Setelah hari itu, sikap Alex menjadi susah di dekati dan lebih tertutup dari sebelumnya. Seringkali bahkan dia tidak mau merespon saat di ajak bicara. Hal ini berlanjut sampai berhari-hari. Siapapun tidak bisa mendekatinya. Bahkan orang tuanyapun, tak bisa membujuknya. Aku berusaha membawakan jajanan kesayangannya dan DVD film-film terbaru yang biasanya dia suka, tapi itu pun tak mengubah pendirian si keras kepala itu. Dia lebih memilih bertapa di kamarnya dan sudah tak mau lagi menyentuh peradaban.
Aku menggigiti sandwich yang seharusnya kuberikan pada Alex sambil berpikir bagaimana mengubah kekeras kepalaan sahabatku itu, yang mulai membuatku ikut-ikutan emosi. Tapi nihil. Selalu saja hasilnya nihil. Bocah menyebalkan itu tetap saja bersembunyi di dalam kesunyian kamarnya dan tak mau bertemu dengan siapapun.Puncaknya adalah saat suatu hari aku datang menjenguk Alex sepulang sekolah seperti biasanya. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di lantai atas. Kontan saja, aku langsung berlari ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Di sana, aku melihat Alex sibuk melempari barang-barang dari kamarnya ke dalam gudang. Aku penasaran ingin tau apa yang sedang dilakukannya. Betapa terkejutnya aku saat melihat beberapa gitar mahal koleksinya dan barang-barang kenangan Erna rusak berantakan di dalam gudang."Alex... Hei! Hentikan! Kamu sudah gila ya?!" teriakku seraya berusaha merebut barang yang ingin di lemparkannya. Celakanya barang itu berat dan hampir saja jatuh mengenai kakiku."Minggir!" hardiknya sambil mendorongku menjauh. Dia bahkan tak peduli kalau aku hampir terjatuh karenanya.Bukan Anna namanya kalau menyerah begitu saja. Dengan sigap aku berdiri di belakangnya dan berusaha menarik tangannya, supaya dia berhenti membuat kegaduhan di rumah itu. Tetapi dengan gampangnya dia melepaskan diri dariku dan melanjutkan kegiatannya melempar-lemparkan barang. Tanganku kemudian meraih bagian belakang kaosnya dan menariknya kuat hingga akhirnya kami berdua terjengkang ke lantai."Kamu apa-apaan, An? Jangan ikut campur. Keluar sana!' teriaknya sambil berusaha bangkit dari lantai tempat dia terkapar bersamaku."Kamu yang apa-apaan??? Aku selama ini sudah berusaha sabar dan menahan emosiku. Tapi ini benar-benar sudah keterlaluan,"teriakku balik sambil tetap menarik kuat kausnya sehingga Alex kembali terkapar di lantai."Anna sekali lagi aku bilang....KELUARRR!!!" Mau berteriak macam apapun. aku takkan mundur dan membiarkan dia bertingkah seenaknya."NGGaakkk!!! Nggak mau! Aku akan tetap di sini dan mengubah sifat burukmu yang sudah membuat banyak orang tersiksa!"Harusnya Alex ini sadar, pikirku. Masih bagus orang tuanya mau ngeladeni emosinya yang naik turun setiap waktu, nggak karu-karuan. Kalau di rumahku, dia sudah dibuat pecel lele sama mamaku. Boro-boro bertingkah depresi, nangis aja langsung disuruh kerja bersihin rumah. Alasanya biar sedihnya nggak jadi muncul, karena sudah digantikan capek."BUKAN URUSANMU! PERGI!!!" teriaknya kembali sambil tiba-tiba menarik kausnya lepas dari tanganku. Tapi karena gerakannya terlalu tiba-tiba dan hentakannya keras sekali, tanganku jadi terasa luar biasa sakit."Auwww....tanganku, patah jangan-jangan ini!" erangku kesakitan. Sebenarnya aku bereaksi berlebihan sih. Tanganku cuma sakit sedikit saja. Tapi biar si bocah yang lagi stres ini jadi kasihan aja melihatku.Mendengarku merintih kesakitan, dia langsung berbalik dan memegang tanganku."Sorry! Sorry! Aku nggak sengaja. Yang mana yang sakit, An? Kamu sih dari tadi nggak mau minggir," serunya khawatir sambil terus memeriksa kedua tanganku."Tangan...tanganku sakit sekali." Sekali lagi aku berbohong. Aku bahkan berpura-pura merintih kesakitan untuk mendramatisir keadaan."Yang mana? Yang sebelah sini ya?" tanyanya sambil memeriksa tanganku yang sebelah kiri. "Atau gini