Share

5 | Maria Ku Hamil

Setelah acara dadakan di kamar mandi, keesokan harinya Maria bangun duluan. Ia pun bergegas membersihkan diri. Ia pun masuk ke dapur, memeriksa bahan masakan yang akan diolah untuk sarapan mereka.

Ketika sedang sibuk berkutat dengan pisau, bawang—bawangan hingga talenan, ada saja yang mengusik kerjaan Maria.

“Kamu ngapain disini?” Steve sudah memeluknya dari belakang, menciumi sebelah bahu Maria yang terbuka.

Salah Maria juga, kenapa ia mengenakan midi dress selutut tanpa lengan. Maria juga mencepol seluruh rambut yang sudah ia hair dryer ke atas, otomatis leher jenjangnya akan terlihat lebih menggoda.

“I wanna cook. Get away please…” usir Maria lembut, pada serigala lapar.

Steve semakin memeluk erat, tangannya sudah mulai bergerilya tanpa izin. Maria pun mendesah dibuatnya.

“Steve… please! Aku mau buat sarapan untuk kita,” Maria pun meminta Steve jangan mengganggunya saat ini.

“Give me a morning kiss,” tawar Steve seraya mengulum telinga kiri Maria.

Sang istri kalah nego, Maria membalikkan tubuhnya menghadap Steve. Tangannya memeluk leher Steve. Cup.

Tangan Steve meremas bagian favoritnya, “Only kiss baby!” protes Maria dengan sebuah gigitan kecil pada bibir Steve. Pagutan mereka terlepas.

Steve malah tertawa digigit begitu, ia mengalah, “Kamu udah jago gigit—gigit ya sekarang?” goda Steve dengan mengelus dagu Maria.

“Siapa dulu dong gurunya,” ejek Maria seraya terkekeh sendiri.

“Oke, aku ngalah untuk tiga puluh menit ke depan ya. Lebih dari itu aku gak mau ada penolakan!” ujar Steve seraya mengecup pipi Maria.

“Thank you husband,” Maria melanjutkan acara masak nasi gorengnya.

Day by day, Maria sudah tidak malu lagi pada sang suami, Steve. Maria pun mulai berimprovisasi dalam berhubungan. Seminggu mereka berbulan madu, setiap hari mereka isi dengan memadu kasih, merajut asa, mengejar nirvana.

Di kamar oke, kamar mandi juga, dapur tak lupa, ruang tamu juga terjamah hingga balkon pun ter absen oleh Steve dan Maria. Mereka lakukan apapun untuk membuat pasangannya bahagia. Maria salut akan pengertian dan cara Steve mendiskusikan hal baru dengannya.

Volume cinta Maria pun meningkat pada Steve, hingga seluruh ruang di hatinya sudah tertempel nama sang suami.

-------

#Six Months Later

Maria merasa sangat ketakutan, tapi ia juga penasaran. Maria menarik nafasnya berkali—kali, merapalkan doa pada Tuhan semoga apa yang diinginkan papa dan mama mertuanya terkabul.

Maria celupkan sebuah alat tes kehamilan pada urine yang ia kumpulkan pagi ini. Maria menunggu beberapa detik. Ia angkat tespack itu dengan gemetar. Matanya masih memicing, belum berani untuk melihat hasilnya.

“Aduh, God please…” perlahan Maria membuka matanya selebar mungkin.

“Dua garis?” Maria mematung, ia tak tahu harus berkata apa sekarang ini. Tubuhnya tercenung.

Steve menggeliat, ia raba sisi sebelah yang biasanya dihuni tubuh Maria. Mata Steve masih terpejam, merasa ada yang aneh. Steve menepuk bedcover. Matanya ia buka. Sesaat kemudian Steve mendudukkan tubuhnya.

Shirtless, hanya boxer yang dikenakan.

“Maria kemana? Udah kabur aja dia?”

Steve melihat pintu kamar mandi terbuka sedikit. Ia menyeringai. Steve bangkit dengan semangat, lalu berjalan dengan mengendap—endap.

“Mau kemana humm?” Steve memeluk Maria dari belakang. Menghujami Maria dengan kecupan—kecupan manis di bahu dan tengkuknya.

Maria masih mengenakan lingerie dress cream dengan renda hitam, tanpa lengan yang panjangnya hanya sampai gundukan sintal milik Maria. Ia tidak mengenakan dalaman, karena Steve melarangnya. Dan mereka pun tadi malam membuang semua kain yang melekat pada tubuh. Steve heran karena Maria tak merespon kecupannya.

“Sayang, kenapa? Kok diem?” tanya Steve, lalu membalikkan tubuh Maria.

Mata Steve terbelalak, menangkap dua garis biru pada test pack yang dipegang Maria.

“Are you pregnant?” Steve menanyakan kembali.

“I think so, Steve…” air mata Maria menetes.

“Oh baby,” Steve merangkul tubuh Maria. Ia bawa Maria ke dalam pelukannya. Ia usap punggung itu dengan lembut tanpa nafsu. Steve mengecup puncak kepala Maria.

“Thanks God. Thank you so much!”

Maria sesegukan dalam pelukan Steve, “Loh kok nangis sayang? What’s going on?” tanya Steve semakin heran.

“I’m so happy. Gak lama lagi akan ada bayi di kamar kita sayang. Akan ada yang manggil aku mom, dan manggil kamu dad. Are you happy, Steve?”

Steve menangkup wajah Maria, “Sure, I’m. Makasih sayang, karena kamu sudah mau mengandung anakku.” Steve mengecup dahi Maria lama.

