Seminggu setelahnya, aku menolak untuk datang ke rumah Alex. Hatiku masih terasa sakit dan aku tak yakin akan bisa menahan tangisku jika bertemu dia. Tapi dasar Alex nggak tau situasi, dia tak henti-hentinya menelpon. Sehari bisa sampai lima atau enam kali. Aku tidak mau bicara dengannya, jadi selalu mama atau papaku yang mengangkat telepon. Aku tau keluargaku pasti bingung dengan tingkahku tapi mereka biasanya tidak akan ikut campur sebelum aku sendiri yang cerita dan meminta pendapat mereka. Dengan demikian aku sedikit lega karena tidak harus menjelaskan semuanya kepada mereka.
Aku pun mulai menyibukkan diri dengan cari-cari info kampus jurusan sastra asing yang cocok buatku. Aku berharap dengan begitu pikiranku sedikit teralihkan dari Alex. Untunglah, setelah mondar-mandir, akhirnya aku menemukan kampus yang bagus. Kontan saja, aku langsung memutuskan untuk cepat-cepat mendaftar ke kampus tersebut. Tapi saat aku baru sampai di depan pintu, aku di kagetkan dengan kehadiran Alex yang muncul dengan wajah yang nyengar-nyengir."Mau daftar ke kampus ya, hehehe... ayo aku antar." Aku langsung membuang muka dan cepat-cepat melangkah menuju motorku."Kamu mau naik motor kesana? Nggak enak lho, panas dan berdebu lagi. Mendingan naik mobilku, dingin dan bebas debu," cerocosnya sambil menggerak-gerakkan tangan bak orang yang sedang membaca puisi."Tidak perlu! Minggir!" tolakku sambil mengibas-ibaskan tanganku mengusirnya tapi bukannya minggir, Alex malah menangkap tanganku seraya berkata, "Maafkan aku, An.""Tuh kan... jantungku berdebar-debar lagi!" celetukku tak sadar."Ha? Jantungmu kenapa? Kamu sakit?" ujarnya kuatir sambil tiba-tiba menyentuh dadaku."Kurang ajar! Kamu nyentuh bagian mana itu!" teriakku sambil menepis tangannya dan menjitak kepalanya keras-keras."Auwwww... aku kan cuma meriksa jantungmu. Lagian aku nggak menyentuh daerah terlarang kok. Kamu aja yang berlebihan.""Apaaa...? Berlebihan? Aku tahu kamu pasti sengaja, kan? Sengaja mau buat aku tambah marah lagi ya?!""Jangan marahlah. Oke gini aja. Sebagai gantinya kamu bisa menyentuh dadaku. Nih... sentuhlah sepuasmu!" rayunya seraya menempatkan telapak tanganku di dadanya."Apa ini! Nggak adil. Dadamu seperti papan cucian.""Ya iyalah. Kalau sampai ada tonjolannya berarti tumor. Mati dong aku..."Mendengar itu aku langsung tertawa terbahak-bahak. Seketika itu juga hilang rasa kesalku. Dasar memang cinta itu benar-benar aneh. Dia bisa membawamu terbang ke awang-awang tapi di saat bersamaan juga bisa melemparkanmu dengan kerasnya ke bumi.Seperti itulah cinta membawaku hari demi hari terombang-ambing pada status hubungan yang tak jelas dengan Alex. Beberapa kali memang aku mengingatkan diriku betapa Alex tidak mencintaiku dan masih saja mengharapkan kembalinya Erna. Namun, hatiku tetap saja tidak mau menurut. Rasa cintaku malah semakin dalam. Semakin dalam sehingga membuatku sering terluka karenanya..Lima tahun telah berlalu sejak hari itu. Dari seorang gadis aku beranjak dewasa menjadi seorang wanita. Banyak hal yang berubah dariku, dari mulai cara bicara, cara berpikir sampai caraku menyikapi suatu masalah. Tapi walaupun banyak yang berubah dariku, rasa cintaku pada Alex tidak pernah berubah.Dan di sinilah aku sekarang, di restoran kesayangan kami berdua, masih saja menunggu si tukang telat itu untuk datang.Sudah tiga puluh menit berlalu sejak dia mengirimkan pesan singkatnya 'OTW' tadi dan bocah itu masih saja belum muncul. Aku tau sudah jadi kebiasaannya selalu datang telat ketika janjian denganku kesini, tapi harusnya hari ini dia menepati janjinya dan datang duluan.Itu karena hari ini adalah hari ulang tahun Alex yang ke dua puluh tiga tahun.Walaupun sebenarnya tradisi ini sudah lima kali berturut-turut kami lakukan bersama, namun masih saja hari ini adalah hari yang istimewa bagiku dan hatiku masih saja berdebar-debar seperti tahun-tahun sebelumnya karenanya.Sayangnya si bocah, yang di rindukan dan di nanti-nantikan kehadirannya itu tidak pernah mengerti perasaanku dan