aja deh. Kita ke rumah sakit aja. Daripada nanti tambah parah trus jadi kayak tanganku. Ayo! Kamu bisa berdiri kan?" dia mengulurkan tangan ingin membantuku berdiri."Harusnya seperti ini, lex." seruku seraya memegang tangan yang diulurkannya kepadaku erat-erat. Dia menatapku bingung, karena mengira tangan yang menggenggamnya itulah tangan yang sakit."Harusnya sama seperti aku menyambut uluran tanganmu, seperti itu jugalah seharusnya kamu membuka hatimu, membagi kesedihanmu dan membiarkan aku menanggungnya bersamamu, lex."Alex terdiam. Dia tidak lagi berteriak-teriak atau bahkan mengusirku. Dari pandangan matanya, tampaknya dia tahu apa yang kumaksudkan."Aku tau kamu menderita, lex. Aku juga tau kamu sedang membangun tembok tinggi-tinggi dan menutup hatimu rapat-rapat agar orang lain tidak bisa melihat ke dalam hatimu dan tau tentang semua kesedihan dan luka-luka yang kamu simpan. Tapi biar kuberi tau teman... dengan begitu malah lukamu akan semakin membesar dan kesedihanmu akan semakin menjadi-jadi."Perkataanku terhenti saat melihat air mata menggenang di kedua matanya. Hatiku menjadi iba melihatnya. Tadinya memang aku ingin menjotos hidung temanku ini, tapi melihat kesedihannya, hatiku pun jadi luluh. Aku sadar dia sedang terluka dan reaksi kasar yang diberikannya tadi adalah sebagai tameng untuk melindungi luka-lukanya dari serangan yang lebih menyakitkan lagi.Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya yang selanjutnya lah yang membuatku terkejut"Kau menipuku!" hardiknya sambil menekankan tangannya ke pergelangan tanganku. "Aku pikir tadi kamu beneran cidera tau! Kalau kayak gini kamu pulang aja deh.""Dasar kepala batu! Kamu ini terkenal cerdas tapi kenapa akhir-akhir ini malah jadi bodoh! Aku ini sahabatmu Alex. Kalau lelah... bersandarlah padaku. Jangan di tahan-tahan! Jangan di tutup-tutupi! Ceritakan semua! Bagikan semua yang kamu rasakan! Aku nggak akan menghindar atau menutup telingaku. Aku-"Tiba-tiba saja dia melingkarkan tangannya ke pundakku dan memelukku. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya ke leherku. Jenggot-jenggot kecil yang mulai tumbuh di wajahnya menggesek kulit lembut leherku seketika dan membuatnya memerah. Tak pernah sebelumnya, seorang cowok melakukan ini padaku. Pipiku pun memerah sebagai efek dari sentuhan yang tak aku duga itu.Semua kata-kata yang ingin aku katakan, seketika itu juga berhamburan dari otakku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan jantungku berdebar nggak karuan. Gelombang perasaan aneh pun perlahan meliputiku. Perasaan seperti ingin menangis dan melompat kegirangan pada waktu bersamaan. Aku bingung. Padahal seharian, aku baik-baik saja. Perasaan aku sehat dan sedang tak mengidap penyakit apapun akhir-akhir ini. Lantas mengapa tiba-tiba saja aku merasa panas dingin dipeluk begini.Detik demi detik pun berlalu tapi perasaan tersebut malah semakin kuat. Karna penasaran, aku membiarkan saja semua perasaan tersebut dan mencoba perlahan mengenalinya. Hatiku menghangat seiring waktu. Seakan saat ini, Alex bukannya memeluk tubuhku, tapi malah hatiku. Ini pengalaman yang baru bagiku. Aku tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya.Seketika itu juga, aku teringat dengan novel-novel romantis koleksiku. Aku pernah membaca hal ini sebelumnya, pikirku. Gejala yang aku alami mirip seperti yang pernah dialami Juliet dan tokoh tokoh perempuan lainnya dalam novel saat bertemu dengan kekasihnya. Akhirnya aku mengenalinya...Bahwa perasaan yang merayap perlahan di hatiku ini... adalah... CINTA.