Share

3 | Maria Ku Malu

Maria berpegangan kuat pada dinding speed boat, tubuhnya melayang seakan dibawa oleh ombak. Dia selalu meneriaki nama Steve.

“Steve, Oh my God. Aku takut Steve…”

Yang punya nama malah terkikik, “Gak usah takut sayang, aku disini untuk kamu. Please hold my hand!” Maria mengeratkan tangannya pada Steve.

“Bolehkah ku buka penutup mata ini? Aku penasaran sayang, kita lagi dimana ini? Kok tubuh aku melayang—layang rasanya?”

Steve berbisik, “Belum saatnya, keep calm baby girl!” diakhiri dengan hembusan nafas hangat dari mulut Steve.

Maria memegang tengkuknya, “Sayang, jangan aneh—aneh please.”

Steve mengecup pucuk kepala Maria. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Maria. Tubuh Maria menghangat karena dipeluk erat oleh Steve. Hembusan angin laut menyapa kulit putih Maria. Meninggalkan bekas seperti butiran debu yang halus. Maria mendekap lingkaran tangan Steve di pinggangnya.

“How lucky I’m cause you’re here with me!”

“Me more baby!”

Steve semakin mengeratkan pelukannya. Maria pun nyaman dengan posisi begini, ia bisa memasukkan kepalanya di ceruk leher sang suami. Nyaman dan hangat.

“Kita sebentar lagi akan sampai ya sayang, bersiaplah!”

Bisikan Steve membuat Maria bergidik, ‘Apa ini sudah waktunya untuk aku dan Steve? Our time?’

Steve membopong tubuh Maria turun dari speed boat. Kaki mereka sudah menyentuh daratan. Sesekali genangan air menghampiri kaki mereka. Maria pun terkesiap.

“Sayang, kok ada air ya? Kamu bawa aku kemana ini?” Maria mulai panik.

Steve semakin terkekeh, melihat Maria yang dilanda kepanikan adalah suatu hiburan yang mahal untuknya. “Kamu mau tau kita ada dimana?”

“Mau dong. Mau banget. Please buka ya ini penutup matanya.” Ujar Maria dengan manja.

“It’s for you baby,” Steve membuka penutup yang dia kenakan pada Maria sebelum menaiki speed boat. Ia buka pelan—pelan. Maria semakin geretan.

“Steve, jangan dilama—lamain deh. Kamu mau aku mati penasaran?” sebuah protes dilayangkan oleh Maria pada suaminya.

“Hitungan ketiga ya,”

“Satu”

“Dua”

“Tiga”

………

Maria melongo melihat keindahan alam yang terkembang jelas di pelupuk matanya. Mulutnya ikut menganga, takjub, bahkan tak percaya bahwa ia yang bukan siapa—siapa bisa mendapatkan perlakuan istimewa begini dari seorang idola para wanita.

Maria pun meneteskan air matanya, ia menangis. Steve cemas melihat perubahan pada Maria.

“Sayang kenapa hmmm?”

“I’m so happy. You’re my happiness Steve.”

Tatapan mereka bersirobok, Steve menghapus air mata Maria. Menenangkan jiwanya yang bergetar, menarik Maria untuk masuk kedalam pelukan hangatnya.

“Sudah ya, jangan nangis. Kamu itu kalau nangis, ntar make up nya luntur loh.” Goda Steve yang tidak pada tempatnya.

Maria menarik diri keluar dari pelukan Steve, “Jadi wajah aku jelek kalau make up ku luntur, begitu?”

Steve mengacak asal rambut Maria, Cup, “WELCOME TO MARIA ISLAND!”

……

“Hah pulau aku?”

“Iya, Maria Island.” Steve membenarkan apa yang didengar oleh Maria.

“Mau berkeliling nona?” tawar Steve pada Maria seraya mengulurkan tangannya. Maria ikut tersenyum, lalu menyambut tangan Steve.

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Steve mengajak Maria mendaki sedikit ke atas tebing buatan yang berada di bibir pantai.

“Sunset akan terlihat lebih indah kalau kita berdiri disini.” Steve mengelus pipi Maria. Sentuhan Steve ini sangat disukai Maria, ia merasa seperti seorang dewi. Yes, She is Steve’s Angel.

