan kebingungan yang lima belas menit lalu kurasakan, perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan. Aku marah karena merasa dibohongi. Tidakkah sebagai sahabat, kita seharusnya saling berbagi satu sama lain. Bagaimana dia bisa menyembunyikan masalah separah itu dariku.Bodohnya aku lupa.Aku lupa kalau bukan hanya aku saja yang kecewa. Bukan hanya aku saja yang marah dan sakit hati. Masih ada yang jauh lebih merasa kecewa dan sakit hati.Aku berbalik perlahan.Kulihat Alex berdiri mematung dengan raut muka tegang dan terus memandangi tulisan di depan rumah Erna.Perlahan aku menghampirinya. Tapi semakin aku melangkah mendekat, dia malah mundur menjauh. Dan saat aku mempercepat langkahku, dia tiba-tiba berbalik dan berlari menjauh menuju motor yang di parkirkannya di seberang jalan.Aku ingin berlari mengikutinya.Tapi kemudian aku menghentikan langkahku karna aku pikir Alex pasti perlu waktu menenangkan diri dan keberadaanku pasti malah membuat dia tidak nyaman.Besoknya... Alex juga ikut-ikutan membolos. Tapi mengingat kejadian sehari sebelumnya, aku pikir sahabatku itu mungkin masih perlu waktu lebih untuk menyendiri.Yang menjadi kekuatiranku adalah Erna. Aku coba lagi mendatangi kelasnya. Siapa tau dia sudah masuk.Salah!Benar-benar salah dugaanku!Aku pikir setelah rumahnya disita bank, Erna cuma akan pindah rumah dan tetap kembali lagi bersekolah seperti biasa. Sehingga ketika diberi tau oleh wali kelasnya kalau Erna sudah berhenti dari sekolah dua hari sebelumnya, kontan saja aku tidak habis pikir. Sahabat yang aku kira kukenal dekat luar dan dalam, tapi ternyata... menyimpan banyak kejutan yang tak pernah aku duga sebelumnya.Kemarahanku lenyap...Yang merayap di hati dan pikiranku saat itu adalah rasa kehilangan yang mendalam.Sahabat yang selama ini selalu menceritakan semua rahasianya padaku, tiba-tiba pergi tanpa memberi penjelasan sedikit pun. Bagaikan orang yang ditelan 'lubang hitam', keberadaan Erna tiba-tiba lenyap dari sisiku.Tidak ada lagi orang yang akan mendengarkan ceritaku, menertawakan leluconku, dan menasehatiku jika aku mulai membuat masalah.Benar-benar kejam.Tidakkah aku berhak mendapatkan penjelasan?! Apakah keberadaanku tidak penting baginya?Tak terasa aku mulai menangis tersedu-sedu di bangku kelasku. Aku menangis terus sampai mataku terasa perih dan panas seperti terbakar. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu dengan menangis saja. Aku ingin pergi mencari Erna, tapi aku bingung harus mencari ke mana.Saat itulah aku baru terpikir Alex. Dia pasti belum tau tentang keluarnya Erna dari sekolah. Aku harus memberitahunya sepulang sekolah. Dengan begitu, aku bisa bersama-sama dia mulai mencari informasi tentang keberadaan Erna.Sesampainya di rumah Alex, aku langsung berlari ke kamar Alex di lantai atas. Aku hampir setiap hari main ke rumah Alex, jadi sudah dianggap seperti anggota keluarga yang tak perlu permisi-permisi lagi jika masuk ke dalam.Sayangnya aku tidak menemukan dia di kamarnya. Aku lantas mencarinya di ruang belajar, ruang musik, dan ruang makan tapi aku tetap tidak menemukannya. Akhirnya aku memutuskan ke dapur untuk bertanya pada pembantu Alex sambil mengambil segelas air untuk menghilangkan rasa hausku akibat mondar-mandir mencari sahabatku