sekali lagi membuatku kecewa.Menolak untuk di kecewakan lebih lama lagi, aku memutuskan menghubungi hp nya dan memarahinya habis-habisan karena membuatku menunggu lagi.Namun sampai lima kali aku mencoba menghubunginya, yang terdengar hanyalah nada tunggu.Aneh! Alex tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Apalagi aku trauma karena Alex pernah kecelakaan dulu.Secepat kilat aku keluar dari restoran, tanpa memedulikan tatapan para pelayan dan beberapa orang di sana. Di pikiranku hanyalah Alex dan aku harus tahu dia kenapa. Tujuanku pertama adalah mengunjungi rumahnya. Aku harap dia cuma ketiduran atau tiba-tiba kedatangan tamu dan bukan dugaan jelekku sebelumnya.Rumahnya kelihatan sepi sesampainya aku di sana. Mungkin Om dan Tante sedang keluar dan para pembantu sedang istirahat di kamar masing-masing. Yang kudapati cuma pak Tino di halaman depan yang kelihatannya sedang bersiap-siap pulang."Malem non Anna. Mau ketemu mas Alex ya?" sapanya ramah."Iya pak. Alexnya ada di dalam pak?""Ada di atas, non. Tapi lagi ada tamunya. Mau saya sampaikan kalau non datang?""Tidak usah, pak. Biar saya sendiri saja yang ke atas. Paling juga tamunya Alex teman saya juga.""Ya sudah kalau gitu bapak pulang dulu, non. Sudah di tunggu sama anak-istri.""Hati-hati ya pak. Salam sama bu Narti dan Dita ya, pak (nama istri dan anak pak Tino)."Setelah menyampaikan hal itu, aku melangkahkan kakiku menuju ke dalam rumah. Namun setelah beberapa langkah, aku tiba-tiba mendengar suara orang bertengkar di lantai atas. Khawatir bercampur penasaran, segera aku mempercepat langkahku untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya aku di anak tangga yang paling atas, aku pun di kejutkan oleh sosok seseorang yang selama ini aku pikir sudah menghilang selamanya."Er...na???" panggilku tak yakin. Cewek itu dan Alex menoleh bersamaan saat mendengar suaraku."Anna... Ya ampun. Aku nggak menyangka bisa bertemu kamu lagi," pekiknya kegirangan sambil berlari memelukku. Aroma parfumnya yang tajam pun langsung menusuk hidungku."Aku benar-benar merindukanmu Anna. Lihatlah kau tidak berubah sama sekali. Masih Anna si perpustakaan berjalan," lanjutnya sambil meregangkan pelukannya dan menunjuk pada buku yang kubawa."Kenapa diam saja? Kamu nggak senang bertemu denganku?"Aku tetap diam membeku di tempatku berdiri. Aku tidak tau harus tertawa, menangis, atau melompat kegirangan. Aku hanya terpaku memandangi sosok Erna di hadapanku."Anna... bisa kamu tinggalkan kami sebentar? Ada beberapa hal penting yang harus kami bicarakan. Kamu mengerti kan?" potong Alex sambil memegang lengan Erna menjauh dariku."Baiklah. Aku menunggu di ba..." seruku perlahan tapi tak satupun dari mereka yang mendengarkan. Mereka terlalu sibuk saling bertatapan satu sama lain.Aku pun meninggalkan mereka dan melangkah perlahan menuruni tangga yang serasa berjuta-juta banyaknya. Di bawah perasaanku naik turun tidak karuan. Punggungku sama sekali tidak menempel di sofa saking tegangnya.Kali ini menunggu benar-benar terasa menyebalkan dan menyakitkan tiap menitnya. Jika saja situasinya berbeda, jika saja saat ini aku tidak mencintai Alex, mungkin aku sudah menyambut Erna bahagia. Tapi sekarang posisiku benar-benar sulit untuk menyambutnya seperti dahulu. Bagaimana mungkin aku melakukannya jika hatiku terasa sakit seperti ini.Tiba-tiba teriakan-teriakan pertengkaran yang masih terdengar dua jam yang lalu serta merta berhenti. Tak terdengar suara apapun. Karena berpikir mungkin pembicaraan mereka sudah selesai, aku pun bergegas menghampiri mereka.Tapi... betapa terkejutnya aku dengan pemandangan yang aku lihat sesampainya di sana.Aku melihat... mereka bercumbu mesra.Habis sudah cerita cintaku. Sekarang sedikit kesempatan pun sudah tidak tersedia bagiku. Dengan suasana hati yang remuk redam aku cepat-cepat berbalik meninggalkan tempat itu. Aku tidak mau mereka melihatku terluka begini. Statusku masih sahabat mereka dan sudah tugasku untuk berekspresi bahagia buat mereka.Tapi tidak saat ini. Saat ini aku masih terlalu terluka untuk bisa terlihat bahagia.