Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
“Pengantin wanita akan segera memasuki ruangan!” Asisten pribadi dari Hexel Steven Wijaya, dipercaya sebagai pembawa acara pada hari bahagia sang atasan. Dia adalah Nathanael Budiman. Orang terdekat dari CEO Hexel Steven Wijaya, pemimpin Wijaya Abadi Corporation. Grup perusahaan yang bergerak dibidang teknologi, hotel resort dan property. Pengantin wanita telah dinanti dengan wajah bahagia oleh CEO tampan, Tuan Steven Wijaya. Pangeran sehari itu mengenakan tuxedo model burung merak berbahan beludru hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu dan celana bahan yang tidak membuat sesak kaki jenjangnya. Kilatan silau dari alas kaki pantofel tersebut berhasil menyihir mata Maria Alexandra Santoso. Wanita pilihan Steven itu berjalan dengan anggun bersama ayahanda, Franky Santoso. Gaun pu
Steve dan Maria bergandengan tangan seraya memasuki villa. Sesuai janji Nathan, ia hanya akan menghantar saja, tidak akan mengganggu acara honeymoon sang atasan.Mereka bersitatap terus sambil mengulas senyum manis. Maria masih malu-malu pada suaminya, Steve. Terlihat pada rona wajahnya seperti warna buah persik.“Apa kamu baru sadar, kalau aku itu sangat tampan?” goda Steve bertanya pada Maria.“Iya, aku baru menyadarinya.” Tantang Maria dengan terkekeh malu setelah itu, hingga menutupi wajahnya dengan telapak tangannya sendiri.Sesaat kemudian Steve meraih tangan istrinya, “Jangan ditutupi begitu, aku suka senyum kamu sayang.” Maria tak sanggup dihujami rayuan pulau dari Steve. Suami itu langsung saja melahap candu merekah dengan int
Maria berpegangan kuat pada dinding speed boat, tubuhnya melayang seakan dibawa oleh ombak. Dia selalu meneriaki nama Steve. “Steve, Oh my God. Aku takut Steve…” Yang punya nama malah terkikik, “Gak usah takut sayang, aku disini untuk kamu. Please hold my hand!” Maria mengeratkan tangannya pada Steve. “Bolehkah ku buka penutup mata ini? Aku penasaran sayang, kita lagi dimana ini? Kok tubuh aku melayang—layang rasanya?” Steve berbisik, “Belum saatnya, keep calm baby girl!” diakhiri dengan hembusan nafas hangat dari mulut Steve. Maria memegang tengkuknya, “Sayang, jangan aneh—aneh please.” Steve mengecup pucuk kepala Maria. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Maria. Tubuh Ma