Share

4. KEHILANGAN

Ohhh... jika saja waktu bisa kuputar kembali. Aku pasti tak akan membiarkan dia pergi kemarin. Aku pasti-

"Ini Non kamarnya," seru Pak Tino membuyarkan lamunanku.

Walaupun rasa takut mulai menguasai diriku dan membuatku ingin kabur saja, tapi aku menguatkan diriku dan membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan.

Sesampainya di dalam, aku langsung di peluk mama Alex yang tampaknya sedari tadi terus-terusan menangis.

"Syukurlah kamu datang, An. Dari tadi Alex nyariin kamu terus."

Perkataan mama Alex hanya sayup-sayup terdengar olehku. Perhatiaanku terfokus pada cowok yang sedang terbaring dengan perban di kepala dan tangan kirinya saat itu. Dia tampak sangat lemah dan kesakitan.

"Gi...mmana keadaan Alex, tante?"tanyaku sambil masih tak berkedip memandangi Alex.

Mama Alex terlihat makin sedih dan bolak balik menyeka air matanya dengan sapu tangan.

"Kata dokter sih kepalanya nggak terlalu parah lukanya. Dalam waktu kurang lebih dua minggu, pasti sembuh. Tapi tangannya..."

"Tangannya kenapa tante?" tanyaku cepat-cepat.

"Tangan kirinya cedera cukup parah sehingga kemungkinan besar selamanya nggak akan bisa berfungsi senormal dulu."

"Ha? Maksudnya nggak normal? Lumpuh maksud tante?" Mendengar pertanyaanku, tangis mama Alex semakin menjadi. Melihatnya seperti itu, ketakutanku semakin bertambah.

"Heiii... aku belum mati. Nggak usah pakai nangis segala lah kalian!"

Tangis mama Alex terhenti seketika saat mendengar suara Alex. Dengan langkah seribu aku langsung menghampiri ranjang temanku itu.

"Ngapain kamu datang? Aku cuma kecelakaan biasa doang, dan untuk menjawab pertanyaanmu yang tadi, tanganku nggak lumpuh. Masih bisa berfungsi kok. Memang sih nggak bisa seperti dulu lagi, tapi ya... nggak parah-parah banget kok," serunya enteng.

"Nggak bisa seperti dulu lagi? Maksudnya?"

"Ah masalah sepele kok. Kata dokter tanganku yang sebelah kiri nggak bisa di gerakkan seleluasa dulu lagi. Jika cuaca dingin kemungkinan besar akan terasa sedikit nyeri. Truss... nggak bisa di gunakan ngangkat yang berat-berat. Ehm... apa lagi yah? Oh ya... gitar. Dokter bilang kemungkinan besar aku nggak bisa bermain gitar lagi selamanya. Cuma itu doang."

"Cuma itu doang?! Ini bukan masalah sepele, lex! Kok kamu bisa setenang ini sih?!" hardikku keras.

"Trus gimana? Menangis? Ato berteriak? Aku kan bukan kamu Anna! Sudahlah, lebih baik kamu pulang saja. Nggak ada gunanya kamu di sini!" jawab Alex dingin sambil menghindari tatapanku.

Aku sadar aku nggak seharusnya berteriak pada pasien, tapi saat itu aku benar-benar emosi. Emosi mendengar fakta bahwa tangan Alex nggak bisa berfungsi normal lagi. Emosi melihat Alex yang bersikap menyepelekan masalah yang dihadapinya. Tapi yang membuatku emosi adalah fakta bahwa aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

"Sorry... aku memang nggak seharusnya memarahimu. Aku-"

Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Air mata yang sedari tadi kutahan, tidak bisa kubendung lagi. Kubalikkan badanku menghadap jendela. Aku tidak mau Alex melihat air mataku dan jadi tambah marah.

"Sudahlah, lex. Anna begini kan karna dia peduli sama kamu. Sudahlah jangan marah-marah lagi, bukannya tadi kamu nyari-nyari Anna, sekarang uda datang kok malah di usir-usir?" bujuk mama Alex.

"Hah? Siapa yang nyariin dia? Uda deh, kepalaku sakit nih! Lebih baik kalian keluar dulu saja. Aku perlu istirahat!" semprot Alex sambil memegangi kepalanya.

"Oke...oke... nggak usah teriak-teriak. Ayo Anna kita keluar dulu," seru mama Alex menenangkan sambil memegang lenganku dan membawaku keluar.

Aku benar-benar syok melihat tingkahnya seperti itu. Tidak pernah sejarahnya Alex Tjandra mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu, apapun masalahnya. Namun, aku sadar masalah yang dihadapinya adalah masalah berat. Mungkin walaupun bersikap tenang-tenang saja, sebenarnya dia juga merasa terpukul menerima kenyataan pahit tersebut. Karena itulah, aku pun mencoba sabar untuk menghadapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba tersebut.

Memang sih aku akui ada kalanya emosiku memuncak dan ingin sekali menjitak kepalanya. Namun sekali lagi aku berusaha menahan emosiku dan tetap setia mengunjunginya di rumah sakit sampai dia sembuh dan boleh pulang.

Walaupun begitu, sikap Alex bukannya malah membaik tapi justru tambah parah hari demi hari. Ada kalanya, dia marah-marah terus seharian penuh, ada kalanya juga seharian mengunci diri di kamar dan menolak bertemu dan berbicara dengan siapapun. Tapi... ada kalanya juga dia kelihatan sedikit baikan dan bisa diajak ngobrol. Saat itulah biasanya aku ajak dia bicara tentang perasaannya dan apa yang terjadi setelah dia meninggalkan rumah Erna hari itu.

