Share

2. PANIK

Setelah mengejarnya beberapa saat, dia terlihat terburu-buru berlari ke arah kamar mandi. Aku pun langsung mengikutinya ke dalam. Dan saat aku masuk, dia terlihat sedang berusaha melap bagian depan kemejanya dengan tisu berkali-kali.

Melihat itu, aku benar-benar merasa bersalah. Karena tampaknya beberapa kali pun dia mencoba membersihkan noda merah bekas es kopyor tadi, noda tersebut tidak sedikit pun berkurang. Parahnya, bekas tumpahan tadi malah terlihat melebar di bandingkan sebelumnya.

"Maaf ya... gara-gara aku seragammu jadi kotor begini," seruku lirih seraya berharap dia tidak terlalu marah padaku.

Tapi... entah karena masih marah atau mungkin tak mendengar ucapanku, cewek itu sama sekali tak merespon. Perhatiannya masih pada bagian depan kemejanya yang penuh noda tersebut.

Aku jadi salah tingkah. Apalagi aku melihat ekspresi yang semula terlihat panik, tiba-tiba berganti menjadi ekspresi orang yang mau menangis.

"Mmm... gini aja. Gimana kalau kamu pakai bajuku saja. Biar aku yang gantian pakai bajumu yang basah." Bingung juga dari mana ide seperti itu bisa mampir ke kepalaku. Yang pasti, aku tak mungkin membiarkannya seharian memakai pakaian kotor dan basah hanya karena kebodohanku.

"Nggak apa-apa. Biarin aja deh gini!" jawabnya dengan nada sedih.

"Kamu kan tak mungkin seharian pakai baju basah dan kotor begini. Lagian nanti pelajaran ke empat aku ada pelajaran olah raga, jadi aku bisa pakai seragam olah ragaku saja nanti sampai pulang sekolah. Nanti di rumah aku cuci dulu bajumu baru aku kembalikan ke kamu."

Setelah mendengar perkataanku, cewek itu masih saja terlihat ragu-ragu.

"Ayolah... aku nggak enak kalau kamu masuk kelas dengan baju kotor seperti ini. Bisa-bisa kena hukum guru BP kamu nanti!" seruku mencoba meyakinkannya.

Dia pun perlahan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Melihat itu, aku akhirnya merasa lega.

"Oh ya? Kamu anak kelas berapa ya? Soalnya besok biar aku saja yang ke kelasmu buat mengembalikan seragammu," tanyaku setelah kami berganti seragam satu sama lain.

"Kelas 2-1. Tanya saja nanti sama temanku kalau nggak ketemu aku di kelas. Namaku Erna Dharmawan."

Setelah pertemuan yang 'tidak menyenangkan' tersebut, sebenarnya kami tidak langsung menjadi dekat. Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya kami menjadi sahabat.

Diawali dari saling menyapa, mengobrol singkat, sampai akhirnya kami menemukan kebiasaan yang sama. Sungguh kebetulan, ternyata dia juga sama denganku. Dia juga ternyata suka membaca novel, walaupun memang tidak 'berlebihan' seperti kecintaanku pada buku.

Hal itulah yang membuat kami menjadi dekat dan sering menghabiskan waktu bersama, baik waktu istirahat ataupun sehabis pulang sekolah. Terkadang aku yang mampir ke kelasnya, atau kadang dia yang datang ke kelasku untuk sekedar mengobrol atau mengajakku ke kantin bersama.

Tak jarang pula, aku di ajaknya berburu novel ke toko-toko buku sampai berjam-jam lamanya sepulang sekolah. Alhasil, aku yang selalu sendirian dan tak punya teman, serasa mendapat 'durian runtuh'.

Namun, ternyata kebahagianku tidak berhenti sampai di situ saja. Tuhan ternyata masih ingin menghadiahiku seorang teman lagi dua bulan setelah pertemuanku dengan Erna.

Awal pertemuan kami bukanlah pertemuan yang termasuk kenangan yang indah bagiku. Karna kondisinya saat itu jauh lebih memalukan dari pada waktu bertemu Erna.