***Alex's point of viewAnna Karenina, dialah cewek yang melempariku dengan buku dan membuatku mimisan gara-gara mengira aku cowok mesum yang biasa masuk-masuk toilet cewek untuk ngintipin mereka. Sebenarnya sebelum kejadian di toilet cowok itu, aku sudah beberapa kali melihat dia mondar-mandir sambil membawa buku-buku tebal kemana-mana, dan seingatku aku sudah bolak-balik kena tabrak dia tapi dia kayaknya nggak ingat sama sekali kejadian-kejadian itu.GEMES... adalah perasaan pertama yang muncul saat melihat dia berusaha menampilkan muka memelasnya kepadaku dan memintaku untuk memaafkannya. Tak perlu pikir panjang aku langsung memaafkannya.Setelah hari itu kami mulai berteman baik. Well...sebenarnya aku sih yang selalu rajin mengunjungi kelasnya hanya untuk sekedar ngobrol atau ngerjain PR bareng. Pertamanya sih Anna terkesan cuek. Jika ditanya jawabannya selalu singkat dan perhatiaannya nggak pernah lepas dari buku. Apalagi ekspresinya selalu menyirat
ANNA'S POINT OF VIEWBerjam-jam lamanya, aku mengunci diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Saking lamanya aku menangis, sampai akhirnya aku kecapean dan jatuh tertidur. Keesokan harinya, aku di bangunkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. "An... jam berapa ini! Mau sampai jam berapa kamu tidur?!" panggil mamaku sambil mengetuk pintuku dengan keras.Terkejut dengan kegaduhan yang di buat mamaku, aku berteriak balik sambil menaruh bantal menutupi kepalaku,"Sebentar lagi ma. Lagian ini kan hari minggu!" "Iya mama tau. Tapi ada temenmu tuh yang datang. Makanya cepetan bangun!" Gedoran di pintuku terdengar semakin keras. Begitulah mamaku. Setiap pagiku selalu diwarnai gedoran di pintu beserta omelan mamaku sekaligus. Sudah satu paket itu."Ha? Temen? Siapa?" Aku langsung melempar bantal yng ada di atas kepalaku, ke samping dan memegang kedua mataku yang bengkak dan terasa perih. Aku pasti tampak menyedihkan di mata orang lain sekarang ini."Alex sama pacarnya tuh... Ayo cepat ban
Sesampainya disana, aku langsung di sambut hangat semua anggota keluarga Alex. Mereka bergiliran menyapaku dan menanyakan kabarku yang sudah jarang datang ke rumah Alex. Dengan kikuk, aku beralasan tidak pernah datang karena sibuk dengan pekerjaan di sekolah. Padahal, aku sebenarnya jarang datang karena tak mau melihat Alex dan Erna memamerkan cinta mereka di depanku.Makan malam berlangsung cukup menyenangkan. Keluarga Alex bersikap luar biasa baik padaku. Aku sempat merasa aneh karena walaupun mereka biasanya memang baik padaku tapi ini terkesan sedikit berlebihan. Sepertinya ada sesuatu, tapi aku nggak tau itu apa.Lamunanku pun buyar ketika tiba-tiba aku melihat Alex berdiri seperti ingin menyampaikan sesuatu pada semua yang ada di ruangan. Apa lagi ini, pikirku."Aku mengadakan pesta ini dan mengundang kalian semua, sebenarnya karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Beberapa bulan ini, aku sedang dekat dengan seorang cewek. Mungkin beberapa dari kalian tahu siapa dia. Namany
Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah dikerjai. Hanya saja, aku tak percaya kalau Alex dan sekeluarganya beserta saudara-saudaranya bisa bersepakat menjahiliku seperti ini. Orang berpikiran sehat manapun, pasti tahu 'gadis Doraemon' yang sedang mereka bicarakan itu adalah hasil dari karangan mereka saja. Terlebih lagi waktu mereka menambahkan satu bualan lagi, yang menyatakan kalau akulah gadis Doraemon yang mereka maksud, detik itulah aku seketika merasa pasti ada udang di balik batu. Aku yakin sekali mereka sedang bersepakat untuk menjahiliku dan menghibur diri mereka dengan membuatku panik dan tegang saat mendengar kebohongan dari mulut mereka."Ayolah lex... ini nggak lucu. Masak di saat begini, kalian masih sempat-sempatnya ngerjain aku. Balik lagi dong ke pembahasan awal. Jadi siapa perempuan yang tante dan om rencanakan untuk dinikahkan sama Alex?" tanyaku penasaran. Aku berharap mereka berhenti mengatakan yang tidak-tidak dan langsung aja pada pokok pembicaraan. Memang s