"Lex, aku boleh tanya sesuatu yang pribadi nggak?" tanyaku suatu hari.

"Tanya aja! Bukannya dari tadi kamu sudah tanya banyak hal," jawabnya cuek

"Soal Erna. Kenapa kamu tidak pernah tanya tentang dia? Maksudku... Erna kan selama ini tidak pernah menjengukmu, tapi kenapa sedikit pun kau tidak bertanya alasannya padaku? Kau bahkan tidak terlihat penasaran." Alex memalingkan mukanya dan tetap diam.

"Dia... bukan hanya pindah rumah, Lex. Sehari setelah kecelakaanmu, aku... baru tau kalo dia juga sudah keluar dari sekolah. Sebenarnya aku sudah mau memberi tau kamu tapi setelah tau kamu kecelakaan, aku-"

"Aku sudah tau kok masalah itu. Aku sudah tau dia pergi sebelum kita mendatangi rumahnya waktu itu,"jawabnya pelan sambil masih menolak memandang ke arahku.

"Kamu tau? Kapan? Kamu kok nggak beritau aku?"

"Hari itu sekitar jam lima sore, Erna tiba-tiba menelpon aku ngajak ketemuan di café dekat rumahnya. Lucunya, saking senangnya aku sengaja mampir dulu membeli coklat kesukaannya. Benar-benar nggak kusangka, saat aku memberikan coklat itu, Erna menolaknya dan langsung bilang kalo dia datang untuk menyampaikan keputusannya yang ingin mengakhiri hubungan kami. Waktu dengar dia bilang tentang putus, aku pikir dia lagi ngerjain aku. Tapi ekspresi Erna saat itu sedikitpun tidak menyiratkan kalo dia bercanda. Dia malah melanjutkan menjelaskan kalau dia akan segera pergi jauh dalam waktu yang lama sehingga menurut dia akan lebih baik kalau kami putus. Dan setelah mengatakan itu semua, dia langsung pergi begitu saja, tanpa memberiku waktu untuk mencerna perkataannya dulu. Waktu aku sadar, aku berlari mengejarnya tapi dia sudah menghilang."

Tiba-tiba Alex menghentikan ceritanya sambil terus saja menatap ke luar jendela. Aku menunggu sampai beberapa menit tapi dia tetap diam. Akhirnya karna tidak sabaran aku bertanya lagi.

"Terus kenapa waktu kamu sampai ke rumahku, kamu nggak menceritakan semuanya?"

"Itu karna aku tidak menyangka dia akan pergi secepat itu. Aku pikir aku masih punya waktu meyakinkan dia untuk mengubah keputusannya. Aku hanya ... tidak percaya kalo hubungan kami bisa semudah itu berakhir. Tapi saat mengetahui dia sudah beberapa hari nggak masuk sekolah, perasaanku mulai nggak enak. Dan puncaknya saat kita mengunjungi rumahnya yang sudah kosong waktu itu. Saat itulah ketakutan tiba-tiba menyerbu hati dan pikiranku. Aku benar-benar panik. Yang memenuhi pikiranku saat itu adalah aku harus segera pergi dari tempat itu dan mencari Erna."

"Jadi itu alasannya mengapa kamu terlihat aneh dan tiba-tiba pergi saat itu." Alex mengangguk mengiyakan.

"Aku mulai mencari seperti orang gila. Mulai dari studio tempat kami sering latihan musik bareng, sampai ke beberapa tempat di mana kami pernah nge-date sebelumnya. Sayangnya... aku tetap tidak menemukan dia. Aku benar-benar merasa putus asa. Aku nggak tau harus mencari dia kemana lagi. Tak satupun saudara Erna yang aku kenal dan aku tau rumahnya. Karna frustasi aku mulai menekan gas motorku kuat-kuat dan menyetir bak orang kesurupan. Saat aku sadar motorku mulai tak terkendalikan, semuanya sudah terlambat. Yang aku ingat saat itu cuma benturan yang luar biasa keras dan saat aku sadar aku sudah terbaring di rumah sakit dengan kepala dan tangan sebelah kiriku di balut perban,"lanjut Alex datar.

Namun ekspresi Alex yang semula terlihat tenang tiba-tiba berubah menjadi ekpresi kesal. Dia menoleh ke arahku dan tiba-tiba marah.

"Sudah puas? Kamu sudah puas dengar ceritanya kan? Kalo sudah puas, lebih baik kamu pulang. Aku muak di tanyai melulu!"

Aku terkejut bukan main melihat perubahan emosinya yang tiba-tiba tersebut. Sebenarnya saat mendengar cerita Alex, aku benar-benar ingin menangis. Tapi aku tahan karna aku takut malah membuatnya jadi tambah sedih. Jadi, saat dia mengusirku aku benar-benar ingin menolaknya. Aku ingin tetap berada di sampingnya dan menangis bersamanya. Aku ingin dia berhenti menahan perasaannya dan membagi kesedihannya denganku. Namun saat aku menatapnya lagi, dia kembali terlihat dingin dan tak terjangkau.

Seperti ada bongkahan batu yang besar bersarang di dadaku saat melihatnya seperti itu. Namun aku tau jika aku memaksa tinggal, dia akan membenciku dan makin menutup rapat-rapat perasaannya. Maka, aku pun pergi dari kamarnya dengan berat hati.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status