***Sejak hari itu, tingkahku jadi aneh saat bertemu Alex. Apalagi saat dia tersenyum atau memberiku pujian, pasti mukaku langsung semerah tomat dan hatiku tak mau berhenti deg-degan. Kalau sudah seperti itu, aku pasti jadi salah tingkah dan cepat-cepat menghindar dari tatapan Alex. Cowok itu kerap kali bertanya kenapa dengan diriku. Tentunya aku tak bisa menjawabnya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa jadi seaneh itu. Akhirnya cara satu-satunya ya berbohong sambil menyembunyikan perasaanku.Keanehan yang lain pun terus bermunculan setelahnya. Aku jadi selalu merasa Alex ada di mana-mana. Di kamarku, di kelas, di ruang makan, di manapun aku berada. Bahkan saat aku menutup mataku pun, wajahnya selalu terbayang. Alhasil, setiap kali aku ingin melakukan sesuatu, pikiranku jadi tidak fokus gara-gara di otakku isinya Alex, Alex, dan Alex melulu. Tapi intinya, hari-hariku saat itu benar-benar menyenangkan. Hatiku selalu berbunga-bunga setiap hari. Apalagi k
Seminggu setelahnya, aku menolak untuk datang ke rumah Alex. Hatiku masih terasa sakit dan aku tak yakin akan bisa menahan tangisku jika bertemu dia. Tapi dasar Alex nggak tau situasi, dia tak henti-hentinya menelpon. Sehari bisa sampai lima atau enam kali. Aku tidak mau bicara dengannya, jadi selalu mama atau papaku yang mengangkat telepon. Aku tau keluargaku pasti bingung dengan tingkahku tapi mereka biasanya tidak akan ikut campur sebelum aku sendiri yang cerita dan meminta pendapat mereka. Dengan demikian aku sedikit lega karena tidak harus menjelaskan semuanya kepada mereka.Aku pun mulai menyibukkan diri dengan cari-cari info kampus jurusan sastra asing yang cocok buatku. Aku berharap dengan begitu pikiranku sedikit teralihkan dari Alex. Untunglah, setelah mondar-mandir, akhirnya aku menemukan kampus yang bagus. Kontan saja, aku langsung memutuskan untuk cepat-cepat mendaftar ke kampus tersebut. Tapi saat aku baru sampai di depan pintu, aku di kagetkan dengan kehadira
Alex's point of viewAnna Karenina, dialah cewek yang melempariku dengan buku dan membuatku mimisan gara-gara mengira aku cowok mesum yang biasa masuk-masuk toilet cewek untuk ngintipin mereka. Sebenarnya sebelum kejadian di toilet cowok itu, aku sudah beberapa kali melihat dia mondar-mandir sambil membawa buku-buku tebal kemana-mana, dan seingatku aku sudah bolak-balik kena tabrak dia tapi dia kayaknya nggak ingat sama sekali kejadian-kejadian itu.GEMES... adalah perasaan pertama yang muncul saat melihat dia berusaha menampilkan muka memelasnya kepadaku dan memintaku untuk memaafkannya. Tak perlu pikir panjang aku langsung memaafkannya.Setelah hari itu kami mulai berteman baik. Well...sebenarnya aku sih yang selalu rajin mengunjungi kelasnya hanya untuk sekedar ngobrol atau ngerjain PR bareng. Pertamanya sih Anna terkesan cuek. Jika ditanya jawabannya selalu singkat dan perhatiaannya nggak pernah lepas dari buku. Apalagi ekspresinya selalu menyirat
ANNA'S POINT OF VIEWBerjam-jam lamanya, aku mengunci diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Saking lamanya aku menangis, sampai akhirnya aku kecapean dan jatuh tertidur. Keesokan harinya, aku di bangunkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. "An... jam berapa ini! Mau sampai jam berapa kamu tidur?!" panggil mamaku sambil mengetuk pintuku dengan keras.Terkejut dengan kegaduhan yang di buat mamaku, aku berteriak balik sambil menaruh bantal menutupi kepalaku,"Sebentar lagi ma. Lagian ini kan hari minggu!" "Iya mama tau. Tapi ada temenmu tuh yang datang. Makanya cepetan bangun!" Gedoran di pintuku terdengar semakin keras. Begitulah mamaku. Setiap pagiku selalu diwarnai gedoran di pintu beserta omelan mamaku sekaligus. Sudah satu paket itu."Ha? Temen? Siapa?" Aku langsung melempar bantal yng ada di atas kepalaku, ke samping dan memegang kedua mataku yang bengkak dan terasa perih. Aku pasti tampak menyedihkan di mata orang lain sekarang ini."Alex sama pacarnya tuh... Ayo cepat ban