itu."Halooo... mbak Sari. Apa kabarrr??? Tambah cantik saja," sapaku seperti biasa."Lho, Non kok ada di sini?""Biasaaa... mbak. Nyariin Alex. Dia dimana sih mbak? Dari tadi dicariin kok nggak nongol-nongol? Pergi ya dia?" cerocosku sambil meneguk air yang baru aku ambil dari lemari pendingin."Ya ampun... berarti Non nggak tau to," serunya sambil seketika wajahnya di liputi kesedihan."Tau apa mbak?" Perasaanku mulai nggak enak."Mas Alex kecelakaan kemaren, Non. Motornya nabrak pembatas jalan. Sekarang masih dirawat di rumah sakit. Lukanya parah lho!"Aku masih tak bisa mempercayai pendengaranku. Semuanya terjadi terlalu beruntun dan terlalu mengejutkan sehingga terkesan seperti sinetron."Sekalian aja Non kesana, soalnya Pak Tino mau kesana juga nganterin baju-baju Nyonya."Perasaanku benar-benar campuk aduk. Belum lagi hilang keterkejutanku karena perginya Erna, sekarang aku harus dikejutkan lagi dengan berita kecelakaan Alex.Sahabat macam apa aku ini. Jelas sekali dari hari pertama Alex datang padaku dengan raut wajah yang kalut dan frustasi. Seharusnya, aku tak meninggalkannya sendirian dan hanya larut pada kesedihanku sendiri.Parahnya lagi, setelah dari rumah Erna kemarin, aku terlalu menyepelekan luka di hati Alex. Aku bahkan tak meneleponnya dan tak menanyakan kabarnya. Aku pikir Alex bisa mengatasi ini sendirian tanpa bantuanku. Nyatanya, bocah itu malah menabrakkan dirinya sendiri dan menambah daftar kekhawatiranku sekarang.Saat kami sampai di rumah sakit, ketakutan mulai merayap di benakku. Suasana di rumah sakit yang muram dan bau-bau obat-obatan di sana, membuatku berpikiran yang tidak-tidak. Berlebihan memang... tapi aku benar-benar ketakutan.Bagaimana jika Alex jadi cacat? Bagaimana pula jika dia meninggal? Bagaimana jika...Bagaimana jika cacatnya sedemikian parahnya dan membuatnya tak bisa bergerak dan tak bisa menyapanya lagi. Selamanya!***Ohhh... jika saja waktu bisa kuputar kembali. Aku pasti tak akan membiarkan dia pergi kemarin. Aku pasti-"Ini Non kamarnya," seru Pak Tino membuyarkan lamunanku.Walaupun rasa takut mulai menguasai diriku dan membuatku ingin kabur saja, tapi aku menguatkan diriku dan membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan. Sesampainya di dalam, aku langsung di peluk mama Alex yang tampaknya sedari tadi terus-terusan menangis."Syukurlah kamu datang, An. Dari tadi Alex nyariin kamu terus."Perkataan mama Alex hanya sayup-sayup terdengar olehku. Perhatiaanku terfokus pada cowok yang sedang terbaring dengan perban di kepala dan tangan kirinya saat itu. Dia tampak sangat lemah dan kesakitan. "Gi...mmana keadaan Alex, tante?"tanyaku sambil masih tak berkedip memandangi Alex.Mama Alex terlihat makin sedih dan bolak balik menyeka air matanya dengan sapu tangan."Kata dokter sih kepalanya nggak terlalu parah lukanya. Dalam wak