Waktu itu... aku sedang tergesa-gesa berlari ke toilet. Tapi karena cerita yang aku baca pas bagian yang seru-serunya. Jadi sambil lari pun pandanganku tak lepas dari novel yang aku baca. Rupanya, setelah kejadian dengan Erna pun, aku masih tidak kapok mengulangi kebiasaan burukku lagi.

Sesampainya di dalam toilet, dengan berat hati, aku akhirnya menutup novelku. Tapi... betapa kagetnya aku. Karena saat aku berpaling dari bukuku, aku mendapati seorang COWOK tiba-tiba saja berdiri di depanku.

Aku membeku.

Dia pun panik melihatku sambil tangannya sibuk menaikkan resleting celananya.

Beberapa detik kemudian aku sadar dan langsung berteriak sekuat tenaga dan dengan reflek melempar novel di tanganku ke wajahnya.

Cowok itu kaget dan tidak sempat menghindar, sehingga ujung sampul novel yang keras mendarat tepat di hidungnya.

Tanpa memperdulikan novel yang aku buang dan si cowok korban lemparanku tadi, aku langsung berlari keluar sambil terus saja berteriak seperti orang kesurupan.

Semua yang mendengar teriakanku langsung menghampiri, termasuk beberapa guru yang kebetulan berada di sekitar situ. Mereka mulai menanyaiku dan aku pun berusaha menjelaskan dengan nafas yang tersengal-sengal sambil menunjuk-nunjuk ke arah toilet. Tapi betapa kagetnya aku ketika toilet yang aku tunjuk bertuliskan... TOILET PRIA.

Aku yang masih tidak mempercayai pengelihatanku, langsung menghampiri toilet tersebut untuk memastikan. Ternyata benar, toilet tersebut memang benar toilet pria dan cowok tadi masih berdiri di situ, sambil meringis memegangi hidungnya yang berdarah akibat lemparanku tadi.

Saat itu...

Aku sungguh-sungguh berharap bumi segera terbelah dua dan menelanku. Atau mungkin... semua orang di situ tiba-tiba mendapat serangan amnesia sehingga kejadian memalukan itu secara otomatis terlupakan.

Tapi sayangnya... tidak satupun harapanku terkabul. Yang terjadi malah semua yang ada di situ mulai menertawaiku, wali kelasku menjewerku dan menyita novel kesayanganku. Tidak hanya itu, aku masih harus mengantar cowok mimisan tersebut ke klinik sekolah dan menemaninya sampai mimisannya berhenti.

Sesampainya di klinik aku langsung meminta maaf. Aku pikir dia bakalan marah-marah dan minta ganti rugi. Aku sempat kuatir kalau itu terjadi. Mau aku bayar pakai apa, uang jajan bulananku waktu itu sudah menipis gara-gara dibelanjain buku-buku dan novel-novel bekas seminggu sebelumnya. Kalau minta dari orang tua, takutnya malah kena marah dan tidak di kasih uang jajan lagi selamanya.

Karena nggak ada jalan keluar lagi, aku langsung memasang jurus pamungkasku yang bernama... 'JURUS MUKA MEMELAS'.

Untungnya, jurus tersebut masih ampuh. Cowok itu nggak jadi marah dan memaafkanku tanpa meminta uang ganti rugi sepeserpun.

"Namaku Alex. Kamu?" katanya tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

"Anna. Namaku Anna..."

Walaupun keduanya berawal dari kesialan, tapi malah membuat aku yang jarang punya teman, karena terlalu sering bergaul dengan buku daripada dengan manusia, akhirnya mempunyai sahabat.

Setelah bersahabat dengan mereka, aku jadi menikmati hari-hariku di sekolah. Tidak pernah sekalipun penyakit 'ingin membolosku' kambuh. Malah kalau bisa jadwal masuk sekolah ditambah jadi setiap hari. Memang kedengaran berlebihan, tapi aku benar-benar menikmati waktu-waktu kebersamaan kami sehingga tidak pernah puas kalau cuma ketemu senin sampai sabtu saja.