“Kamu benar sayang. Sunset disini indah banget. Aku wanita yang sangat beruntung bisa duduk disini, dan jadi pendamping kamu.”

Maria menoel hidung mancung Steve. Pria tampan ini terkekeh. Maria memagut duluan, Steve menerimanya, mereka saling berbagi, hingga Steve memimpin permainan.

Nafas Maria tersengal-sengal, “Kamu ya, dikasih hati mintanya jantung!” Maria merungut. Ia tak menyangka Steve akan meraba—raba tubuhnya.

“Kamu kan milikku sekarang, bebas dong!” protes Steve akan sindiran yang ditujukan padanya.

“Ya kan ini masih diluar Steve, aku malu.”

“Gak ada orang disini sayang, cuma kita.” Steve kembali menarik pinggang ramping Maria, wanita kalau sudah ditangkap pasti susah melepaskan diri, hal ini juga berlaku untuk Maria. Dengan susah payah akhirnya ia bisa terlepas dari si tangan besar, Steve.

“Hahahaha… ayo Steve kejar aku sini.” Maria terus berlari dan memanggil nama Steve.

Merasa ditantang, Steve mengejar Maria dengan cepat, “Awas ya, kalau aku bisa nangkep kamu, semua yang ku mau harus kamu turuti, No Debat!”

“I will baby…” pekik Maria yang sudah menjarak dari Steve.

Mereka berlari—lari dengan kaki telanjang. Tak sering kaki mereka tenggelam didalam pasir putih yang halus. Maria semakin kencang untuk berlari, karena Steve tidak pernah main—main dengan perkataannya. Steve pun berpura—pura untuk melambat. Membiarkan sang bidadari hati bersenang—senang dengan apa yang dia mau.

“Ahhhh… Steve, I’m so tired. Istirahat dulu ya!”

Maria berdiri ditempat, nafasnya tersengal—sengal, tenggorokannya mengering, berkali—kali Maria menarik salivanya agar membasahi mulutnya.

“Siapa suruh lari—lari hah?” ejek Steve pada sang istri.

Melihat Maria yang kelelahan begitu membuat Steve terangsang. Bulir keringat yang membasahi pelipis Maria, bagai magnet yang menarik Steve untuk segera menyentuhnya. Belum lagi geraian rambut dark brown alami Maria, terlihat sedikit lepek tapi itu pesona Maria.

“Damn it,”

Steve berlari pada Maria, karena tak siap Maria pun tidak bisa mengelak lagi. Tubuhnya segera di bopong ala bridal style oleh Steve.

“Ahhh… kamu curang, aku kan lagi istirahat!” Maria melayangkan pukulan manja pada Steve.

“Ayo kita masuk sayang,” Steve menggendong Maria untuk memasuki Villa yang akan mereka tempati selama seminggu ke depan.

Pintu geser otomatis terbuka karena sensor menangkap adanya tubuh manusia yang ingin melewatinya.

“Kamu sengaja ya, pintunya begitu?” tanya Maria polos.

“Ya, karena tanganku sibuk sekarang ini. Dia sangat membantu bukan?”

Maria merengut, mendengar kata sibuk Steve. “Jadi aku berat ya?”

Steve mengecup sekilas bibir Maria, “Sedikit,” diakhiri dengan tawa renyah dan manis yang Maria sukai.

Maria sudah diturunkan oleh Steve. Kaki Maria sudah menapak di lantai. “Ini kamar kita, kamu suka?” tanya Steve lembut.

Mata Maria terpesona akan keindahan interior ruangan yang sangat luas ini, “Ini besar banget sayang, cantik.”

Maria berjalan meninggalkan Steve sejenak. Ia mengelilingi setiap sudut kamar. Terlihat ranjang yang luas, dihiasi dengan taburan mawar ukiran bentuk hati. “Beautiful!”

Satu tangan Steve memeluk pinggang Maria dari belakang, satunya lagi menyibak rambut Maria yang terurai indah, tengkuk putih mulus Maria terlihat membuat Steve susah menelan salivanya. Steve mengeratkan pelukannya, Steve mengecup dengan lembut, menghirup wangi manis seperti kue, “Aku suka parfume kamu sayang, membuatku ingin secepatnya melahapmu.”