Hal yang paling kubenci di dunia ini adalah dikerjai. Hanya saja, aku tak percaya kalau Alex dan sekeluarganya beserta saudara-saudaranya bisa bersepakat menjahiliku seperti ini. Orang berpikiran sehat manapun, pasti tahu 'gadis Doraemon' yang sedang mereka bicarakan itu adalah hasil dari karangan mereka saja. Terlebih lagi waktu mereka menambahkan satu bualan lagi, yang menyatakan kalau akulah gadis Doraemon yang mereka maksud, detik itulah aku seketika merasa pasti ada udang di balik batu. Aku yakin sekali mereka sedang bersepakat untuk menjahiliku dan menghibur diri mereka dengan membuatku panik dan tegang saat mendengar kebohongan dari mulut mereka."Ayolah lex... ini nggak lucu. Masak di saat begini, kalian masih sempat-sempatnya ngerjain aku. Balik lagi dong ke pembahasan awal. Jadi siapa perempuan yang tante dan om rencanakan untuk dinikahkan sama Alex?" tanyaku penasaran. Aku berharap mereka berhenti mengatakan yang tidak-tidak dan langsung aja pada pokok pembicaraa
Setelah kejadian di rumah Alex, hari-hariku benar-benar diliputi kegelisahan. Antara mempercayai Erna atau perkataan mamanya Alex. Di hari yang ke lima, penasaran dan kegelisahanku semakin memuncak. Dengan tak sabaran, Aku langsung membuka amplop coklat itu dan membaca alamat Erna yang tertera di dalamnya. Sambil dengan kondisi hati yang tak karuan, aku menyetir sepeda motorku ke alamat tempat kos Erna. Setelah kurang lebih sejam mencari, akhirnya sampailah aku ke tempat yang kutuju. Tempat kos Erna tampak kecil dan kumuh. Benar-benar jauh beda dengan rumah mewah yang ditinggalinya dulu.Sebenarnya, aku sedikit ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar kos itu. Aku takut kalau ternyata tuduhan mama Alex itu salah. Tapi karna sudah terlanjur datang, tanganku pun bergerak dan mengetuk pintu tersebut berkali-kali sambil memanggil nama Erna. Lama sampai akhirnya pintu terbuka dan wajah Erna muncul dari balik pintu. Dengan kikuk, aku pun tersenyum dan menyapanya.
Setelah kejadian di rumah Alex, hari-hariku benar-benar diliputi kegelisahan. Antara mempercayai Erna atau perkataan mamanya Alex. Di hari yang ke lima, penasaran dan kegelisahanku semakin memuncak. Dengan tak sabaran, Aku langsung membuka amplop coklat itu dan membaca alamat Erna yang tertera di dalamnya. Sambil dengan kondisi hati yang tak karuan, aku menyetir sepeda motorku ke alamat tempat kos Erna. Setelah kurang lebih sejam mencari, akhirnya sampailah aku ke tempat yang kutuju. Tempat kos Erna tampak kecil dan kumuh. Benar-benar jauh beda dengan rumah mewah yang ditinggalinya dulu.Sebenarnya, aku sedikit ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamar kos itu. Aku takut kalau ternyata tuduhan mama Alex itu salah. Tapi karna sudah terlanjur datang, tanganku pun bergerak dan mengetuk pintu tersebut berkali-kali sambil memanggil nama Erna. Lama sampai akhirnya pintu terbuka dan wajah Erna muncul dari balik pintu. Dengan kikuk, aku pun tersenyum dan menyapanya.
Erna keluar dengan kostum yang bisa membuat mata dan mulut pria menganga melihatnya. Dari atas kepala sampai kakinya, semua serba merah dan berkelip-kelip.Baju atasan dengan belahan atas yang rendah, hingga memperlihatkan dua tonjolan di bagian atas tubuhnya, dipakainya dengan percaya diri, tanpa perlu menutupnya dengan jaket atau kain tambahan. Roknya pun tampak cetar dan menarik perhatian. Rok terkutuk itu panjangnya hanya beberapa senti saja dari pinggulnya sehingga ketika dia membungkuk sedikit saja, kita bisa melihat dalaman yang dipakainya.Namun yang membuatnya terlihat makin aneh adalah rambut palsu pirangnya dan make up wanita itu yang tebal dan serba berwarna-warni. Ada banyak yang membuatku muak dari penampilan Erna kali ini. Padahal aku bukan tipe orang yang suka menghakimi seseorang dari pakaiannya. Mau dia pakai rok mini atau tak berbusana sekalipun, bukanlah urusanku. Tapi ini temanku sendiri dan aku tahu tujuan sahabatku itu kenapa berpakaian