Sesampainya disana, aku langsung di sambut hangat semua anggota keluarga Alex. Mereka bergiliran menyapaku dan menanyakan kabarku yang sudah jarang datang ke rumah Alex. Dengan kikuk, aku beralasan tidak pernah datang karena sibuk dengan pekerjaan di sekolah. Padahal, aku sebenarnya jarang datang karena tak mau melihat Alex dan Erna memamerkan cinta mereka di depanku.Makan malam berlangsung cukup menyenangkan. Keluarga Alex bersikap luar biasa baik padaku. Aku sempat merasa aneh karena walaupun mereka biasanya memang baik padaku tapi ini terkesan sedikit berlebihan. Sepertinya ada sesuatu, tapi aku nggak tau itu apa.Lamunanku pun buyar ketika tiba-tiba aku melihat Alex berdiri seperti ingin menyampaikan sesuatu pada semua yang ada di ruangan. Apa lagi ini, pikirku."Aku mengadakan pesta ini dan mengundang kalian semua, sebenarnya karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Beberapa bulan ini, aku sedang dekat dengan seorang cewek. Mungkin beberapa dari kalian tahu siapa dia. Namany
Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah dikerjai. Hanya saja, aku tak percaya kalau Alex dan sekeluarganya beserta saudara-saudaranya bisa bersepakat menjahiliku seperti ini. Orang berpikiran sehat manapun, pasti tahu 'gadis Doraemon' yang sedang mereka bicarakan itu adalah hasil dari karangan mereka saja. Terlebih lagi waktu mereka menambahkan satu bualan lagi, yang menyatakan kalau akulah gadis Doraemon yang mereka maksud, detik itulah aku seketika merasa pasti ada udang di balik batu. Aku yakin sekali mereka sedang bersepakat untuk menjahiliku dan menghibur diri mereka dengan membuatku panik dan tegang saat mendengar kebohongan dari mulut mereka."Ayolah lex... ini nggak lucu. Masak di saat begini, kalian masih sempat-sempatnya ngerjain aku. Balik lagi dong ke pembahasan awal. Jadi siapa perempuan yang tante dan om rencanakan untuk dinikahkan sama Alex?" tanyaku penasaran. Aku berharap mereka berhenti mengatakan yang tidak-tidak dan langsung aja pada pokok pembicaraan. Memang s
Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah dikerjai. Hanya saja, aku tak percaya kalau Alex dan sekeluarganya beserta saudara-saudaranya bisa bersepakat menjahiliku seperti ini. Orang berpikiran sehat manapun, pasti tahu 'gadis Doraemon' yang sedang mereka bicarakan itu adalah hasil dari karangan mereka saja. Terlebih lagi waktu mereka menambahkan satu bualan lagi, yang menyatakan kalau akulah gadis Doraemon yang mereka maksud, detik itulah aku seketika merasa pasti ada udang di balik batu. Aku yakin sekali mereka sedang bersepakat untuk menjahiliku dan menghibur diri mereka dengan membuatku panik dan tegang saat mendengar kebohongan dari mulut mereka."Ayolah lex... ini nggak lucu. Masak di saat begini, kalian masih sempat-sempatnya ngerjain aku. Balik lagi dong ke pembahasan awal. Jadi siapa perempuan yang tante dan om rencanakan untuk dinikahkan sama Alex?" tanyaku penasaran. Aku berharap mereka berhenti mengatakan yang tidak-tidak dan langsung aja pada pokok pembicaraa
Setelah kejadian di rumah Alex, hari-hariku benar-benar diliputi kegelisahan. Antara mempercayai Erna atau perkataan mamanya Alex. Di hari yang ke lima, penasaran dan kegelisahanku semakin memuncak. Dengan tak sabaran, Aku langsung membuka amplop coklat itu dan membaca alamat Erna yang tertera di dalamnya. Sambil dengan kondisi hati yang tak karuan, aku menyetir sepeda motorku ke alamat tempat kos Erna. Setelah kurang lebih sejam mencari, akhirnya sampailah aku ke tempat yang kutuju. Tempat kos Erna tampak kecil dan kumuh. Benar-benar jauh beda dengan rumah mewah yang ditinggalinya dulu.Sebenarnya, aku sedikit ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar kos itu. Aku takut kalau ternyata tuduhan mama Alex itu salah. Tapi karna sudah terlanjur datang, tanganku pun bergerak dan mengetuk pintu tersebut berkali-kali sambil memanggil nama Erna. Lama sampai akhirnya pintu terbuka dan wajah Erna muncul dari balik pintu. Dengan kikuk, aku pun tersenyum dan menyapanya.