Setelah hari itu, sikap Alex menjadi susah di dekati dan lebih tertutup dari sebelumnya. Seringkali bahkan dia tidak mau merespon saat di ajak bicara. Hal ini berlanjut sampai berhari-hari. Siapapun tidak bisa mendekatinya. Bahkan orang tuanyapun, tak bisa membujuknya. Aku berusaha membawakan jajanan kesayangannya dan DVD film-film terbaru yang biasanya dia suka, tapi itu pun tak mengubah pendirian si keras kepala itu. Dia lebih memilih bertapa di kamarnya dan sudah tak mau lagi menyentuh peradaban.Aku menggigiti sandwich yang seharusnya kuberikan pada Alex sambil berpikir bagaimana mengubah kekeras kepalaan sahabatku itu, yang mulai membuatku ikut-ikutan emosi. Tapi nihil. Selalu saja hasilnya nihil. Bocah menyebalkan itu tetap saja bersembunyi di dalam kesunyian kamarnya dan tak mau bertemu dengan siapapun.Puncaknya adalah saat suatu hari aku datang menjenguk Alex sepulang sekolah seperti biasanya. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di lantai atas. Kontan saja, aku
Sejak hari itu, tingkahku jadi aneh saat bertemu Alex. Apalagi saat dia tersenyum atau memberiku pujian, pasti mukaku langsung semerah tomat dan hatiku tak mau berhenti deg-degan. Kalau sudah seperti itu, aku pasti jadi salah tingkah dan cepat-cepat menghindar dari tatapan Alex. Cowok itu kerap kali bertanya kenapa dengan diriku. Tentunya aku tak bisa menjawabnya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa jadi seaneh itu. Akhirnya cara satu-satunya ya berbohong sambil menyembunyikan perasaanku.Keanehan yang lain pun terus bermunculan setelahnya. Aku jadi selalu merasa Alex ada di mana-mana. Di kamarku, di kelas, di ruang makan, di manapun aku berada. Bahkan saat aku menutup mataku pun, wajahnya selalu terbayang. Alhasil, setiap kali aku ingin melakukan sesuatu, pikiranku jadi tidak fokus gara-gara di otakku isinya Alex, Alex, dan Alex melulu. Tapi intinya, hari-hariku saat itu benar-benar menyenangkan. Hatiku selalu berbunga-bunga setiap hari. Apalagi k
Seminggu setelahnya, aku menolak untuk datang ke rumah Alex. Hatiku masih terasa sakit dan aku tak yakin akan bisa menahan tangisku jika bertemu dia. Tapi dasar Alex nggak tau situasi, dia tak henti-hentinya menelpon. Sehari bisa sampai lima atau enam kali. Aku tidak mau bicara dengannya, jadi selalu mama atau papaku yang mengangkat telepon. Aku tau keluargaku pasti bingung dengan tingkahku tapi mereka biasanya tidak akan ikut campur sebelum aku sendiri yang cerita dan meminta pendapat mereka. Dengan demikian aku sedikit lega karena tidak harus menjelaskan semuanya kepada mereka.Aku pun mulai menyibukkan diri dengan cari-cari info kampus jurusan sastra asing yang cocok buatku. Aku berharap dengan begitu pikiranku sedikit teralihkan dari Alex. Untunglah, setelah mondar-mandir, akhirnya aku menemukan kampus yang bagus. Kontan saja, aku langsung memutuskan untuk cepat-cepat mendaftar ke kampus tersebut. Tapi saat aku baru sampai di depan pintu, aku di kagetkan dengan kehadira
Alex's point of viewAnna Karenina, dialah cewek yang melempariku dengan buku dan membuatku mimisan gara-gara mengira aku cowok mesum yang biasa masuk-masuk toilet cewek untuk ngintipin mereka. Sebenarnya sebelum kejadian di toilet cowok itu, aku sudah beberapa kali melihat dia mondar-mandir sambil membawa buku-buku tebal kemana-mana, dan seingatku aku sudah bolak-balik kena tabrak dia tapi dia kayaknya nggak ingat sama sekali kejadian-kejadian itu.GEMES... adalah perasaan pertama yang muncul saat melihat dia berusaha menampilkan muka memelasnya kepadaku dan memintaku untuk memaafkannya. Tak perlu pikir panjang aku langsung memaafkannya.Setelah hari itu kami mulai berteman baik. Well...sebenarnya aku sih yang selalu rajin mengunjungi kelasnya hanya untuk sekedar ngobrol atau ngerjain PR bareng. Pertamanya sih Anna terkesan cuek. Jika ditanya jawabannya selalu singkat dan perhatiaannya nggak pernah lepas dari buku. Apalagi ekspresinya selalu menyirat