‘Tuhan, terimakasih karena telah menjadikan aku istri dari pria ini. Pria yang aku cintai, dan mencintaiku.’

“Oke, bumil gak boleh sedih. Dihapus air matanya. Dan nanti aku akan minta Nathan untuk jadwalin kamu periksa ke dokter kandungan ya. Kita pergi bareng—bareng. Aku pengen lihat jagoanku yang ada di dalam perut kamu.”

Maria terkikik, dielus lembut di bagian perutnya. “Sayang, ia mungkin masih kecil. Kecil sekali. Jadi kamu bersabar sedikit ya.”

“Begitu? Oke aku akan jadi seorang daddy yang sabar buat jagoanku.” Mereka kembali berpelukan.

--------

#Office

Nathan mengetuk pintu ruang kerja Steve. Ia dipersilahkan masuk oleh empunya ruangan. Nathan berjalan sambil mendekap sebuah tablet lipat.

“Permisi tuan,”

Steve mengawaskan notebook kerjanya, “Bagaimana, apa kau sudah menemukan dokter kandungan terbaik di kota ini?”

“Sudah tuan,” Nathan mengarahkan tablet pada Steve, supaya atasannya ini bisa melihat bahwa pilihannya tak salah.

“Dokter Gilbert?”

Steve menatap tajam pada asisten pribadinya ini, “Nathan, kenapa laki—laki? Kau ingin Mariaku dilihat oleh pria lain hah?”

Steve mengambil berkas yang cukup tebal, lalu ia gulung seperti bolu gulung. Steve melayangkan pukulan kertas gulung pada bahu Nathan. “Berani—beraninya kau Nathan?!”

Nathan hanya bergeming, menerima pukulan sang atasan. Steve akhirnya berhenti, kertas gulung tadi ia hempaskan ke atas meja kerjanya.

“Maaf tuan. Saya akan carikan dokter kandung yang perempuan.” Ujar Nathan sopan.

“Bagus. Harus yang terbaik, ramah dan yang penting ia seorang perempuan. Paham?” gertak Steve.

Nathan akhirnya keluar dari ruangan Steve. Ia berjalan ke arah ruangannya sendiri. Nathan menghempaskan dirinya pada kursinya.

“Ampun dah sama tuan posesif! Kok Maria bisa tahan ya sama dia?”

Nathan jadi senyum—senyum sendiri membayangkan Steve yang posesif dan overprotective pada Maria.

Nathan mendial up seseorang melalui jaringan interkom kantor,

[Nathan : Selamat pagi, saya Nathan. Saya sudah membuat janji temu dengan dokter Gilbert, bisa tolong disambungkan dengan beliau?]

[Suster : Sebentar ya pak,]

……… penyambungan jaringan!

[Gilbert : Selamat pagi pak Nathan?]

[Nathan : Selamat pagi dok, maaf saya mengganggu. Saya terpaksa harus membatalkan janji dengan dokter karena satu dan lain hal dokter.]

Nathan berbicara sopan dan pelan. Ia tak enak hati dengan dokter Gilbert. Padahal ia sudah susah payah untuk bisa membuat janji temu dengan sang dokter.

[Gilbert : Apa atasan pak Nathan tidak setuju kalau istrinya saya yang periksa?]

[Nathan : Loh kok dokter tau?]

Dokter Gilbert terkekeh, ia geli mendengar ekspresi polos Nathan.

[Gilbert : Tentu saya tau. Saya sudah sering menemui tipe suami yang seperti itu pak Nathan.]

Nathan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rupanya ia tidak bisa membohongi dokter Gilbert.

[Nathan : Sekali lagi saya minta maaf ya dokter. Ini salah saya, karena gegabah dalam membuat janji kunjungan. Saya akan membayar ganti rugi untuk waktu dokter yang terbuang karena hal ini.]

[Gilbert : Tak perlu pak Nathan. Saya tak suka uang ganti rugi seperti itu. Oya mau saya rekomendasikan dokter kandungan yang perempuan?]

[Nathan : Mau dokter, mau. Jujur saya sangat butuh, dan kalau bisa sore ini atau malam ini atasan saya bisa bawa istrinya check up ke dokter kandungan yang perempuan.]

[Gilbert : Baik, saya arahkan ke dokter Gilsha ya. Kebetulan beliau adalah adik kandung saya. Ia praktek disini juga. Nanti saya minta suster untuk menjadwalkan dengan dokter Gilsha. Bagaimana Pak Nathan?]

[Nathan : Terimakasih banyak dokter Gilbert. Terimakasih.]

[Gilbert : Oke, suster akan menjadwalkan ulang dengan dokter Gilsha. Semoga atasan pak Nathan setuju. Kalau mau resume? Langsung minta ke suster saja.]

[Nathan : Sekali lagi terimakasih banyak dokter Gilbert.]

……… Reschedule check up!

[Suster : Terimakasih atas ketersediaannya menunggu pak Nathan. Jadwal check up atas nama nyonya Maria Alexandra Wijaya dengan dokter Gilsha sore ini pukul 5 ya pak. Diharapkan sepuluh menit sebelumnya sudah ada di rumah sakit.]

[Nathan : Baik terima kasih suster. Satu lagi tolong kirimkan resume dokter Gilsha ke saya melalui surel.]

[Suster : Baik pak, saya akan kirimkan ke alamat surel yang kemarin.]

Sambungan berakhir. Nathan menarik nafas lega. “Satu masalah kelar!”

Nathan meneruskan surel yang diterima dari pihak rumah sakit Hospital City Center ke surel Steven.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status