Saking seringnya kami bertiga menghabiskan waktu bersama-sama, persahabatan kami pun jadi perhatian teman-teman sekelasku. Banyak dari mereka yang senang dan bahkan memuji persahabatan kami yang selalu terlihat semakin kompak, tapi di lain pihak ada juga yang mengejek kedekatan kami dengan komentar yang menyakitkan.

Mereka sering berkomentar tentang betapa bedanya aku dengan Alex dan Erna. Perbedaannya terlalu mencolok. Bak langit dan bumi, olok mereka suatu hari. Tapi yang paling menyakitkan adalah komentar mereka yang mengumpamakan Alex bagaikan pangeran tampan, Erna bagaikan putri cantik, sedangkan aku malah terlihat bagaikan pembantu jika dibandingkan dengan Alex dan Erna.

Menyebalkan!!!

Kalau saja tatapan bisa membunuh, waktu itu mungkin banyak dari teman-temanku yang sudah rebah tak bernyawa karenanya.

Namun setelah di pikir-pikir, mereka berdua memang berbeda jauh dariku.

Pertama, Alex dan Erna selalu terlihat seperti model dalam kondisi apapun. Tidak pernah sedikitpun terlihat kucel sepertiku. Kedua, mereka berdua tergolong dari keluarga yang kaya raya, yang berangkat dan pulang sekolah naik mobil. Lain denganku yang walaupun juga berangkat dan pulang dengan naik mobil, tapi mobil yang aku naiki bukanlah mobil mewah seperti kepunyaan mereka, melainkan mobil angkot.

Dan yang paling mencolok adalah kemampuan bermusik mereka, yang dalam mimpi pun tidak akan bisa aku samai. Keduanya terkenal pandai bermain musik dan sering mendapat penghargaan karenanya. Erna bersuara merdu dan piawai dalam bermain piano, sedangkan Alex sangat mahir memainkan alat musik gitar dan membuatnya mendapat banyak penggemar cewek di sekolah karenanya.

Sedangkan aku... membaca saja aku terdengar sumbang.

Mungkin hanya satu saja kelebihanku yang diakui aku dan saudara-saudaraku, yaitu... Inner Beauty, alias kecantikan dari dalam.

Menyedihkan memang. Namun perbedaan tersebut tidak pernah sedikitpun mengganggu persahabatan kami. Hari demi hari kami malah jadi semakin dekat, terutama Alex dan Erna. Mereka berdua tampak luuuuuaaar biasa dekat.

Memang sih, awalnya aku berpikir karena mereka mempunyai kegemaran yang sama di bidang musik, jadi mereka sering menghabiskan waktu berdua.

Namun...

Aku menangkap sinyal-sinyal yang berbeda saat melihat Alex dan Erna bersama-sama.

Tatapan mereka...

Ekspresinya...

Benar-benar seperti mengeluarkan percikan-percikan listrik.

Saat kami mengobrol bertiga pun, aku sering merasa seperti 'penonton' di bandingkan 'peserta'.

Di situlah aku sadar kalau mereka saling tertarik satu sama lain. Oleh karena itu, sebagai sahabat yang baik dan gemar dengan hal-hal yang romantis, aku memutuskan untuk menjadi 'Mak Comblang' buat mereka. Singkat kata, berkat usahaku sebagai 'Mak Comblang' akhirnya mereka berdua berpacaran.

Sungguh lucu dan aneh memang menyaksikan kedua sahabat sendiri memadu kasih. Di mulai dari menyaksikan sikap mereka yang malu-malu, sampai tatapan super romantis, yang seringkali malah membuatku tertawa geli melihatnya.

Walaupun begitu, kebersamaan mereka benar benar indah bagaikan lukisan. Siapa saja yang melihat mereka pasti berpendapat kalau mereka adalah pasangan serasi yang di takdirkan bersama selamanya.

Tapi...

Ternyata takdir yang mengikat kami bertiga tidak bisa di prediksi semudah itu.

Dalam waktu sekejap saja, takdir sudah membawa kami jauh dari apa yang kami rencanakan sebelumnya...

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status