ANNA'S POINT OF VIEWBerjam-jam lamanya, aku mengunci diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Saking lamanya aku menangis, sampai akhirnya aku kecapean dan jatuh tertidur. Keesokan harinya, aku di bangunkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. "An... jam berapa ini! Mau sampai jam berapa kamu tidur?!" panggil mamaku sambil mengetuk pintuku dengan keras.Terkejut dengan kegaduhan yang di buat mamaku, aku berteriak balik sambil menaruh bantal menutupi kepalaku,"Sebentar lagi ma. Lagian ini kan hari minggu!" "Iya mama tau. Tapi ada temenmu tuh yang datang. Makanya cepetan bangun!" Gedoran di pintuku terdengar semakin keras. Begitulah mamaku. Setiap pagiku selalu diwarnai gedoran di pintu beserta omelan mamaku sekaligus. Sudah satu paket itu."Ha? Temen? Siapa?" Aku langsung melempar bantal yng ada di atas kepalaku, ke samping dan memegang kedua mataku yang bengkak dan terasa perih. Aku pasti tampak menyedihkan di mata orang lain sekarang ini."Alex sama pacarnya tuh... Ayo cepat ban
Sesampainya disana, aku langsung di sambut hangat semua anggota keluarga Alex. Mereka bergiliran menyapaku dan menanyakan kabarku yang sudah jarang datang ke rumah Alex. Dengan kikuk, aku beralasan tidak pernah datang karena sibuk dengan pekerjaan di sekolah. Padahal, aku sebenarnya jarang datang karena tak mau melihat Alex dan Erna memamerkan cinta mereka di depanku.Makan malam berlangsung cukup menyenangkan. Keluarga Alex bersikap luar biasa baik padaku. Aku sempat merasa aneh karena walaupun mereka biasanya memang baik padaku tapi ini terkesan sedikit berlebihan. Sepertinya ada sesuatu, tapi aku nggak tau itu apa.Lamunanku pun buyar ketika tiba-tiba aku melihat Alex berdiri seperti ingin menyampaikan sesuatu pada semua yang ada di ruangan. Apa lagi ini, pikirku."Aku mengadakan pesta ini dan mengundang kalian semua, sebenarnya karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Beberapa bulan ini, aku sedang dekat dengan seorang cewek. Mungkin beberapa dari kalian tahu siapa dia. Namany
Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah dikerjai. Hanya saja, aku tak percaya kalau Alex dan sekeluarganya beserta saudara-saudaranya bisa bersepakat menjahiliku seperti ini. Orang berpikiran sehat manapun, pasti tahu 'gadis Doraemon' yang sedang mereka bicarakan itu adalah hasil dari karangan mereka saja. Terlebih lagi waktu mereka menambahkan satu bualan lagi, yang menyatakan kalau akulah gadis Doraemon yang mereka maksud, detik itulah aku seketika merasa pasti ada udang di balik batu. Aku yakin sekali mereka sedang bersepakat untuk menjahiliku dan menghibur diri mereka dengan membuatku panik dan tegang saat mendengar kebohongan dari mulut mereka."Ayolah lex... ini nggak lucu. Masak di saat begini, kalian masih sempat-sempatnya ngerjain aku. Balik lagi dong ke pembahasan awal. Jadi siapa perempuan yang tante dan om rencanakan untuk dinikahkan sama Alex?" tanyaku penasaran. Aku berharap mereka berhenti mengatakan yang tidak-tidak dan langsung aja pada pokok pembicaraan. Memang s