Steve membalikkan tubuh Maria, sedikit mendorong ke arah dinding kamar, memegang kepala sang istri agar tak merasakan sakit. Tak tahan lagi, Steve menempelkan bibirnya pada bibir lembut Maria, mengulumnya lebih dalam, tangan Steve mengelus tengkuk Maria meminta Maria untuk membuka mulutnya.

Steve berhasil masuk, lidahnya bisa melilit lidah Maria. Mereka saling membalas, mencecap, bergantian atas bawah, hingga Maria melolongkan desahan atas kerja bagus sang suami.

Tangan Steve yang lain turun dari belaian tengkuk, tertahan karena tergoda oleh gundukan indah padat milik Maria, sayang bukan kalau tak bermain dulu dengannya.

Maria kelimpungan merasakan gelenyar dari remasan tangan suaminya ini, tidak kasar ada kelembutan dari tempo yang diberikan. Maria menggigit bibir bawahnya, sedikit malu untuk ia bersuara.

“Sayang, jangan digigit begitu bibirnya.” Protes Steve dengan kilatan mata yang sudah menggelap.

Steve melahap bibir Maria lagi, kecupan mereka sangat dalam, Maria semakin terbang karena entah kapan dress yang dikenakan sudah teronggok di lantai dekat mereka berdiri. Menyisakan bra gstring yang tak menutupi sepenuhnya.

Steve menggendong tubuh Maria seperti anak koala. Kaki Maria melingkari pinggang Steve, kedua tangannya bertengger di bahu Steve, dan bibir Steve masih melumat. Maria membalasnya dengan sedikit menggebu, hormon estrogen Maria menginstruksikan untuk tidak malu lagi pada suami sendiri.

Sedikit kasar, Steve melempar tubuh Maria ke ranjang. Maria terkesiap namun hal itu disukai oleh Maria. Tatapan mereka bersirobok, saling melirik, dan Steve sudah shirtless menyisakan boxer saja.

Maria tertawa, Steve pun langsung datang pada Maria. Menghimpitnya tanpa celah, bibir Steve mengecup apapun yang dia inginkan dan dia lihat.

Steve membuka paksa pengait bra, melemparnya ke udara lalu tergeletak di lantai, ia pun mengulum biji coklat milik Maria yang sudah menegang. Steve menghisap layaknya seperti bayi yang sedang minum ASI.

Tangan Steve mulai bergerilya menyentuh bagian bawah Maria, ia mencoba memasukkan satu jarinya. Maria memekik karena setruman nakal dari Steve, nafas mereka memburu, keringat mengucur membasahi tubuh.

“Ssstttvee… aku mau keluar,”

Steve mempercepat temponya, menambahkan jarinya satu lagi, “Do it baby,” balasnya dengan suara baritone. Steve semakin menggosok lalu menekan Maria. Sang istri memekik lebih kencang, tubuhnya terkejut mendapat satu lagi setruman.

Cairan itu mengalir membasahi jari Steve, ia kulum layaknya lollipop. Steve mengarahkan king nya pada Maria, ukurannya yang besar dan berurat, satu hentakan dari king berhasil mengoyak selaput dara milik Maria.

Beberapa tetesan darah melekat pada king Steve, sprei menampung tetesan darah perawan sang istri. Maria tak kuasa menahan aliran setrum yang sangat hebat pada dirinya. Tanpa Maria sadari, mulutnya menggigit bahu Steve, tangannya juga mencakar punggung Steve.

“Tahan ya sayang, gak lama kok sakitnya. I promise!”

Steve berusaha menenangkan Maria, ia tertahan belum bergoyang. Steve mau Maria juga menikmati kegiatan mereka. Steve ingin Maria merasa bahagia bukan tersiksa.

Steve mengecup kening Maria, kedua matanya, Steve mengecup pipinya yang basah karena air mata yang menetes menahan rasa sakit. Steve mengulum lembut bibir Maria bergantian.

“I’m ready,” ujar Maria setelah tenang.

“Are you sure?” Steve mengkonfirmasi.

Maria mengerjapkan matanya, mata adalah anggota tubuh yang tidak akan pernah berbohong. Lain halnya dengan mulut, yang selalu bisa memanipulasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status